Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin • Makamba Makimbi |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Pemena adalah kepercayaan ataupun agama tradisional masyarakat Batak Karo. Pemena memiliki makna kepercayaan yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh orang Karo.[1] Pemena, dalam bahasa Batak Karo, memiliki arti pertama atau yang awal.[2] Dalam hal agama yang diakui di Indonesia, Pemena dimasukkan ke dalam agama Hindu. Alasannya karena keduanya memiliki persamaan dalam hal kepercayaan, tradisi, serta ritualnya.[3]
Batak Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad pertama setelah masehi, terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia termasuk ke Sumatra. Mereka beragama Hindu. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu. Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi India yang memperkenalkan agama Buddha dan aksara Nagari.[1] Tulisan Nagari akan menjadi cikal Surat Batak, Melayu, dan Jawa kuno.[4]
Orang-orang dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo memperkenalkan ajaran Pemena. Pemena berarti pertama, yang artinya kepercayaan awal orang Batak Karo. Mereka juga mengajarkan beberapa aksara, yang kemudian menjadi Tulisen Karo. Akhirnya, orang-orang Batak Karo mulai mengenal agama ini dan menganutnya.[5]
Masyarakat Batak Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat, adalah merupakan ciptaan Dibata. Ada tiga pemahaman Dibata menurut orang Batak Karo, yakni:[6]
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu Sindar Mataniari (sinar matahari) dan Si Beru Dayang. Sindar Mataniari adalah simbol cahaya dan penerangan. Ia berada saat matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Si Beru Dayang adalah roh perempuan yang tinggal di bulan (sehingga disebut Si Beru Dayang Sinu Bulan). Si Beru Dayang sering kelihatan dalam pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak digoncangkan angin topan.
Manusia dalam kepercayaan masyarakat Batak Karo terdiri dari:[6]
Ketika seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun, begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah kematian.
Orang Batak Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari alam semesta. Setiap manusia dianggap sebagai semesta kecil. Manusia merupakan kesatuan dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (napas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai "keseimbangan dalam manusia".
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar. Bentuk pemahaman ini menggambarkan manusia sebagai semesta besar. Manusia merupakan kesatuan dari dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar. Hal ini menunjukkan suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam semesta kecil tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "alam semesta secara luas. Oleh karena itu, banyak orang Karo melakukan acara-acara adat dengan tujuan mencapai keseimbangan pada diri manusia.