Pengalaman keagamaan (terkadang disebut "pengalaman", pengalaman spiritual, pengalaman suci, spiritual awakening, atau pengalaman mistis) adalah sebuah pengalaman subyektif seseorang yang ditafsirkan dalam aspek keagamaan.[1] Konsep tersebut bermula pada abad ke-19, sebagai pertahanan melawan perkembangan rasionalisme dari masyarakat Barat.[2]William James merupakan orang memopulerkan konsep tersebut.[2] Di beberapa agama, dikatakan bahwa hal ini terkadang hasil dari unverified personal gnosis.[3][4]
Banyak agama dan tradisi mystic (orang yang berusaha mendapat ilmu keagamaan)[5] melihat pengalaman keagamaan (terutama pengetahuan yang didapatkan) merupakan suatu revelation yang disebabkan oleh divine agency dibandingkan dengan proses alamiah. Mereka bisa dianggap benar-benar bertemu dengan Tuhan/dewa, atau hubungan nyata dengan higher-order realities dimana orang biasanya tidak menyadari hal tersebut.[6]
Orang skeptis mungkin melihat pengalaman keagamaan adalah suatu perkembangan bagian otak manusia yang dapat di pelajari.[note 1] Persamaan dan perbedaan antara pengalaman keagamaan di berbagai budaya telah membuat cendikiawan dapat mengkategorikan mereka untuk dipelajari secara akademik.[7]
Psikologis dan filsuf William James (1842–1910) mendeskripsikan empat karakteristik pengalaman mistis dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1901/1902). Berdasarkan James, pengalaman seperti itu adalah :
Transient : Pengalaman bersifat sementara dan individu dapat kembali “normal”. Seseorang merasa ketidak-normalan persepsi ruang dan waktu.
Ineffable : Pengalaman tidak dapat dijelaskan kata-kata.
Noetic : Individu merasa bahwa dia telah mempelajari sesuatu yang berharga dari pengalaman tersebut. Merasa telah mendapat pengetahuan yang normalnya tersembunyi dari pemahaman manusia.
Passive : Pengalaman yang terjadi kepada seseorang, kebanyakan tidak dapat dikontrol secara sadar. Walaupun ada aktifitas seperti meditasi, yang dapat membuat pengalaman keagamaan dapat di kontrol kapan berjalan dan kapan berhenti.
Filsuf dan theologian dari German, Rudolf Otto (1869–1937) berpendapat bahwa terdapat satu faktor umum yang sama dalam semua pengalaman keagamaan, dan tidak bergantung dari latar belakang budaya. Dalam bukunya The Idea of the Holy (1923) dia mengidentifikasi factor ini sebagai numinous. Pengalaman numinous mempunyai dua aspek :
mysterium tremendum, dimana merupakan tendensi untuk memberikan ketakutan dan goncangan.
mysterium fascinans, suatu tendensi untuk menarik, memikat dan compel (dorongan).
Pengalaman numinous adalah ketika seseorang merasa di dalam kebersamaan dengan suatu yang holy. Otto melihat numinous sebagai satu-satunya kemungkinan pengalaman keagamaan. Dia menyatakan "There is no religion in which it [the numinous] does not live as the real innermost core and without it no religion would be worthy of the name"[8] ( tidak ada agama dimana hal itu (numinous) tidak hidup sebagai inti dari innermost yang nyata dan tanpa itu tidak ada agama yang berharga namanya). Otto tidak menganggap tipe lain dari pengalaman keagamaan seperti ecstasy dan antusiasme secara serius dan ber-opini bahwa mereka merupakan 'vestibule of religion'.
Norman Habel seorang Biblical scholar mendefinisiakan pengalaman keagamaan sebagai jalan terstruktur dimana beliver masuk kedalam hubungan atau mendapatkan kesadaran tentang kedalaman makna dari suatu tradisi agama.[9] Pengalaman keagamaan dari sifat alaminya merupakan preternatural/supernatural, jadi itu, diluar kebiasaan atau diluar aturan alamiah. Hal itu mungkin sulit untuk dibedakan dari psychopathological states seperti psychoses atau bentuk altered awareness.[10] Tidak semua pengalaman preternatural dapat dianggap pengalaman keagamaan. Berdasarkan pengertian Habel, psychopathological states atau drug-induced states of awareness tidak dapat dianggap sebagai pengalaman keagamaan karena mereka kebanyakan tidak dilakukan dengan suatu tradisi agama.
Moore and Habel mengidentifikasi dua kelas dari pengalaman keagamaan, yakni :[11]
Mediated : dalam pengalaman mediated ,beliver mengalami sesuatu yang holy melalui media, seperti ritual, orang yang special, grup religious, objek totemic atau dunia alam.[12]
Immediate : dalam pengalaman immediate, pengalaman datang ke beliver tanpa suatu angency atau mediator. Divine di alami secara langsung.
Dalam bukunya yang berjudul Faith and Reaso, filsuf Richard Swinburne memformulasikan lima kategori dalam pengalaman keagamaan :
Public : beliver “melihat tangan Tuhan bekerja di dunia”, dimana ada kemungkinan penjelasan lain seperti saat melihat keindahan matahari tenggelam.
Public : sebuah even tak biasa yang melanggar hukum alam seperti berjalan diatas air.
Private : dapat di deskripsikan dengan bahasa sehari-hari seperti pengelihatan Jacob tentang tangga.
Private : tidak dapat di deskripsikan menggunakan bahasa biasa, biasanya pengalaman mistis seperti "white did not cease to be white, nor black cease to be black, but black became white and white became black." (putih tidak berhenti menjadi putih, atau hitam tidak berhenti menjadi hitam melainkan hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam)
Private : suatu yang tidak spesifik, perasaan umum dari Tuhan bekerja pada hidup seseorang.
Swinburne juga memberikan dua prinsip untuk assessment dari pengalaman keagamaan :
Principle of Credulity : Dengan tidak ada alasan apapun untuk menolak dan tidak mempercayai itu, seseorang seharusnya menerima apa yang terjadi adalah benar seperti jika seseorang melihat orang berjalan diatas air seseorang harus percaya bahwa hal tersebut benar terjadi.
Principle of Testimony : Dengan tidak ada alasan apapun untuk tidak mempercayai mereka, seseorang seharusnya menerima bahwa saksi atau beliver mengatakan hal yang benar saat mereka memberi kesaksian tentang pengalaman keagamaan.
Neoplatonism adalah istilah modern dari sekolah agama dan filosofi mistis pada abad ke 3 M, yang di dirikan oleh Plotinus berdasarkan Plato dan Platonist yang sebelumnya.
Neoplatonism mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia harus melangkah kembali ke supreme Good. Hal ini dapat di dapatkan dengan melakukan virtue atau kebajikan, yang mana mempunyai goal bersifat sama dengan Tuhan dan mengarah ke Tuhan. Dalam artian dengan beribadah manusia dapat menjadi makhluk spiritual dan enduring being serta bebas dari segala dosa. Tetapi masih ada pencapaian yang lebih tinggi lagi, yakni tidak cukup hanya dengan tidak berdosa, seseorang harus menjadi “Tuhan” (dalam sifat, lihat henosis). Hal ini diraih melalui kontemplasi primeval Being, the One, dengan kata lain melalui pendekatan ecstatic (seperti trence).
Dua belas step dari Alcoholics Anonymous program menyatakan bahwa :
"Having had a spiritual awakening as the result of these steps, we tried to carry this message to alcoholics and to practice these principles in all our affairs”[13](mendapat spiritual awakening sebagai hasil dari step ini, kita mencoba untuk membawa pesan ini ke pecandu alkhohol dan untuk mempraktekkan prinsip ini di dalam semua hubungan kita)
Istilah “spiritual experience” dan “spiritual awakening” banyak digunakan dalam The Big Book of Alcoholics Anonymous[14] yang berpendapat bahwa pangalaman spiritual diperlukan untuk pemulihan pecandu alkhohol.[15]
Judaism mempunyai dua jenis mistisme yakni Merkabah mistisme dan Kabbalah. Merkabah adalah sekolah awal dari Jewish mysticism c. 100 BCE – 1000 CE, focus pada vision yang ditemukan dalam Ezekiel 1 atau di hekhalot literature ("palaces" literature, yang berkonsentrasi pada naik ke tempat surga dan Throne of God.
Kabala (קַבָּלָה; vokalisasi standar: Qabbālā; vokalisasi Tiberias: Qabbālāh; secara harafiah berarti "menerima" dalam pengertian suatu "tradisi menerima ")[16] atau "korespondensi" adalah sebuah bentuk metode esoterik, ilmu disiplin, dan mazhab dari Yahudi.[17]
Bentuk kabbalistic dari Jewish miysticism sendiri pada umumnya di bagi menjadi tiga aliran : Theosophical/Speculative Kabbalah (mencari pemahaman dan mendeskripsikan alam divine), Meditative/Ecstatic Kabbalah (mencari untuk mendapatkan penyatuan-sifat mistis dengan Tuhan) dan Practical Kabbalah mencari untuk alter theurgically dari alam divine dan dunia)
Dalam Evangelical Christianity,menjadi “Born Again” atau “lahir Kembali” dipahami sebgai esensi dari beliver untuk masuk surga setelah mati. Mempunyai efek merubah hidup seseorang dan dapat juga di sebut dengan conversion experience atau transformation.
Indikasi bahwa pengalaman religious seharusnya tidak dipisahkan dari perduli dengan tetangga, Pope Francis telah mengobservasi bahwa "there can be no true religious experience that is deaf to the cry of the world" (bukan merupakan pengalaman religious sebenarnya yang tuli terhadap tangisan dunia).[18]
Doktrin Christian pada umumnya menjaga Tuhan tetap dwell pada semua orang Kristen dan mereka dapat mengalami Tuhan secara langsung melalui percaya dengan Jesus.[19] Mistis Christian mengaspirasi untuk memahami kebenaran spiritual yang tidak dapat di akses melalui arti intelektual, terutama dengan meng-emulasikan Christ. William Inge membagi scala perfectionis atau "Ladder of Perfection" ke dalam 3 tahapan: tahapan purgative atau ascetic, tahapan illuminative atau kontemplasi dan yang ke tiga, tahapan unitive dimana Tuhan mungkin terlihat "face to face".[20]
Tahapan ke tiga,biasanya di sebut kontemplasi di dalam Western tradition, merujuk ke pengalaman seseorang united (sifat) dengan Tuhan dengan suatu jalan. Pengalaman dari penyatuan ada banyak tetapi hal itu pertama dan utamanya selalu diasosiasikan dengan bersatu kembali dengan Divine love. Yang menggaris bawahi tema disini adalah bahwa Tuhan, "kebaikan yang sempurna"[21] diketahui atau dialami dengan hati dan intelektual. Dalam 1 John 4:16: "God is love, and he who abides in love abides in God and God in him." Beberapa pendekatan ke classical mystic akan mempertimbangkan fase kedua yang pertama merupakan persiapan ke tahapan yang ke tiga, pengalaman mistis secara eksplisit, tetapi state yang lain bahwa tiga fase ini saling overlap dan terjalin satu sama lain.
Berdasarkan standar formulation dari proses Christian perfection, yang berasal dari Evagrius Ponticus (345–399 AD) dan Dionysius the Pseudo-Areopagite (late 5th to early 6th century),[22][23] ada tiga tahapan :[24][25][26]
Catharsis atau purification : di dalam Orthodox Churches, theosis merupakan hasil dari berusaha untuk hidup dengan murni, mempraktekkan menahan diri dan mendekat ke commanments serta meletakkan cinta Tuhan diatas yang lain. Metamorphosis atau transformasi ini adalah hasil dari cinta Tuhan yang sangat dalam. Purification atau pembersihan terdiri dari berpaling dari semua yang kotor dan unwholesome. hal ini adalah pembersihan pikiran dan tubuh.
Theoria atau illumination, juga disebut “natural” / alami atau "acquired contemplation;" Sebuah Latihan yang sudah lama digunakan oleh Christian untuk mendapatkan kontemplasi, yang “ dapat digunakan setiap orang apakah dia priest atau secular lainnya.[27] Yakni memfokuskan pikiran dengan secara konstan mengulang frase atau kata. Saint John Cassian merekomendasikan menggunakan frase "O God, make speed to save me: O Lord, make haste to help me".[28][29]
Union or Theosis;Unification : Juga di sebut "infused" atau "higher contemplation"; indwelling di dalam Tuhan, vision dari Tuhan, Union dengan Tuhan.
Berdasarkan injunction Christ dalam Gospel of Matthew agar "go into your closet to pray"[31]pergi ke closet (lemari baju) untuk berdoa, hesychasm di dalam tradisi merupakan proses retiring (menyendiri) ke dalam, dengan tidak menggunakan indera atau perasaan untuk mendapatkan experiential knowledge (pengetahuan dari pengalaman) tentang Tuhan (lihat theoria).
Goal paling tinggi dari hesychast adalah experiential knowledge (pengetahuan dari pengalaman) tentang Tuhan. di abad 14 M, kemungkinan adanya experiential knowledge tentang Tuhan telah di tantang oleh Calabrian monk, Barlaam yang mana walaupun dia secara formal merupakan anggota Orthodox Church telah di latih di Western Scholastic theology. Barlaam menegaskan bahwa pengetahuan kita tentang Tuhan hanya dapat proporsional. Praktek dari hesychasts di bela oleh St. Gregory Palamas.[butuh rujukan]
Sementara semua Muslim percaya bahwa mereka ada di jalan ke Tuhan dan menjadi dekat dengan Tuhan di surga-setelah mati dan “Final Judgement” – sufi percaya bahwa ada kemungkinan untuk menjadi dekat dengan Tuhan dan mengalami pengalaman kedekatan ini saat masih hidup.[32]
Tariqa, merupakan jalur dimana mistis berjalan, telah di definisikan sebagai 'the path which comes out of the Shariah, for the main road is called shar, the path, tariq.' Tidak ada pengalaman mistis yang dapat di realisasikan jika perintah yang mengikat dari shariah tidak didahului dengan keimanan terlebih dahulu. Bagaimanapun Tariqa merupakan jalan yang lebih sempit dan sulit untuk dilewati. Hal itu mengarah ke mahiran, yang di sebut salik (wayfarer) dalam suluk-nya (wandering), melalui stasiun yang berbeda (maqam) sampai dia meraih goal-nya, tauhid yang sempurna, mempercayai Tuhan adalah satu.[33]
Shariat : Shari’a adalah hukum islam atau legal islam yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Tahapan pertama dari sufi adalah menaati semua aspek dari hukum tersebut dengan sempurna. Tujuan dari ini adalah untuk membuktikan cinta mereka kepada Tuhan, dengan disiplin dan ketaatan. Setelah sufi telah hidup berdasarkan Shariah, dia siap untuk lanjut ke tahapan ke dua. Ketaatan adalah tahapan penting karena membawa keinginan Tuhan diatas kebutuhan fisik serta membersihkan spirit, yang di perlukan untuk tahapan ke-dua.[35]
Tariqat : Tariqat berarti jalan dan bermakna persaudaraan Sufi atau rantai atau order.[36] Order atau pemerintahan dijalankan oleh shaykhs, pemimpin spiritual dan mentor. Shaykhs di identifikasi dari tanda Tuhan seperti kemampuan melakukan suatu mukzijat.[37] Shaykhs biasanya sering mengetest sufi baru dengan mengacuhkannya, menyuruh malakukan suatu yang memalukan atau berlaku kasar kepada mereka. Jika lulus tiga tes ini dia mengenalkan awrad , suatu doa yang berurutan. Doa ini harus di palajari terlebih dahulu sebelum dibacakan karena kesalahan dalam melakukan doa ini adalah dosa. Saat sufi baru telah belajar dan membaca awrad dalam jangka waktu tertentu, dia seharusnya mengalami vision dan revelation dari Tuhan. Sufi percaya bahwa pada titik ini sufi baru dapat melihat sesuatu yang tertutup dari kebanyakan orang.[38]
Haqiqat : Haqiqat konsep yang sulit untuk di terjemahkan. Buku Islamic Philosophical Theology mendefinisikan-nya sebagai "what is real, genuine, authentic, what is true in and of itself by dint of metaphysical or cosmic status",[39] dimana sebuah penjelasan yang valid tetapi tidak menjelaskan peran di dalam sufisme. Haqiqa mungkin lebih baik di definisikan sebagai pengatahuan yang berasal dari hubungan dengan Tuhan, pengetahuan yang hanya di peroleh setelah melakukan tariqat.[40]
Marifat : Marifat adalah pengetahuan yang di dapatkan melalui pengalaman. Hal ini adalah istilah yang digunakan Muslim untuk menjelaskan pengetahuan spiritual truth (Haqiqat) telah hidup melalui pengalaman.
Dalam praktek Theravada Buddhism dideskripsikan dalam latihan tiga lipatan dari disiplin (sila), meditasi konsentrasi (samādhi) dan transcendent wisdom (prajñā). Zen-Buddhism menekankan hanya pada praktek meditasi, sedangkan Vajrayana Buddhism memberikan beragam jenis praktek. Dan tujuan utama dari meditasi dan prajna adalah untuk meninggalkan keterikanan, hal itu mungkin juga hasil dari pemahaman dari Buddha-nature dan bagian dari lucidness of the mind.
Beragam pengalaman religious banyak di deskripsikan dalam Śūraṅgama Sūtra. Hal tersebut ada dalam bagian dari 50 skandha-maras, yang masing masing lima skandhas memiliki sepuluh skandhas maras dan masing-masing skandhas mara di deksripsikan secara datil sebagai penyimpangan dari samadi yang benar. Skandhas maras ini juga disebut “lima puluh skandhas demon” di dalam beberapa publikasi bahasa Inggris.[41][41]
Hal itu juga dipercaya bahwa kemampuan spiritual di dapatkan dari meditasi yang disebut "higher knowledge" (abhijñā), atau "spiritual power" (ṛddhi). Hal ini ditemukan dalam Samyutta Nikaya, kemampuan seperti :[42]
"... he goes unhindered through a wall, through a rampart, through a mountain as though through space; he dives in and out of the earth as though it were water; he walks on water without sinking as though it were earth; seated cross-legged, he travels in space like a bird; with his hands he touches and strokes the moon and sun so powerful and mighty; he exercises mastery with the body as far as the brahmā world."
(dia pergi tanpa hambatan melalui dinding, rampart, melalui gunung seperti malalui ruang kosong, dia menyelam ke dalam dan keluar bumi seperti hal itu merupakan air, dia berjalan diatas air tanpa tenggelam seperti berjalan di bumi, duduk bersila, dia travel di angkasa seperti burung dengan tangannya menyentuh dan memukul bulan dan matahari dengan kuat dan perkasa, dia Latihan mastery dengan tubuh sejauh dunia brahma.
Kensho merupakan istilah dari Chan / Zen tradition yag mana berarti “seeing”/melihat atau “perceiving”/mempersepsikan, “nature”/alamiah,[43][44][note 2] “essence”/esensi atau “true face”. Hal ini biasanya dimaknai dengan "seeing one's [true] nature”, dengan nature merujuk ke buddha-nature, ultimate reality, the Dharmadhatu. Istilah ini muncul dalam slogan yang mendefinisikan Chan Buddism : to see oneʼs own nature and accomplish Buddhahood (見性成佛).(untuk melihat sifal alami seseorang dan mendapatkan Buddhahood).
Kenshō adalah sebuah permulaan insight atau sudden awakening, bukan sepenuhnya Buddhahood. Hal ini di ikuti dengan latihan yang memperdalam insight tersebut dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari serta secara bertahap menghilangkan defilements[45][46][47] (was-was, ketakutan, marah, cemburu, keinginan, depressi .dll).[48]
Istilah Jepang untuk kenshō sering bersinonim dengan satori (verb:satoru)[49] yang berarti pemahaman atau memahami.[50][note 3][note 4]
Kenshō dideskripsikan sebagai appearing suddenly, pada saat berinteraksi dengan orang lain, mendengar atau membaca suatu frase, atau mendapat persepsi suara atau pengelihatan yang tidak terduga.[51] Ide "sudden insight" telah di debatkan dalam sejarah Zen. Hal itu menjadi bagian dari Traditional Zen Narrative di abad 8th M.[52]
Berdasarkan Harris, latihan kensho biasanya berlangsung lama yakni tahunan atau bahkan puluhan tahun.[53] Kebalikan dari ini, Victor Hori mencatat bahwa dengan koan-study kensho mungkin hanya berlangsung enam bulan.[54][note 5]
Sōtō cenderung ke pendekatan yang bertahap, yakni membiarkan pengalaman berlangsung dengan sendirinya. Rinzai cenderung menggunakan Koans sebagai teknik untuk “unroot” kebiasaan dari kerja pikiran.[55]
Saat melakukan intensif zazen, berbagai hallucinations dan gangguan psikologi mungkin muncul. Hal ini merupakan makyo. Membedakan delusi-delusi ini dari kensho yang sebenarnya adalah fungsi utama dari seorang guru, sebagai murid mungkin salah dalam merealisasikan kensho.
Setelah kensho, praktek lebih jauh dibutuhkan untuk mencapai sebuah yang alamiah, tanpa usaha, down-to-earth state, "ultimate liberation", "knowing without any kind of defilement".[56]Kensho mungkin memberikan insight tetapi tidak merubah mental dispositions (memperspeikan dunia) yakni sesuatu yang di alami oleh Hakuin[57] dan guru modern seperti Jack Kornfield[58] dan Barry Magid.[59]
^Such study may be said to have begun with the American psychologist and philosopher William James in his 1901/02 Gifford Lectures later published as The Varieties of Religious Experience.
^traditional Chinese and Japanese: 見性; ; "see [one's] nature"
^According to Fischer-Schreiber, kenshō and satori are nearly synonymous, with a customary distinction of using kenshō for an initial enlightenment experience that still requires deepening, and satori for the Buddhahood enlightenment of a Buddha or Zen patriarch. Hakuin uses the word "satori" for initial insight, synonymous with kensho.
^The Japanese Zen-tradition has a rich vocabulaire of terms related to "enlightenment": awakenening (kaku), true awakening (shōgaku), perfect awakening (engaku), insight (sei), attaining the Way (jōdō), becoming Buddha (jōbutsu), opening the eye (kaigen), liberation (gedatsu), aythetication (shō), the great death (daishi), self-enlightenment without a teacher (mushi dokugo), great satori with full penetration (taigo tettei), and peerless perfect enlightenment (anokutara sanmyaku sanbodai). The list is not exhausted with these terms. Another term for deep awakening is daigo.
^Houn Jiyu-Kennett, a western sei-kyoshi or soto-priest, also is reported to have attained kensho after six months of training in a Soto-monastery.
^Velkoborská, Kamila (12 October 2012). "Performers and Researchers in Neo–pagan Settings". Traditiones. 41 (1): 65–76. doi:10.3986/Traditio2012410106. ISSN 1855-6396.
^Mayer, Gerhard A. (2013). "Spirituality and Extraordinary Experiences: Methodological Remarks and Some Empirical Findings". Journal of Empirical Theology. 26 (2): 188–206. doi:10.1163/15709256-12341272. ISSN 0922-2936.
^"Mystic Definition & Meaning | Britannica Dictionary". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-30. a person who tries to gain religious or spiritual knowledge through prayer and deep thought : someone who practices mysticism
^Such study may be said to have begun with the American psychologist and philosopher William James in his 1901/02 Gifford Lectures later published as The Varieties of Religious Experience.
^Otto, Rudolf (1972) [1923]. The Idea of the Holy. London: Oxford University Press. pp. 5–30.
^Habel, Norman; O'Donoghue, Michael; Maddox, Marion (1993). "Religious Experience". Myth, ritual and the sacred: Introducing the phenomena of religion. Underdale: University of South Australia.
^Charlesworth, Max (1988), Religious experience. Unit A. Study guide 2 (Deakin University)
^Moore, B.; Habel, N. (1982), When Religion Goes to School (Appendix 1), Adelaide: SACAE, pp. 184–218
^Habel, Norman; O'Donoghue, Michael; Maddox, Marion (1993). "Religious Experience". Myth, ritual and the sacred: Introducing the phenomena of religion. Underdale: University of South Australia.
^Godlas, A. "Sufism: an Introduction". Islam and Islamic Studies Resources. University of Georgia. Archived from the original on 2021-05-12. Retrieved 2022-01-20.
^Schimmel, Annemarie (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press. ISBN 0807812714.p.99.
^"Haqiqa". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2023-10-30.
^Maʿrifa. Encyclopedia Britannica. 24 August 2011. Retrieved 17 January 2022.
^ abEpstein, Ron (1997). Foreword. The Shurangama Sutra: The Fifty Skandha-Demon States. By Hua, Hsuan. Buddhist Text Translation Society. ISBN 9780881394016. Archived from the original on 2014-01-10. Retrieved 2014-05-28.
^Bhikkhu Bodhi (2000). The Connected Discourses of the Buddha.p.1727.
^Hori, Victor Sogen (2000), Koan and Kensho in the Rinzai Zen Curriculum. In: Steven Heine and Dale S. Wright (eds)(2000): "The Koan. Texts and Contexts in Zen Buddhism, Oxford: Oxford University Press.p.287.
^Two Zen Classics. Mumonkan, The Gateless Gate. Hekiganroku, The Blue Cliff Records. Translated with commentaries by Katsuki Sekida, translated by Sekida, Katsuki, New York / Tokyo: Weatherhill, 1996
^Yen, Chan Master Sheng (1996), Dharma Drum: The Life and Heart of Ch'an Practice, Boston & London: Shambhala.p.54.
^Kraft, Kenneth (1997), Eloquent Zen: Daitō and Early Japanese Zen, University of Hawaii Press.p.91.
^Dumoulin, Heinrich (2005b), Zen Buddhism: A History. Volume 2: Japan, World Wisdom Books, ISBN 9780941532907
^McRae, John (2003), Seeing Through Zen. Encounter, Transformation, and Genealogy in Chinese Chan Buddhism, The University Press Group Ltd, ISBN 9780520237988
^Harris, Ishwar C. (2004), The Laughing Buddha of Tofukuji: The Life of Zen Master Keidō Fukushima, Bloomington, Indiana: World Wisdom, ISBN 978-0-941532-62-4
^Kasulis, Thomas P. (2003), Ch'an Spirituality. In: Buddhist Spirituality. Later China, Korea, Japan and the Modern World; edited by Takeuchi Yoshinori, Delhi: Motilal Banarsidass
^Low, Albert (2006), Hakuin on Kensho. The Four Ways of Knowing, Boston & London: Shambhala.p.p. 37-39.
^Torei, Enji (2009), "The Chronological Biography of Zen Master Hakuin", in Waddell, Norman (ed.), Hakuin's Precious mirror Cave, Counterpoint.p175.
Habel, Norman, O'Donoghue, Michael and Maddox, Marion (1993). 'Religious experience'. In: Myth, ritual and the sacred. Introducing the phenomena of religion (Underdale: University of South Australia).
Mohr, Michel (2000), Emerging from Nonduality. Koan Practice in the Rinzai Tradition since Hakuin. In: steven Heine & Dale S. Wright (eds.)(2000), "The Koan. texts and Contexts in Zen Buddhism", Oxford: Oxford University Press
Roberts, T. B. "Chemical Input – Religious Output: Entheogens." Chapter 10 in Where God and Science Meet: Vol. 3: The Psychology of Religious Experience Robert McNamara (editor)(2006). Westport, CT: Praeger/Greenwood.
Samy, AMA (1998), Waarom kwam Bodhidharma naar het Westen? De ontmoeting van Zen met het Westen, Asoka: Asoka
Sekida, Katsuki (1985), Zen Training. Methods and Philosophy, New York, Tokyo: Weatherhill