Pengelolaan sampah di Jepang saat ini tidak hanya menekankan pengumpulan sampah yang efisien dan sanitasi, tetapi juga pengurangan dan daur ulang sampah jika memungkinkan. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah, terutama periode ekspansi ekonomi yang signifikan, serta geografi Jepang sebagai negara pegunungan dengan ruang terbatas untuk tempat pembuangan sampah. Bentuk pembuangan sampah utama termasuk insinerasi, daur ulang, serta tempat pembuangan akhir dan reklamasi daratan untuk sebagian kecil. Meskipun Jepang telah membuat kemajuan sejak tahun 1990-an dalam mengurangi dan daur ulang sampah, masih memerlukan kemajuan lebih lanjut dalam mengurangi ketergantungan pada insinerator dan tempat pembuangan sampah. Tantangan juga terdapat dalam pengolahan sampah elektronik dan puing-puing sisa bencana alam.
Tidak ada sistem atau undang-undang yang terpusat untuk mengelola sampah pada awal zaman Meiji. Pada tahun 1900, dua tindakan diperkenalkan untuk meningkatkan sanitasi dan menghindari epidemi yang disebabkan oleh sampah yang menumpuk di lahan terbuka.[1][2] Undang-Undang Pembuangan Sampah, undang-undang pertama di Jepang tentang sampah, bersama dengan Undang-Undang Pembersihan Sampah mencoba untuk membangun sistem administrasi dalam menangani sampah dan membuat pemerintah kota bertanggung jawab atas pembuangan, melalui pembakaran jika memungkinkan.[1][3]
Pada periode pascaperang, dari tahun 1945, sampah menumpuk seiring dengan berkembangnya ekonomi dan terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan. Pengumpulan manual tidak efisien dan administrasi terdesentralisasi dan tidak terorganisir.[1][3] Undang-undang Kebersihan Umum tahun 1954 mengharuskan pemerintah nasional dan prefektur untuk memberikan dukungan keuangan dan teknologi kepada kota dalam pengumpulan sampah. Setelah itu, pada tahun 1963, Undang-Undang tentang Tindakan Darurat mengenai Pengembangan Fasilitas Lingkungan Hidup menetapkan pengembangan fasilitas pengelolaan sampah, termasuk insinerator.[1] Subsidi diberikan untuk insinerator, dan insinerator pertama yang beroperasi sepanjang waktu didirikan pada tahun yang sama.[3]
Pada tahun 1955, ekonomi mulai tumbuh pada tingkat yang signifikan. Perubahan budaya konsumen menyebabkan lebih banyak produksi sampah rumah tangga, meskipun hal tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan peningkatan volume sampah industri, yang seringkali tidak diolah atau dibuang dengan benar.[3] Contohnya termasuk limbah minyak atau zat kimia yang dibuang ke dalam badan air, polusi udara, dan puing-puing konstruksi.[1][3] Pengelolaan sampah dan perlindungan lingkungan menjadi perhatian nasional pada tahun 1960-an setelah pengakuan luas dari Empat Penyakit Polusi Besar di Jepang, penyakit yang disebabkan oleh pembuangan bahan kimia dari pabrik.[3][4]
Sidang Diet Nasional tahun 1970, yang disebut sebagai "Diet Polusi," berusaha untuk mengatasi masalah polusi yang meningkat, dengan mengesahkan empat belas undang-undang sekaligus sebagai titik balik dalam kebijakan lingkungan.[3][5] Undang-undang ini mencakup kebijakan untuk mencegah pencemaran dan mendirikan Badan Lingkungan pada tahun 1971, yang kemudian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup.[3][6] Undang-undang Kebersihan Umum tahun 1952 direvisi secara signifikan menjadi Undang-Undang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan Umum, atau Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Hal ini menjadikan pelestarian lingkungan sebagai tujuan pengolahan sampah, bukan hanya sanitasi publik, menetapkan standar untuk pengolahan sampah, dan menawarkan subsidi dalam pengembangan fasilitas untuk memenuhi standar ini.[3] Secara keseluruhan, undang-undang dari sidang ini memindahkan Jepang dari salah satu pemerintahan dengan peraturan lingkungan yang paling tidak ketat menjadi paling ketat di antara negara-negara di OECD.[6]
Pada tahun 1990-an, tujuan pengurangan sampah mulai mendapat perhatian.[2] Pada tahun 1991, Undang-Undang Pengelolaan Sampah direvisi kembali untuk menambahkan pengurangan produksi sampah sebagai tujuan nasional. Undang-undang berikutnya berusaha untuk mengurangi sampah yang dihasilkan selama produksi dan mempromosikan daur ulang.[1] Pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar untuk Pembangunan Masyarakat Daur Ulang atau Undang-Undang Dasar Daur Ulang dibentuk, yang menetapkan kerangka kerja yang menekankan pengurangan produksi sampah dan daur ulang, dan menetapkan target numerik untuk mengukur kemajuan.[1][2]
Di Jepang, tempat sampah umum cukup langka, karena telah dipindahkan dari ruang publik setelah serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo tahun 1995. Biasanya sampah yang dihasilkan dari luar dibawa pulang dan dipilah bersama sampah rumah tangga sebelum dikumpulkan.[7][8] Sampah dipilah berdasarkan peraturan yang berbeda-beda menurut munisipalitas ke dalam tiga puluh kategori berbeda.[7]
Di daerah perkotaan, pengumpulan sampah biasanya dilakukan dengan truk sampah kecil yang mengangkut sampah dari produsen dan membawanya ke stasiun transportasi terpusat, kemudian dikirim dengan truk yang lebih besar ke tempat pembuangan atau pembakaran. Pendekatan ini digunakan untuk meminimalkan perjalanan yang berlebihan dan truk kecil dapat melewati jalan perkotaan yang sempit dengan lebih baik.[9] Salah satu inovasi yang dilakukan adalah pengembangan truk listrik atau hibrida yang menghasilkan lebih sedikit polusi dan emisi gas rumah kaca.[9] Dalam bisnis pengumpulan sampah, baru-baru ini terdapat kecenderungan menuju privatisasi, dengan 80% pengumpulan sampah di seluruh Jepang dilakukan oleh perusahaan swasta di tengah pemotongan sektor publik.[10] Di daerah pedesaan Jepang, yang tidak memiliki sistem pengumpulan sampah di tepi jalan, penduduk membawa sampah mereka sendiri ke pusat pengumpulan sampah sekitar.[11]
Pada tahun 2014, 437 juta ton sampah dihasilkan di Jepang, dengan 44 juta ton atau sekitar 10% merupakan sampah kota dan 393 juta ton sisanya merupakan sampah industri.[a][12] Pada tahun 2016, 43 juta ton sampah kota dihasilkan, sekitar 925 gram per hari untuk setiap orang yang tinggal di Jepang. Hal ini meneruskan tren penurunan jumlah total sampah rumah tangga yang dihasilkan dan diproduksi per kapita yang terlihat setelah undang-undang daur ulang yang disahkan pada tahun 1990-an.[13] Metode pembuangan utama untuk sampah di Jepang termasuk insinerasi, daur ulang, penimbunan dan pengurukan.
Insinerasi adalah metode pembuangan sampah yang paling banyak digunakan di Jepang, dan menarik karena kemampuannya untuk mengurangi volume sampah di negara yang sebagian besar dipenuhi oleh pegunungan atau penduduk.[7][14] Pada tahun 2017, terdapat sekitar 1.200 fasilitas insinerasi di Jepang. Pada tahun 2014, 358 fasitilas ini juga menghasilkan listrik.[12] Oleh karena itu penting untuk dicatat bahwa di Jepang, insinerasi dan daur ulang termal atau pemulihan energi, dengan membakar sampah untuk menghasilkan energi, tidak sama.[7][12]
Di Tokyo, sebuah insinerator biasa dapat menangani 600 ton sampah per hari, yang merupakan sampah yang dihasilkan oleh sekitar 600.000 orang.[15] Pembakaran dilakukan pada suhu tinggi, dan gas buang dimasukkan melalui banyak tahap pembersihan dan pemantauan untuk memastikan bahan berbahaya seperti dioksin dan merkuri disingkirkan dan tidak dilepaskan ke udara.[15] Salah satu produk limbah pembakaran adalah abu, yang memiliki sekitar 10% dari berat sampah asli yang dibakar.[13] Abu ini dapat dibuang di tempat pembuangan akhir atau digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri.[15]
Daur ulang semakin ditekankan untuk pembuangan sampah di Jepang sejak undang-undang daur ulang disahkan pada tahun 1990-an.[1] Pada tahun 2014, Rasio Daur Ulang Sumber Daya, rasio total input material ke dalam perekonomian dan jumlah yang didaur ulang menjadi input mentah adalah 15,8%. Sedangkan, angka ini sebesar 8,2% pada tahun 1994.[12]
Berbagai kategori barang yang dapat didaur ulang dapat dievaluasi secara individual. Jepang adalah salah satu negara daur ulang kaleng aluminium teratas di dunia, dengan rasio daur ulang sebesar 84,7% pada tahun 2014.[7] Kaleng baja juga didaur ulang pada tingkat yang lebih tinggi di Jepang, 92,9% pada tahun 2013, dibandingkan negara lain di dunia.[16] Gambaran daur ulang plastik sedikit lebih rumit. Pemerintah melaporkan tingkat daur ulang sebesar 84%, salah satu yang tertinggi di dunia, tetapi termasuk dengan daur ulang termal, dengan membakar plastik menjadi energi. Hanya 27% dari plastik yang dikumpulkan diproses ulang menjadi bahan yang dapat digunakan.[17] Daur ulang termal dikritik sebagai daur ulang yang tidak benar, karena masih mendorong penggunaan plastik sekali pakai dan menghasilkan gas rumah kaca.[14][18]
Terdapat pula undang-undang dan sistem yang dibuat untuk mendaur ulang banyak jenis sampah yang kurang umum, termasuk untuk sampah konstruksi, peralatan, kendaraan, dan elektronik.[1][3]
Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 1.000 tempat pembuangan akhir di seluruh negeri untuk membuang sampah yang tidak dapat dibakar dan sisa abu dari proses pembakaran. Pada tahun tersebut, ruang tempat pembuangan akhir yang ada diperkirakan akan bertahan selama dua puluh tahun lagi, meskipun daerah tertentu, yang tidak dapat menemukan cukup ruang secara lokal, harus mengirimkan sampah ke tempat pembuangan sampah lain di Jepang untuk dibuang.[13] Pada tahun 2014, 15 juta ton sampah dikirim ke tempat pembuangan akhir.[12]
Pengurukan atau reklamasi daratan adalah proses penimbunan di laut dengan sampah yang telah diolah untuk menciptakan lahan yang dapat dikembangkan. Di Tokyo, hal ini telah terjadi sejak tahun 1920-an dan berlanjut hingga hari ini. Salah satu contoh kontemporer dari hasil pengurukan ini adalah Central Breakwater, sebuah pulau buatan di Teluk Tokyo.[15] Pada tahun 2014, 21 juta ton sampah diajukan ke proposal ini.[12]
Pembuangan dan daur ulang limbah elektronik merupakan pertimbangan penting bagi Jepang, yang menghasilkan 2,2 juta ton pada tahun 2014, peringkat ketiga menurut volume di belakang Amerika Serikat dan Tiongkok.[7] Pada tahun 1990-an, peningkatan jumlah peralatan besar membebani fasilitas pengolahan sampah yang tidak mampu menyimpannya dengan aman dan benar atau mengekstrak material berharga dari peralatan tersebut.[7][9] Hal ini menyebabkan pembentukan Undang-Undang Daur Ulang Peralatan Rumah Tangga pada tahun 2001, yang mencakup tanggung jawab konsumen dan bisnis untuk mengembalikan barang elektronik bekas mereka dan membayar biaya kepada produsen, yang pada akhirnya mengatur pembuangan yang benar. Hal ini menerapkan prinsip yang disebut Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas.[7][9] Diperkirakan bahwa 50% hingga 66% dari peralatan target didaur ulang dengan benar melalui cara ini, dengan sepertiga diekspor secara ilegal ke luar negeri untuk dibuang, dan kurang dari 1% dibuang secara ilegal.[7]
Jepang telah dilanda bencana alam besar di masa lalu, dan puing-puing yang dihasilkan dari jenis perusakan ini menimbulkan tantangan tersendiri untuk pengelolaan sampah. Berbagai bentuk puing-puing tersebar di sekitar area yang luas dan bercampur menjadi satu, sementara volume besar mengalir ke laut.[19] Salah satu studi kasus yang utama adalah pengelolaan sampah setelah gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011. Sebelum terjadinya bencana, Sendai, kota terbesar di dalam daerah yang terkena dampak paling parah, telah menyiapkan rencana yang melibatkan pemindahan sampah bencana dari daerah tersebut dalam waktu satu tahun dan pembuangan dalam waktu tiga tahun. Rencana tersebut merinci kemungkinan untuk segera memulai kembali layanan limbah yang diperlukan untuk menjaga wilayah dalam kondisi higienis, memastikan transportasi dapat dilakukan dengan lancar dan aman, dan bahkan menyertakan pertimbangan untuk menggunakan bisnis lokal dalam upaya membangun kembali jika memungkinkan.[19] Kota kecil memiliki berbagai tantangan pembuangan sampah tergantung pada ekonomi setempat, dan menerima bantuan teknis dari pejabat prefektur. Kota-kota lain seperti Tokyo juga membantu dengan menerima puing-puing bencana untuk penanganan dan pembuangan sampah daerah, meskipun terdapat beberapa kekhawatiran atas kontaminasi radioaktif dari limbah bencana nuklir Fukushima Daiichi.[19]
Undang-Undang Lingkungan Dasar tahun 1993 memberikan tulang punggung bagi kebijakan lingkungan di Jepang.[1] Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar tahun 2000 untuk Pembangunan Masyarakat Daur Ulang atau Undang-Undang Dasar Daur Ulang menjabarkan kerangka kerja dalam prinsip-prinsip pengelolaan sampah, termasuk mengurangi konsumsi sumber daya, serta tanggung jawab umum pemerintah nasional dan daerah, bisnis, dan warga negara.[1][3][9]
Peraturan dan sistem konkret untuk pengelolaan sampah ditetapkan oleh Undang-Undang Pengelolaan Sampah, yang awalnya diundangkan pada tahun 1970 dan direvisi pada tahun 2006. Undang-undang ini menjabarkan pengawasan dan peraturan tentang pembentukan dan pengolahan sampah yang tepat.[7] Undang-Undang tentang Promosi Pemanfaatan Sumber Daya Efektif tahun 1991, direvisi pada tahun 2001 untuk mempromosikan daur ulang dengan mendorong penggunaan bahan yang dapat didaur ulang dan menyediakan pelabelan di lokasi pengumpulan sampah.[7] Serangkaian[b] undang-undang mempromosikan daur ulang di industri tertentu.[1] Terakhir, Undang-Undang Pengadaan Hijau tahun 2000 mendorong pembelian produk ramah lingkungan oleh pemerintah pusat dan daerah.[1]
Undang-undang ini memiliki dampak dalam membagi tanggung jawab antara pemerintah di tingkat nasional, prefektur dan kota, serta bisnis penghasil limbah dan konsumen. Pemerintah nasional menerapkan standar, mengumpulkan informasi, dan memberikan dukungan teknologi untuk tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Pemerintah prefektur merumuskan rencana dan memberikan pengawasan terhadap pengelolaan sampah yang tepat.[1] Pada akhirnya, munisipalitas bertanggung jawab untuk membangun dan memelihara fasilitas pengelolaan sampah. Konstruksi biasanya dibiayai dengan bantuan hibah dari pemerintah nasional.[1] Salah satu contoh dari kota Jepang, Kawasaki, Kanagawa, mengeluarkan 3,6% dari anggaran kota secara umum digunakan untuk pengeluaran terkait sampah.[1]