Bagian dari seri tentang |
Kepercayaan tradisional Tionghoa 华人民间信仰 |
---|
Penghormatan Leluhur pada budaya Tionghoa (Hanzi =敬祖;hanyu pinyin =jìngzǔ) adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Praktik tersebut merupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persatuan dalam keluarga dan yang segaris keturunan. Menunjukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi yang berakar mendalam pada masyarakat Tionghoa. Dasar pemikirannya adalah kesalehan anak (孝, xiào) yang ditekankan oleh Kong Hu Cu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah para leluhur dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.[1]
Inti kepercayaan terhadap pemujaan leluhur adalah bahwa masih adanya "kehidupan" setelah kematian.[2] Dipercaya bahwa jiwa orang yang meninggal terbuat dari komponen Yin dan Yang yang disebut hun dan po. Komponen Yin, po (魄), diasosiasikan dengan makam,dan komponen Yang, hun (魂), diasosiasikan dengan papan nama leluhur yang dipajang pada altar penghormatan leluhur (sekarang sering kali digantikan dengan memajang foto). Po mengikuti tubuh ke dalam makam (ke pengadilan)dan hun tinggal dalam papan nama leluhur. Hun dan po tidaklah abadi dan perlu dipelihara (diberi makan) dengan persembahan, atau keduanya akan pergi ke akhirat (meskipun hun pergi ke surga terlebih dulu). Tidak seperti istilah yang digunakan bangsa barat, akhirat tidak memiliki konotasi negatif.[3]
Keadaan pemujaan leluhur di Republik Rakyat Tiongkok modern dilaporkan mengalami penurunan pada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh rezim komunis (yang tidak ramah terhadap praktik keagamaan). Namun pada daerah pedesaan, dan juga Taiwan, pemujaan leluhur dan praktiknya masih biasa ditemukan.[2]
Konfusius mengajarkan pentingnya memahami serta melaksanakan Lima Etika (Wu Lun). Lima Etika merupakan aturan dalam berinteraksi agar kehidupan masyarakat menjadi harmonis.[4] Kelima hubungan tersebut adalah:
Semenjak masa hidup Konfusius hingga abad ke-20, kematian orang tua secara umum memiliki arti bahwa anak-anak mereka akan berkabung selama tiga tahun. Masa tiga tahun tersebut melambangkan tiga tahun pertama pada kehidupan anak-anak saat mereka dirawat dan dicintai secara penuh oleh orang tua mereka. Praktik perkabungan tersebut termasuk mengenakan baju goni, tidak mencukur rambut, makan bubur dua kali sehari, tinggal dalam gubuk berkabung yang didirikan di samping rumah. Dikisahkan bahwa setelah kematian Konfusius, para muridnya melakukan periode tiga tahun perkabungan ini untuk menunjukkan komitmen mereka pada ajaran dia.
Praktik berkabung biasanya menggunakan tata cara yang terperinci, dan yang umumnya selalu ada adalah: Meratap sebagai penanda bahwa terjadi kematian di dalam keluarga, keluarga mengenakan pakaian putih pemakaman, memandikan jenasah, mempersembahkan barang-barang secara simbolis kepada jiwa yang meninggal (seperti uang dan makanan), menyiapkan dan memasang papan arwah, memanggil spesialis ritual (pendeta Tao atau Buddhis), memainkan musik atau membacakan doa untuk menemani jenasah dan menenangkan jiwa yang meninggal, menutup peti jenasah, menjauhkan peti dari masyarakat.[3] Terdapat kepercayaan bahwa keras-tidaknya ratapan yang dikeluarkan menggambarkan hubungan orang yang meratap dengan yang meninggal.
Jika orang yang meninggal berusia di bawah 80 tahun, semua perlengkapan (lilin, kain nama, taplak meja, dan sebagainya) menggunakan warna putih. Tetapi jika yang bersangkutan berusia lebih dari 80 tahun, peralatan yang digunakan sebagian berwarna merah untuk menandakan bahwa ia telah mengalami hidup yang panjang dan bahagia. Warna merah bagi masyarakat Tionghoa memiliki arti bahagia, sedangkan putih berarti berduka-cita.
Masyarakat Tionghoa tradisional juga membedakan antara keturunan dalam dan keturunan luar. Keturunan dalam adalah semua anak, cucu, cicit, dan buyut yang berasal dari anak pria; sementara keturunan luar berasal dari anak wanita. Anggota keluarga yang termasuk ke dalam keturunan dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih yang dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah.
Menurut budaya tradisional Tionghoa, dikatakan bahwa terdapat dua hal penting yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya dapat dikatakan sempurna; Pertama adalah memakamkan ayahnya, kedua adalah memakamkan ibunya. Pemakaman dianggap menjadi bagian dalam perjalanan hidup normal sebuah keluarga, dan menjadi pemersatu keluarga-keluarga dari generasi ke generasi. Tujuan utamanya adalah melindungi jiwa yang meninggal dari roh jahat, mengarahkan jiwa Yin ke bumi, dan jiwa Yang menuju tempat para leluhur. Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tenteram, serta memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya. Saat orang yang terkasih meninggal, jenasahnya dimandikan dan dikenakan pakaian pemakaman (atau "pakaian panjang umur" yang melambangkan umur panjang bagi jiwa.[1]
Profesional Tao atau Buddhis juga dapat dipanggil dalam proses pemakaman untuk mengusir roh-roh jahat dan memberi energi bagus kepada yang meninggal. Keluarga akan meletakkan papan leluhur di atas altar pada rumah mereka di antara papan-papan arwah leluhur yang lainnya. Tindakan tersebut melambangkan persatuan para leluhur, serta demi kepentingan garis keturunan keluarga.[2] Hio dinyalakan di depan altar setiap harinya, dan persembahan seperti makanan favorit, minuman, dan uang arwah (kimcoa) dipersembahkan setiap bulannya. Uang arwah adalah uang kertas yang dibakar (sehingga dapat diterima jiwa leluhur dan mereka gunakan di akhirat); pada zaman sekarang juga disediakan bentuk kartu kredit arwah, televisi arwah, sepeda arwah, dan sebagainya.
Semakin kaya sebuah keluarga, mereka biasanya juga akan semakin lama menunda masa penguburan; peti mati akan ditempatkan pada ruangan rumah yang disediakan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya adalah, sebuah pemakaman yang menguntungkan dapat terjadi beberapa tahun setelah penguburan, tulang-belulangnya digali, dicuci, dikeringkan, dan disimpan dalam guci tanah liat (keramik). Setelah selang beberapa waktu, isinya akan dimakamkan kembali untuk terakhir kalinya pada lokasi yang telah dipilih oleh seorang ahli feng shui.[1]
Para keturunan orang yang meninggal akan memakamkan leluhur mereka bersama dengan barang-barang yang mereka harapkan akan dibawa ke akhirat. Beberapa keluarga kerajaan meletakkan bejana perunggu, tulang orakel, serta korban manusia atau binatang di dalam makam. Semua persembahan tersebut dipandang sebagai segala sesuatu yang akan dibutuhkan jiwa tersebut di akhirat dan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Persembahan yang paling umum adalah membakar hio dan lilin, dan mempersembahkan arak serta makanan.[1] Seorang medium shi (尸) adalah perwakilan persembahan dari keluarga orang yang meninggal semenjak masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM). Selama upacara shi, roh orang yang meninggal akan memasuki sang medium yang selanjutnya akan makan dan minum persembahan serta menyampaikan pesan spiritual.
Persembahan diberikan secara berkala oleh anak-cucu kepada leluhur yang telah meninggal. Festival seperti Cheng Beng memerlukan persembahan seperti makanan, buah-buahan, dupa, dan lilin.
Masyarakat Tionghoa biasa mempersembahkan uang arwah atau uang orang mati. Jinzhi adalah bukanlah uang yang digunakan oleh manusia di dunia, melainkan lembaran kertas yang melambangkan uang. Saat dibakar di altar atau di makam, dipercaya bahwa nilainya akan ditransfer kepada leluhur di dunia akhirat. Terdapat dua jenis uang arwah, yaitu uang emas dan uang perak. Uang emas digunakan sebagai persembahan untuk para dewa, sementara uang perak digunakan sebagai persembahan untuk leluhur.
Doa biasanya dilakukan pada altar rumah. Pria tertua dalam keluarga akan berbicara mewakili seluruh anggota keluarganya dalam doa harian. Ritual ini sangatlah penting karena adanya kepercayaan bahwa jika mereka melupakan garis keturunan mereka, mereka akan dihantui atau menjadi roh gentayangan saat meninggal nanti.
Feng Shui dalam pemakaman berfungsi untuk mengatur aliran chi berdasarkan posisi makam. Aliran chi yang buruk akan menyebabkan arwah menjadi tidak tenang. Arwah tersebut dapat kembali untuk menghantui keturunannya, sehingga lokasi yang memiliki feng shui bagus selalu dipilih untuk memakamkan leluhur.[1][2]
Qingming ("jernih-terang") merupakan festival membersihkan makam yang biasanya jatuh pada tanggal 4 April. Festival ini merupakan festival menyambut musim semi, yang dianggap sebagai waktu pembaharuan dimana keluarga yang telah meninggal akan berkumpul kembali dengan yang masih hidup.[5] Saat festival ini berlangsung, anggota keluarga akan menjenguk makam leluhur mereka untuk membersihkan (menyapu tanah dan mencabuti rumput) kemudian menghiasnya kembali (menanam bunga segar atau menambahkan ornamen baru) sebagai cara untuk merayakan masa kehidupan leluhur yang telah meninggal daripada menangisinya. Perhatian dan pelayanan seluruh keluarga umumnya difokuskan pada makam anggota keluarga yang paling terakhir meninggal, atau leluhur yang paling menonjol, misalnya leluhur yang mengawali garis keturunan keluarga.[1]
Pada bulan ke tujuh penanggalan Imlek, dipercaya bahwa gerbang antara akhirat terbuka bagi para roh untuk memasuki dunia manusia serta melakukan apa yang mereka inginkan. Selama masa ini, masyarakat biasanya mempersembahkan makanan atau (uang arwah) agar roh-roh tersebut tenang. Uang arwah dipersembahkan kepada para leluhur diiringi rasa bakti. Roh-roh yang tidak diberi persembahan oleh keturunannya akan menjadi kelaparan dan membawa kesialan bagi keluarganya. Festival ini sangat penting karena selama periode ini, alam manusia dipenuhi roh-roh bergentayangan.[1]