Penularan COVID-19 (Inggris: Transmission of COVID-19) dapat terjadi dari orang ke orang secara khusus melalui saluran pernapasan, setelah seseorang yang positif terjangkit Covid-19 mengalami batuk, bersin, bernyanyi, berbicara ataupun juga bernapas.[1] Infeksi ini baru akan terjadi ketika partikel yang mengandung virus tersebut keluar atau dihembuskan oleh orang yang positif terinfeksi, baik berupa percikan pernapasan ataupun aerosol, masuk ke dalam mulut, hidung, atau mata orang lain yang melakukan kontak erat dengan orang yang terinfeksi.[2] Selama terjadinya penularan dari orang ke orang, ada sekitar 1.000 virus SARS-CoV-2 yang ditularkan kepada orang yang belum terinfeksi atau yang akan ditularkan .[3][4]
Melakukan jaga jarak dan juga penggunaan masker, termasuk masker kain, masker bedah, respirator, dan penutup wajah lain yang dianjurkan, merupakan cara yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk terhindar dari penularan Covid-19, secara khusus ketika berkomunasi atau kontak erat dengan orang lain di luar ruangan. Untuk di dalam ruangan, penularan Covid-19 dapat dikurangi dengan memperhatikan sistem pemanas dan ventilasi ruangan untuk menjaga stabilitas sirkulasi udara yang baik.[5]
Penyebaran utama virus ini dapat terjadi melalui percikan pernapasan yang keluar dari tubuh seseorang yang terinfeksi ketika mengalami batuk, bersin, bernapas, ataupun berbicara. Cairan yang keluar tersebut dapat hinggap di mulut atau juga hidung orang lain yang berada di dekatnya. Jarak terdekat yang paling mudah tertular adalah ketika berada dalam kontak dekat 6 kaki (1,8 m) dengan yang terinfeksi.[6][7][8]
Beberapa negara atau kawasan mengartikan "kontak erat" dengan definisi yang berbeda. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mendefinisikan kontak erat, yaitu "dalam 6 kaki (1,8 m) dari orang yang terinfeksi, dengan total kumulatif 15 menit atau lebih selama periode 24 jam."[9] Di Eropa definisi kontak erat berdasarkan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa, yaitu "berjarak kurang dari 1 meter (3,3 ft)."[7]
Sementara di Australia, menurut Departemen Kesehatan Australia, kontak erat dapat dikategorikan ketika berada dalam satu ruangan tertutup dengan waktu yang cukup lama, seperti sekitar dua jam.[10] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau jarak utama yang direkomendasikan adalah 1 meter (3,3 ft).[6] Di Indonesia sendiri, melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mengimbau jarak yang disarankan merujuk pada WHO, yaitu 1 meter (3,3 ft).[11]
Penularan COVID-19 bisa terjadi melalui aerosol yang mengandung sisa tetesan, yang dapat bertahan di udara dalam jangka waktu yang cukup lama.[6][12] Penularan umumnya lebih mudah terjadi di dalam ruangan yang banyak dikunjungi, seperti di dalam restoran, pusat kebugaran, kelab malam, kantor, tempat latihan paduan suara, dan juga rumah ibadah.[13] Penularan juga dapat terjadi di rumah sakit, khususnya ketika petugas kesehatan sedang melakukan prosedur medis kepada pasien Covid-19 yang menghasilkan aerosol.[13] Partikel virus telah terdeteksi hinggap di sistem ventilasi rumah sakit, dan ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan penularan aerosol dalam jarak jauh.[14]
Virus dapat dengan mudah menular melalui air liur dan lendir dan juga ciuman. Ada kemungkinan bahwa melakukan kontak langsung dengan feses termasuk anilingus juga dapat menyebabkan penularan virus.[15] Meskipun demikian, hingga Juli 2020 belum ada laporan yang dipublikasikan tentang penularan Covid-19 melalui feses atau urin. Meskipun Covid-19 bukan penyakit infeksi menular seksual, hubungan intim memiliki risiko tinggi penularan Covid-19 karena adanya jarak yang dekat.[16]
Rajin mencuci tangan merupakan cara utama dalam pengendalian terhadap penularan kontak langsung.[8] Pencegahan penularan juga dapat dilakukan dengan tidak berciuman dan menghindari hubungan seks kasual.[15][16] Bagi hubungan suami-itri, disarankan untuk menggunakan masker selama berhubungan intim dan memakai kondom, atau hanya melakukan masturbasi atau melakukan seks siber bersama.[15]
Hingga bulan Juli 2020, belum ada kasus penularan Covid-19 dari ibu ke anak selama kehamilan.[17] Penelitian para ahli tidak menemukan adanya virus yang dapat hidup dalam air susu ibu atau ASI. WHO merekomendasikan supaya ibu setelah melahirkan, tetapi dicurigai atau telah dikonfirmasi terinfeksi Covid-19, agar tetap terus menyusui.[18]
Virus ini dapat menular dengan sangat mudah dan berkelanjutan, tetapi jumlah orang yang akan terinfeksi melalui satu orang yang sudah terinfeksi sangat bervariasi jumlahnya. Banyak masyarakat yang tidak menularkan virus, namun beberapa orang justru menularkan virus ke banyak orang.[19] Pada bulan September 2020 diperkirakan satu orang yang terinfeksi rata-rata akan menularkan virus antara dua hingga tiga orang yang ada di sekitarnya atau close contact.[7] Virus ini lebih menular daripada influenza, tetapi tidak seperti penularan campak.[8]
Diperkirakan jumlah orang yang terinfeksi melalui satu orang dengan positif COVID-19, angka reproduksi dasar ( R 0 ), sangat bervariasi. Pada awal penelitian, WHO memperkirakan untuk R 0 adalah 1,4–2,5 (rata-rata 1,95); namun penelitian selanjutnya bulan April 2020 menemukan rata-rata penularan R 0 menjadi 5,7.[20]
Orang yang positif tertular atau terinfeksi COVID-19 akan menunjukkan gejala-gejala, bisa dalam gejala yang ringan atau bisa juga tidak spesifik. Akan tetapi, gejala yang muncul akan terlihat setidaknya setelah dua hari terinfeksi virus tersebut. Sementara bagi mereka yang positif durasi penularan virus terjadi sekitar tujuh hingga dua belas hari kemudian dalam kasus sedang dan rata-rata dua minggu untuk kasus parah.[6][7] Dalam penelitian para ahli menunjukkan bahwa Viral load atau jumlah kuantitatif partikel virus yang masuk ke sistem tubuh,[21] akan memuncak pada saat hari timbulnya gejala awal dan akan menurun setelahnya, sebagaimana diukur oleh penelitian RNA.[21]