Perang dagang Amerika Serikat–Tiongkok bermulai setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pada 22 Maret 2018, berkehendak mengenakan bea masuk sebesar US$50 miliar untuk barang-barang Tiongkok di bawah Pasal 301 Undang-Undang Amerika Serikat Tahun 1974 tentang Perdagangan, dengan menyebut adanya "praktik perdagangan tidak adil" dan pencurian kekayaan intelektual.[1][2] Sebagai pembalasan, pemerintah Tiongkok juga menerapkan bea masuk untuk lebih dari 128 produk AS, termasuk terutama sekali kedelai, ekspor utama AS ke Tiongkok.[3][4]
Pada 6 Juli 2018 Presiden AS Donald Trump memberlakukan bea masuk terhadap barang-barang Tiongkok senilai $34 miliar, yang kemudian menyebabkan Tiongkok membalas dengan tarif yang serupa terhadap produk-produk AS. Trump mengatakan bahwa bea tersebut diperlukan untuk melindungi keamanan nasional dan kekayaan intelektual bisnis AS, dan untuk membantu mengurangi defisit perdagangan AS dengan Tiongkok.[1][2] Trump pada bulan Agustus 2017 telah membuka penyelidikan resmi mengenai serangan terhadap kekayaan intelektual Amerika dan sekutu-sekutunya, pencurian yang telah merugikan Amerika sendiri sekitar $600 miliar per tahun.[5]
Presiden AS Donald Trump menandatangani sebuah memorandum pada 22 Maret 2018 menurut Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan 1974, serta memerintahkan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) untuk menerapkan bea masuk sebesar US$50 miliar terhadap barang-barang Tiongkok. Dalam sebuah pernyataan resmi, seperti yang disyaratkan oleh seksi tersebut, Trump mengatakan bahwa bea yang diusulkan adalah "respons terhadap praktik perdagangan Tiongkok yang tidak adil selama bertahun-tahun", termasuk pencurian kekayaan intelektual AS.[1][2]
Pada 2 April, Kementerian Perdagangan Tiongkok mengenakan bea terhadap 128 produk AS termasuk potongan aluminium, pesawat terbang, mobil, produk daging babi, dan kedelai (yang memiliki tarif 25%), serta buah-buahan, kacang-kacangan, dan pipa baja (15%).[3][4] Keesokan harinya, USTR menerbitkan daftar lebih dari 1.300 kategori barang-barang impor Tiongkok senilai $50 miliar yang rencananya akan dikenakan bea, termasuk suku cadang pesawat, baterai, televisi layar datar, peralatan medis, satelit, dan senjata.[6][7][8] Sebagai pembalasan atas pengumuman itu, Tiongkok memberlakukan tambahan tarif 25% untuk pesawat, mobil, dan kedelai, yang merupakan ekspor pertanian utama AS ke Tiongkok.[4][9] Pada 5 April, Trump menginstruksikan USTR untuk mempertimbangkan tambahan pengenaan bea sebesar $100 miliar.[10][11]
Presiden Trump membantah bahwa perselisihan tersebut adalah sebuah perang dagang, yang dinyatakan di Twitter pada April 2018, "kita telah lama kalah dalam perang itu karena ulah orang-orang bodoh, atau tidak kompeten, yang mewakili kepentingan AS ", dan menambahkan bahwa "sekarang kita mengalami defisit perdagangan $500 miliar per tahun, ditambah pencurian kekayaan intelektual sebesar $300 miliar per tahun. Kita tidak bisa membiarkan keadaan ini terus berlanjut!"[12][13] Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menyatakah dalam sebuah wawancara CNBC bahwa tarif terhadap produk Tiongkok yang direncanakan hanya mencerminkan 0,3% dari produk domestik bruto AS, sementara Juru Bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders menyatakan bahwa langkah tersebut akan memiliki "rasa sakit jangka pendek" namun membawa "kesuksesan jangka panjang".[12][13][14][15]