Perpajakan di Indonesia

Perpajakan di Indonesia termasuk pajak penghasilan, barang dan penjualan.

Perpajakan di Indonesia didasarkan pada Pasal 23A UUD 1945, dimana pajak adalah kontribusi yang dikenakan kepada seluruh Warga Negara Indonesia, warga negara asing dan warga yang tinggal secara kumulatif 120 hari di wilayah Indonesia dalam jangka waktu dua belas bulan.

Indonesia memiliki stratifikasi pajak termasuk pajak penghasilan, pajak daerah dan pajak pemerintah pusat.

Hukum perpajakan di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Dasar hukum perpajakan di Indonesia meliputi:[1]

  • Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan / UU KUP;
  • Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan / UU PPh.
  • Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah /UU PPN-PPn BM ):
  • Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan / UU PBB;
  • Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa/UU PPSP") Undang-undang No. 19/1997, diubah dengan Undang-undang No. 19/2000;
  • "Undang-undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/UU BPHTB") Undang-undang No. 21/1997 diubah dengan Undang-undang No. 20/2000;
  • "Undang-undang Pengadilan Pajak/UU PP": Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002;
  • "Undang-undang Bea Meterai/UU BM" pendek kata: Undang-undang No. 13 Tahun 1985.
  • Undang_undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Sistem Pemungutan Pajak

[sunting | sunting sumber]

Sistem pemungutan utama yang dikenal adalah system self Assesmet dan Official Assessment, yang penerapannya terkait dengan paham utang pajak yang dianut. Penerapan sistem tersebut sangat tergantung kepada peran penerimaan pajak bagi negara, bagi negara yang penerimaan negaranya sangat tergantung kepada penerimaan pajak, akan memilih System Self Assessment sebagai sistem pemungutan pajak karena lebih efisien dan efektif menampung dinamika pertumbuhan wajib pajak dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Secara filosofi pun system self assessment lebih manusiawi, dan peran negara lebih difokuskan kepada aktivitas penyuluhan dan pembinaan, pengawasan, serta menjadi law enforcer agar peraturan perpajakan dipatuhi.

Sebagai pelengkap, dipraktikkan system withholding tax yang sangat efisien dalam pemungutannya, dan sangat mendukung realisasi penerimaan negara.[2]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Direktorat Jenderal Pajak". pajak.go.id. Diakses tanggal 2017-09-12. 
  2. ^ Djulianto, Suryohadi (2015). Tata Cara Pelaksanaan Pajak (dalam bahasa Inggris). 2. Jakarta: Universitas Terbuka. hlm. 1–43. ISBN 978-7-970119-70-3. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]