Sengketa Sabah, atau juga dikenal dengan Sengketa Borneo Utara Britania, adalah sengketa wilayah antara Malaysia dan Filipina atas sebagian besar bagian timur wilayah negara bagian Sabah. Wilayah tersebut dulunya (pada masa kolonialisme Inggris) disebut dengan Borneo Utara Britania sebelum Perjanjian Malaysia terbentuk. Sabah saat ini merupakan salah satu negara bagian di Malaysia dan juga merupakan salah satu dari 13 negara bagian pendiri dalam pembentukan Federasi Malaysia pada tahun 1963.
Filipina memposisikan diri sebagai negara penerus (successor state) dari Kesultanan Sulu, yang mempertahankan klaim kedaulatan atas wilayah Sabah bagian timur yang dahulu dikuasai oleh Kesultanan Sulu. Melalui perjanjian pada tahun 1878, wilayah tersebut hanya disewakan oleh Sulu kepada Serikat Borneo Utara Inggris sehingga kedaulatan penuh Sulu (dan kemudian Filipina sebagai negara penerus) atas wilayah tersebut diklaim tidak pernah lepas.[1] Sementara itu, Malaysia menganggap sengketa ini bukanlah sebuah persoalan karena menganggap bahwa perjanjian yang disepakati pada tahun 1878 adalah perjanjian penyerahan wilayah.[2] Malaysia juga mempertahankan pendapat bahwa penduduk di wilayah Sabah, termasuk Sabah bagian timur, telah menggunakan hak dan kebebasannya untuk bergabung membentuk Federasi Malaysia pada tahun 1963.[3]
Pada tanggal 22 Januari 1878, Kesultanan Sulu dan kongsi dagang Inggris yang diwakili oleh Alfred Dent dan Baron von Overbeck menandatangani sebuah perjanjian menetapkan bahwa Borneo Utara diserahkan atau disewakan (tergantung versi terjemahan mana yang digunakan) kepada kongsi dagang Inggris dengan imbalan 5.000 dolar Malaya per tahun.[4][5]
Perjanjian 1878 ditulis dalam bahasa Melayu menggunakan huruf Jawi, yang mana kalimat yang dipermasalahkan adalah sebagai berikut:
"...sudah kuredhai pajakan dengan keredhaan dan kesukaan kita sendiri kepada tuan Gustavus Baron von Overbeck yang tinggal dalam negeri Hong Kong dan kepada Alfred Dent Esquire yang tinggal dalam negeri London... sampai selama-lamanya sekalian perintah dan kuasa yang kita punya yang takluk kepada kita di tanah besar Pulau Borneo dari Sungai Pandasan di sebelah barat sampai sepanjang semua tanah di pantai sebelah timur sejauh Sungai Sibuku di sebelah selatan."[6]
Kata kunci yang menjadi permasalahan dalam perjanjian tersebut adalah pajakan, yang oleh ahli bahasa Spanyol pada tahun 1878 dan dua antropolog asal Amerika Serikat H. Otley Beyer dan Harold Conklin pada tahun 1946 diterjemahkan sebagai arrendamiento atau lease, yang berarti sewa.[7][8][9] Sedangkan Inggris menggunakan terjemahan dari sejarawan Najeeb Mitry Saleeby pada tahun 1908 serta William George Maxweel dan Wiliam Summer Gibson pada tahun 1924, yang mengartikan kata pajak sebagai penyerahan.[10][11]
Pajakan dalam bahasa Melayu secara harafiah diartikan sebagai gadai atau sewa, yang pada hakikatnya wilayah tersebut digadaikan dengan sejumlah uang yang dibayarkan tahunan, dan kesultanan harus membayar kembali dari nilai uang yang diberikan untuk mengeklaim wilayahnya kembali.[12] Kata selama-lama yang berarti selama-lamanya mengindikasikan bahwa perjanjian tersebut berlaku seterusnya sampai dengan sultan-sultan berikutnya.
Selama masa kekuasaan Inggris di Borneo Utara, pemerintah Inggris terus melakukan pembayaran tahunan kepada Sultan Sulu dan penerus tahtanya. Pembayaran ini dicantumkan dalam nota pembayaran sebagai "uang penyerahan" (cession money).[13] Pada sebuah konferensi di London tahun 1961 di saat perwakilan pemerintah Filipina dan perwakilan dari pemerintah Inggris bertemu untuk mendiskusikan klaim Filipina atas Borneo Utara, pihak Inggris memberitahukan kepada anggota kongres Filipina Jovito Salonga bahwa kata-kata "uang penyerahan" dalam nota pembayaran tidak diprotes atau disanggah oleh Sultan Sulu dan penerus tahtanya.[14]
Dalam pertemuan Mafilindo pada tahun 1963 antara pemerintah Filipina, Indonesia, dan Malaysia, pemerintah Filipina menyampaikan bahwa Sultan Sulu meminta pembayaran sejumlah 5.000 dari pemerintah Malaysia.[15] Perdana menteri Malaysia pertama saat itu, Tunku Abdul Rahman, mengatakan bahwa dia akan kembali ke Kuala Lumpur untuk mengurus permintaan tersebut.[15] Sejak saat itu, Kedutaan Besar Malaysia di Manila telah membayarkan cek sejumlah 5.300 ringgit Malaysia (1.710 dolar Amerika atau sekitar 77.000 peso Filipina) kepada kuasa hukum dari penerus tahta Sultan Sulu.[16] Pembayaran tersebut kemudian dihentikan sejak tahun 2013.[16] Pemerintah Malaysia menganggap bahwa jumlah yang dibayar setiap tahunnya adalah pembayaran untuk penyerahan wilayah, sedangkan pihak keluarga keturunan sultan menganggapnya sebagai biaya sewa.[17]
Klaim Kesultanan Sulu di atas didasarkan kepada perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 22 januari 1878 oleh Sultan Jamalul Alam dari Sulu, yang isinya adalah penunjukan Baron de Overbeck sebagai Dato Bendahara dan Raja Sandakan. Namun, sebelumnya pada tanggal 29 Desember 1877, terdapat perjanjian lain yang ditandatangani oleh Sultan Abdul Momin dari Brunei yang isinya menetapkan Baron de Overbeck sebagai Maharaja Sabah, Rajah Gaya dan Sandakan. Perjanjian ini juga memberikan Overbeck wilayah Paitan sampai dengan Sungai Sibuku sehingga wilayah yang diberikan pada perjanjian sebelumnya ini tumpang tindih dengan klaim Kesultanan Sulu atas wilayah kekuasaan mereka di Sabah.[18] Pada tahun 1977, Kesultanan Brunei masih menganggap dan mempertahankan bahwa wilayah tersebut berada dalam kekuasaan mereka.[19]
Ketika Spanyol menguasai hampir seluruh wilayah di Filipina, Sultan Sulu telah dipaksa untuk menandatangani sebuah dokumen, yang mana salah satu klausulnya menyebutkan jika semua aset yang dimiliki oleh Kesultanan Sulu yang berada di wilayah Palawan dan Sulu (tidak termasuk Borneo Utara) telah berada di bawah kekuasaan Spanyol. Selanjutnya pada tahun 1885 Spanyol bersama Britania Raya menandatangani Protokol Madrid, disaksikan oleh Jerman yang isinya menyatakan bahwa Spanyol melepaskan seluruh tuntutannya atas wilayah Borneo Utara terhadap Inggris.
Pada 11 Februari 2013, terjadi penyerangan di bagian timur Sabah oleh kelompok yang mengeklaim dirinya sebagai pengikut Jamalul Kiram III. Penyerangan tersebut terjadi karena adanya tuntutan pengakuan kedaulatan Kesultanan Sulu atas wilayah Sabah dan hak untuk bermukim disana.[20] Namun, aksi ini ditentang oleh pemerintah Filipina.[21]
Klaim yang telah berlangsung selama puluhan tahun baru-baru ini kembali mengemuka pasca kedutaan Amerika Serikat untuk Filipina mencuit bahwa Amerika menyumbangkan perlengkapan kebersihan kepada Filipina dengan catatan "dari Sabah, Malaysia"[1]. Selanjutnya Menteri Luar Negeri Filipina Teodore Locsin Jr., membalas cuitan tersebut dengan pernyataan bahwa "Sabah bukan berada di Malaysia jika ingin melakukan hubungan dengan Filipina". Atas insiden ini Departemen Luar Negeri Filipina akhirnya berencana mendirikan kembali Kantor Urusan Kalimantan Utara (North Borneo Bureau)[2].