Petisi 50

Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "Ungkapan Keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Ali Sadikin,[1] serta mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.
Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila;[2] Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya"; Soeharto menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer; sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi; dan bahwa prajurit dianjurkan untuk "memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto".[3]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Dengan maksud menghindarkan ancaman-ancaman ideologis dari kiri (yaitu komunisme) dan kanan (yaitu Islam politik), pada 1978 pemerintah Orde Baru mengeluarkan instruksi yang mengharuskan dijadikannya Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di departemen-departemen pemerintahan, sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja, dll., sehingga mengundang kritik dan cemoooh dari kaum intelektual.[2]

Pada sebuah rapat umum dengan para pimpinan angkatan ABRI pada 27 Maret 1980 di Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau, Soeharto mengatakan bahwa ABRI telah berjanji untuk melindungi Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan-kemungkinan amendemen. Soeharto juga berkata bahwa sebagai sebuah kekuatan sosial-politik, ABRI harus memilih mitra-mitra politik yang benar yang telah terbukti bersedia mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, karena saat itu ada kekuatan-kekuatan sosial-politik yang meragu-ragukannya. Ia lalu mengulangi pikiran-pikirannya ini dalam sebuah pidato pada bulan berikutnya pada peringatan hari jadi Kopassus. Pidato-pidatonya ini mengundang tanggapan-tanggapan yang keras sehingga muncullah Petisi 50. Nama ini muncul karena petisi ini ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia.[4][5]

Isi dokumen

[sunting | sunting sumber]
UNGKAPAN KEPRIHATINAN

Dengan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, kami yang bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Koppasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980. Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:

  1. Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin "melestarikan Pancasila" di satu pihak dengan mereka yang ingin "mengganti Pancasila" di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;
  2. Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa;
  3. Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945;
  4. Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;
  5. Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila;
  6. Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi, dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang.

Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam pidato-pidato Presiden Soeharto adalah unsur yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pemerintahan negara ini dan pemilihan umum yang segera akan berlangsung, kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.

Jakarta, 5 Mei 1980

Tertanda

Tanggapan pemerintah

[sunting | sunting sumber]

Petisi ini dibacakan di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 13 Mei 1980 dengan maksud untuk meyakinkan para wakil rakyat agar meminta penjelasan dari Presiden tentang apa maksudnya yang sesungguhnya dengan kedua pidatonya itu. Delegasi yang menghadap para wakil rakyat ini dipimpin oleh Mayjen. (purn.) Dr. Azis Saleh. Pada 3 Juli 1980, 19 anggota DPR mengajukan sebuah dokumen yang memuat dua buah pertanyaan kepada Presiden. Mereka bertanya apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu memuat masalah-masalah penting yang patut mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari DPR dan pemerintah, dan apakah rakyat Indonesia patut mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dan terinci tentang masalah-masalah yang diangkat.[8] Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada Presiden dalam sebuah surat tertanggal 14 Juli.[9] Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang berbagai reaksi di lingkungan DPR. Seorang anggota DPR, Soedardji, tidak setuju bahwa Presiden harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, rekan separtainya, Anwar Nuris, mengatakan bahwa hal itu adalah bagian yang normal dari proses berkonstitusi.[10]

Pada 1 Agustus 1980, Soeharto menyampaikan jawabannya kepada Ketua DPR Daryatmo, dengan melampirkan salinan dari kedua pidatonya yang mendorong lahirnya "Ungkapan Keprihatinan". Soeharto menulis bahwa ia yakin bahwa para anggota DPR yang telah berpengalaman akan memahami makna dari pidato-pidatonya itu, namun apabila mereka masih belum puas, ia mengusulkan agar para anggota DPR mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada anggota-anggota dari Komisi-Komisi DPR terkait, sesuai dengan prosedur tata cara DPR. Pemerintah lalu dengan senang hati akan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan, melalui Menteri Pertahanan/para panglima militer, khususnya tentang hal-hal yang diangkat oleh "Petisi 50" [kutipan sesuai aslinya]. Ketua DPR menyampaikan kepada wartawan bahwa menurut pendapatnya, tanggapan ini telah cukup memberikan perhatian kepada ke-19 anggota DPR itu, dan telah memperlihatkan rasa hormat kepada DPR.[11]

Karena pemerintah menguasai semua komisi, wacana publik yang sungguh-sungguhpun ditutup begitu saja dan status quo "Orde Baru" yaitu dwifungsi, kesatuan Golkar dan ABRI, serta keutamaan Pancasila ditegaskan kembali.[12] Dalam pidato 17 Agustusnya pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan kembali bahwa "Satu-satunya cara bagi kita untuk melaksanakannya ialah dengan menerapkan pembangunan ...[dan untuk maksud tersebut] kita semua harus mampu menjaga kestabilan dinamika regional."[13] Soeharto kemudian mencabut hak-hak perjalanan para kritikusnya, dan melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka ataupun mengutip pernyataan-pernyataan mereka..[14] Para anggota kelompok ini tidak dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak.[15] Soeharto menyatakan: "Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot".[16]

  1. ^ "Former governor Ali Sadikin, freedom fighter SK Trimurti die". Jakarta Post. 2008-05-21. Diakses tanggal 2008-06-07. 
  2. ^ a b Ricklefs (1991), h. 306.
  3. ^ Bresnan, John Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York: Columbia University, 1993 h. 207. Cited in Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. hlm. p. 179. ISBN 0-674-01137-6. 
  4. ^ P. Bambang Siswoyo (1983) h. 3
  5. ^ www.riauonline.co.id. "Gedung Balai Dang Merdu, Saksi Bisu Soeharto Antikritik dan Otoriter". RiauOnline. Diakses tanggal 2019-01-05. 
  6. ^ P. Bambang Siswoyo (1983) p27-28
  7. ^ Bakri Tianlean (1997) h. 151-154
  8. ^ P. Bambang Siswoyo (1983) p36
  9. ^ Bakri Tianlean (1997) h. 151
  10. ^ P. Bambang Siswoyo (1983) h. 37-39
  11. ^ P. Bambang Siswoyo (1983) h. 47-48
  12. ^ Elson, R. Suharto: A Political Biography Cambridge UK: Cambridge University Press, 2001, h. 229-232. Dikutip dalam Friend (2003), h. 180
  13. ^ Bresnan, John Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York: Columbia University, 1993 h. 206-208. Dkutip dalam Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. hlm. p. 179. ISBN 0-674-01137-6. 
  14. ^ Schwartz (1994), h. 36.
  15. ^ Crouch (2007), h. 356
  16. ^ Suharto, My Thoughts, Words and Deeds: An Autobiography, Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1991, h. 298. Dikutip dalam Schwartz (1994), h. 36