Pluralisme hukum dapat didefinisikan sebagai keberadaan mekanisme-mekanisme hukum yang berbeda di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh, di Afrika pada masa penjajahan, orang Afrika diatur oleh hukum adat, orang Eropa yang menetap di wilayah tersebut diatur dengan hukum tertulis, sementara diplomat yang sedang bertandang di negeri tersebut memiliki kekebalan hukum dan memperoleh keuntungan dari mekanisme hukum yang tidak berlaku kepada rakyat di negeri tersebut.[1]
Sementara itu, Barry Hooker (1975) mendefinisikan pluralisme hukum sebagai interaksi antara dua jenis hukum atau lebih. Bagi Hooker, sistem pluralisme hukum yang ada di dunia saat ini merupakan dampak dari menyebarnya sistem hukum tertentu ke luar wilayah asalnya. Contohnya adalah Indonesia pada masa penjajahan Belanda; sistem hukum Belanda diperkenalkan di Nusantara dan kemudian diterima sebagai hukum Indonesia setelah kemerdekaan.[2]
Terdapat dua jenis pluralisme hukum. Yang pertama adalah "pluralisme hukum negara", yaitu ketika dua sistem norma berlaku sebagai hukum negara. Contohnya adalah hukum adat dan hukum tertulis yang berlaku sebagai hukum negara di Afrika pada masa penjajahan. Sementara itu, jenis pluralisme hukum yang kedua adalah deep legal pluralism, yaitu ketika terdapat tatanan norma di luar hukum negara yang berlaku di masyarakat.[2]