Prostitusi di Myanmar (yang dikenal sebagai Burma) merupakan kegiatan ilegal[1] tetapi tersebar luas.[2] Kegiatan prostitusi merupakan isu sosial utama yang mempengaruhi wanita dan anak-anak. UNAIDS memperkirakan terdapat 66.000 pekerja seks di Myanmar.[3]
Wanita sering kali dibujuk ke dunia prostitusi dengan janji untuk bekerja di tempat yang sah, yang memiliki gahi tinggi, dan karena mereka memiliki level pendidikan yang rendah hal tersebut menyebabkan wanita kesulitan untuk menemukan pekerjaan di tempat lain. Dalam banyak kasus, wanita yang terjebak berasal dari daerah terpencil.[4]
Di Yangon (Rangoon), pekerja seks sering kali muncul di hotel atau rumah bordil. Kehadiran panti pijat baru-baru ini dimulai pada tahun 1995, dengan etnis minoritas seperti etnis Va yang menjalankan bisnis.[5] Kelab malam di Yangon juga penuh dengan pekerja seks yang bekerja secara independen.[6] Diseluruh negeri, industri seks pada umumnya beroperasi di luar restoran, rumah bordil yang menyamar sebagai rumah singgah, dan klub malam.[7] Setelah Siklon Nargis menerpa Myanmar pada 2008, jumlah pekerja seks di Yangon meningkat signifikan, hal ini menyebabkan menurunya tarif jasa seksual.
Mandalay memilik banyak pekerja seks yang bekerja di panti pijat, tempat karoke, pertunjukan panggung, dan jalanan.[8]
Distrik lampu merah juga muncul di Naypyidaw, Ibu Kota baru dari Burma, dengan rumah bordil yang biasanya menyamar sebagai panti pijat cantik dan salon pijat yang banyak menarik pelanggan dari kalangan bisnis dan militer.[9] Diperkirakan terdapat 70 rumah bordil, kebanyakan menggunakan tenda dan pondok bambu, beoperasi di distrik lampu merah murahan yang terletak di jalan bebas hambatan sepanjang 30 mil menuju Naypyidaw.[9]
Di Asia Tenggara, Burma merupakan negara termurah untuk mendapatkan layanan seksual dari pekerja seks dan lebih murah dibandingkan pilihan dan harga di Laos
Pekerja seks dan Lembaga swadaya masyarakat melaporkan bahwa petugas hukum bertindak dengan kekerasan, kasar, dan korupsi.[10][11]
Pekerja seks di Burma dipanggil dengan beragam istilah. Mereka dipanggil dengan ပြည့်တံဆာ (secara literal "memenuhi hasrat lelaki) dan အပြာမယ် (secara literal "nyonya biru", "biru" mereferensikan "pornografi"). Slang menggunakan ကြက်မ ("ayam"), ဖါမ ("mucikari wanita"), နတ်သမီး ("Nat wanita"), dan ညမွှေးပန်း ("bunga harum malam"), juga digunakan.[12]
Kegiatan prostitusi merupakan kegiatan ilegal[10] dibawah Undang-Undang Penghapusan Prostitusi yang diberlakukan pada 1949, kegiatan mencari pelanggan di tempat umum juga merupakan kegiatan ilegal, serta memaksa atau membujuk wanita untuk terjun ke dunia prostitusi atau memiliki rumah bordil.[13] Undang-udang juga menghukum seseorang yang mendapatkan keuntungan finansial dari pekerja seks, termasuk penghasilan yang didapatkan pekerja seks.[10]
Alat kontrasepsi sebelumnya merupakan barang bukti dari kegiatan prostitusi tetapi keputusan administrastif yang diterbitkan pada 2011 mencegah alat tersebut dijadikan barang bukti.[14] Perubahan ini kemudian dicantumkan pada pasal 27 KUHP.[10]
Undang-undang Hukum Pidana menjadi perlindungan anak perempuan dari pelecehan seksual, dimana setiap orang yang diketahui berhubungan seksula dengan anak perempuan dibawah usia 14 tahun (dengan izin atau tanpa izin) akan didakwa melakukan pemerkosaan. Undang-Undang Anak yang berlaku pada 1993 menaikan usia seks konsensual menjadi 16 tahun dan menjadikan anak-anak pekerja seks merupakan perbuatan ilegal. Merupakan sebuah pelanggaran dengan sengaja mengizinkan anak perempuan yang berusia lebih rendah dari 16 tahun dibawah pengasuhan untuk terlibat dalam kegiatan prostitusi. Tidak ada pelarangan yang jelas terhadap anak laki-laki. Undang-Undang Anak juga memberikan hukuman jika menggunakan anak-anak dalam memproduksi material pornografi.[15]
Pekerja seks biasanya ditempatkan di pusat penahanan sebelum didakwa. Pekerjaan, seperti menjahit baju merupakan kewajiban. Beberapa dilepas kembali tanpa didakwa.[12]
Pada 2013, Anggota Parlemen Sandar Min menyerukan agar prostitusi untuk didekriminalisasi tetapi seruan tersebut ditolak oleh pemerintah.[8]
Saat ini (2018), Kementerian Kesejahterahan Sosial, Pertolongan, dan Pemukiman Kembali Myanmar sedang mengerjakan amandemen terhadap undang-undang untuk melindungi pekerja seks.[16]
Prostitusi dilarang pada 1785 selama masa kepemimpinan dari Raja Bodawpaya pada masa awal Dinasti Konbaung.[17]
Ketika Raja Mindon Min mendirikan Mandalay pada 1850-an, pemisahan administrasi terhadap pekerja seks juga termasuk.[8]
Dari masa Burma Britania sampai dengan 1937, Burma merupakan bagian dari koloni India.[18]
Inggris berusaha mengatur pekerja seks sebagai bagian dari penerimaan kejahatan yang diperlukan.[19] Undang-Undang Cantonment mengatur dan menyusun prostitusi di pangkalan militer Inggris. Pengaturan di Undang-Undang Cantonment menyatakan bahwa disediakan sekitar 12 sampai dengan 16 wanita untuk setiap resimen tentara Inggris. Setiap resimen memiliki ratusan tentara. Wanita-wanita ini tinggal di rumah bordil bernama chaklas. Mereka memiliki lisensi dari pejabat militer dan hanya boleh melayani tentara.[20] Sebagian besar wanita datang dari keluarga miskin dan tidak memiliki kesempatan lain untuk memiliki kebebasan ekonomi atau sosial. Ketidakadilan struktural mendorong wanita ke dalam dunia prostitusi yang sering kali merupakan pemaksanaan dari pemerintahan kolonial.[20]
Selain itu, Undang-Undang Cantonment tahun 1864 mengatur tentang pendirian dan perluasan rumah sakit di kantonmen.[21] Wanita yang bekerja di chaklas diminta untuk melakukan pengecekan kesehatan seminggu sekali, untuk memeriksa ada tidaknya penyakit menular seksual.[20] Pekerja seks biasanya ditahan paksa di rumah sakit penjara ini, terutama jika mereka terjangkin penyakit tersebut.[20] Undang-Undang Cantonment tahun 1864, pada awalnya ditunjukan untuk pangkalan militer, tetapi diperluas untuk Jawatan Presidan dan Provinsi India Britania.[22] Walaupun begitu, ketika anggota militer terjangkit penyakit menular seksual, membutuhkan peraturan tambahan. Hal ini yang mendorong terbitnya Undang-Undang Penyakit Menular India.
Undang-Undang Penyakit Menular berusaha untuk mencegah penyakit menular seksual dikalangan militer melalui beberapa peraturan. Undang-undang mengharuskan pendaftaran wanita yang terlibat dalam prostitusi. Wanita diharuskan untuk membawa lisensi dalam bentuk kartu. Selain itu, diwajibkan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk pekerja seks.[23] Jika pekerja seks ditemukan terkena penyakit pada saat pemeriksaan, mereka diharuskan dirawat, setelah penyakit tersebut sembuh baru mereka dipulangkan. Tindakan ini tidak diberlakukan untuk pria yang terkena penyakit.[23] Undang-undang ini hanya ditunjukan kepada pekerja seks wanita, karena hanya mereka yang diharuskan memiliki lisensi dan pemeriksaan kesehatan berkala.
Depresi besar pada tahun 1930-an menyebabkan pengangguran dan kehilangan rumah banyak terjadi di Burma Britania, memaksa banyak wanita untuk melayani pelanggan, terutama pasukan Inggris dan pasukan sepoy India.[24] Menurut beberapa sumber, Burma memiliki industri prostitusi tersebar di Burma Britania karena krisis ekonomi.[24]
Burma memiliki angka penetrasi penularan HIV tersebar kedua di Asia setelah Thailand.[25] Pekerja seks merupakan pihak yang sangat berisiko. Pengkriminalisasian pekerja seks di Burma akibat berlakuknya Undang-Undang Penindakan Prostitusi tahun 1949, juga berkontribusi terhadap ketidakefektifan jangkauan pekerja seks terhadap penggunaan alat kontrasepsi dan kesadaran mengenai HIV/AIDS[26]/ Pada 2005 di Yangon, terdapat lebih dari 100 rumah bordil dan lebih dari 10.000 pekerja seks, terutama berasal dari etnis suku Bamar, dimana 70%-90% memiliki sejarah terjangkit penyakit menular seksual dan kurang dari 25% telah melakukan test HIV.[26] Sebuah studi anekdotal pada waktu itu menyebutkan bahwa setengah dari total pekerja seks di Yangon terjangkit HIV/AIDS.[26]
Beragam kampanye dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi internasional untuk meningkatkan kesadaran akan HIV, untuk memberikan akses lebih baik kepada fasilitas kesehatan dan meningkatkan pengobatan terhadap orang yang terjangkit HIV. Sebagai hasilnya, tingkat penetrasi penularan HIV secara nasional turun menurun 0,4%.[27] Sedangkan diantara pekerja seks menurun 18,4% pada 2008,[14] menurun 7,1% pada 2012,[14] dan 5,4% pada 2016.[28] Penggunaan alat kontrasepsi diantara pekerja seks juga meningkat menjadi lebih dari 80%.[29]
Myanmar merupakan asal negara dimana wanita dan anak-anak menjadi korban perdagangan seks, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di Myanmar juga terjadi peningkatan jumlah korban perdagangan seks yang diperdagangkan dan transit dari luar negeri terutama wanita dan perempuan dari India. Beberapa wanita Myanmar, dan anak-anak yang beremigrasi untuk bekerja di luar negeri terutama ke Thailand dan Tiongkok, dan juga negara di benua Asia lainnya, Timur Tengah, dan Amerika Serikat menjadi korban perdagangan seks. Jumlah wanita Myanmar yang menjadi korban perdagangan seks menuju Tiongkok terus meningkat, pejabat pemerintahan Myanmar terkadang terlibat dalam perdagangan seks, selain itu, juga terlibat dalam memfasilitasi penyelundupan dan eksploitasi migran Rohingya.[30]
Myanmar menjadi sumber utama dari kegiatan prostitusi (diperkirakan mencapai 25.000 sampai dengan 30.000 orang) di Thailand, dengan mayoritas wanita yang diperdagangkan berasal dari Ranong, perbatasan selatan Myanmar, dan Distrik Mae Sai di ujung timur Myanmar.[31][32] Pekerja seks asal Myanmar juga beroperasi di Provinsi Yunnan, Tiongkok, terutama di kota perbatasan Ruili.[33] Mayoritas pekerja seks asal Burma di Thailand berasal dari etnis minoritas.[32] 60% pekerja seks asal Burma berusia dibawah 18 tahun.[34]
Kantor Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk Memantau dan Memerangi Perdagangan Orang menempatkan Myanmar sebagai negara ' Tingkat 3 '.[35]