Partisipan Konvensi Jenewa I–IV serta Protokol I–III
Partisipan Konvensi Jenewa I–IV serta Protokol I–II
Partisipan Konvensi Jenewa I–IV serta Protokol I dan III
Partisipan Konvensi Jenewa I–IV serta Protokol I
Partisipan Konvensi Jenewa I–IV serta Protokol P III
Hanya Partisipan Konvensi Jenewa I–IV
Protokol I Konvensi Jenewa adalah protokol amandemen pada Konvensi Jenewa tahun 1977 yang berkaitan dengan perlindungan korban konflik internasional, bahwa "konflik bersenjata di mana suatu bangsa berjuang melawan dominasi kolonial, pendudukan asing atau rezim rasis" harus dianggap sebagai konflik internasional.[1] Ini menegaskan kembali hukum internasional dari Konvensi Jenewa orisinal tahun 1949, tetapi dengan menambahkan klarifikasi dan ketentuan baru untuk mengakomodasi perkembangan perang internasional modern yang telah terjadi sejak Perang Dunia II.
Pada Februari 2020, Protokol I Konvensi Jenewa telah diratifikasi oleh 174 negara,[1] dengan pengecualian Amerika Serikat, Israel, Iran, Pakistan, India dan Turki. Namun Amerika Serikat, Iran dan Pakistan menandatanganinya pada 12 Desember 1977, dengan maksud untuk meratifikasinya. Menurut seruan Komite Palang Merah Internasional pada tahun 1997, sejumlah pasal yang dimuat dalam kedua protokol tersebut diakui sebagai norma hukum kebiasaan internasional.berlaku untuk semua Negara, baik mereka telah meratifikasinya ataupun belum.[2]
Protokol I Konvensi Jenewa adalah dokumen yang substansial, berisi 102 pasal. Berikut adalah gambaran dasar dari protokol,[3] untuk daftar lengkap semua pasal, teks[4] dan komentar.[5] Secara umum, protokol tersebut menegaskan kembali ketentuan dari empat Konvensi Jenewa yang asli, dengan perlindungan tambahan berikut :
Pasal 37 melarang pengkhianatan dengan tipu daya (perfidy). Ini mengidentifikasi empat jenis pengkhianatan dan membedakan tipu muslihat perang dengan pengkhianatan.
Pasal 42 melarang serangan terhadap pilot dan awak pesawat yang sedang terjun payung dari pesawat udara yang terdesak darurat. Begitu mereka mendarat di wilayah yang dikuasai oleh pihak lawan, mereka harus diberi kesempatan untuk menyerah sebelum diserang kecuali jika terlihat jelas bahwa mereka sedang melakukan tindakan permusuhan atau mencoba melarikan diri. Pasukan lintas udara ataupun agen yang terjun payung dari pesawat udara, baik dalam keadaan terdesak atau tidak, bukan termasuk yang diberi perlindungan oleh Pasal ini, oleh karena itu dapat diserang selama mereka turun.
Pasal 43 berkaitan dengan identifikasi Angkatan Bersenjata yang menjadi pihak dalam konflik dan menyatakan bahwa kombatan "harus tunduk pada sistem disiplin internal, antara lain harus tetap patuh terhadap aturan hukum internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata."
Pasal 51 dan 54 melarang serangan tanpa pandang bulu terhadap penduduk sipil dan merusak sumber makanan, air dan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk bertahan hidup. Serangan tanpa pandang bulu termasuk menyerang secara langsung sasaran sipil (non-militer), juga menggunakan teknologi seperti senjata biologis, senjata nuklir dan ranjau darat, yang cakupan kerusakannya tidak dapat dibatasi. Sebuah perang total yang tidak membedakan antara sasaran sipil dan militer dianggap sebagai kejahatan perang.
Pasal 56 dan 53 melarang serangan terhadap bendungan, tanggul, stasiun pembangkit listrik nuklir dan tempat ibadah. Tiga lokasi pertama adalah "infrastruktur dan instalasi yang berbahaya" dan dapat diserang hanya dengan cara tidak melepaskan material berbahaya didalamnya (yaitu diperbolehkan untuk mencoba mendudukinya tetapi tidak diperbolehkan untuk menghancurkannya).
Pasal 15, 76, 77 dan 79 memberikan perlindungan khusus bagi perempuan, anak-anak dan tenaga medis sipil, serta memberikan langkah-langkah perlindungan bagi jurnalis.
Pasal 77 melarang wajib militer anak-anak di bawah usia 15 tahun ke dalam angkatan bersenjata. Namun, itu memungkinkan orang di bawah usia 15 tahun untuk berpartisipasi secara sukarela.[6]
Pasal 43 dan 44 menjelaskan status militer pada anggota pasukan gerilya. Status kombatan dan tawanan perang dari anggota pasukan pemberontak berada di bawah komando otoritas pusat. Para pejuang yang menunjukkan loyalitas mereka; mereka harus diakui sebagai kombatan dalam persiapan maupunselama serangan.
Pasal 35 melarang penggunaan senjata yang "menyebabkan cedera berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu," serta alat perang yang "menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar, berjangka panjang dan parah."
Pasal 85 menyatakan bahwa menggunakan salah satu lambang pelindung yang diakui oleh Konvensi Jenewa untuk menipu kekuatan lawan (perfidy) adalah suatu kejahatan perang.
Pasal 17 dan 81 memberi wewenang kepada ICRC, masyarakat nasional atau organisasi kemanusiaan lain yang tidak memihak dalam perang, untuk memberikan bantuan kepada para korban perang.
Pasal 90 menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang berkontrak pada saat menandatangani, meratifikasi atau mengaksesi Protokol maupun di waktu lain berikutnya, yang menyatakan bahwa mereka mengakui ipso facto dan tanpa persetujuan khusus dan berkaitan dengan Pihak yang berkontrak lainnya yang menerima kewajiban yang sama, Komisi Pencari Fakta Internasional berhak untuk menyelidiki tuduhan oleh Pihak lain tersebut, sebagaimana diizinkan oleh Pasal ini."[7] 74 negara telah membuat deklarasi tersebut.