Pura Tirta Empul | |
---|---|
Informasi umum | |
Jenis | Pura |
Gaya arsitektur | Candi Hindu |
Lokasi | Kabupaten Gianyar, Bali |
Alamat | Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring |
Negara | Indonesia |
Nama resmi | Lanskap kultur Provinsi Bali: Sistem subak sebagai perwujudan dari filosofi Tri Hita Karana |
Jenis | Budaya |
Kriteria | ii, iii, v, vi |
Ditetapkan | 2012 (sesi ke-36) |
No. referensi | 1194 |
Negara | Indonesia |
Kawasan | Asia-Pasifik |
Pura Tirta Empul / ᬧᬸᬭᬢᬶᬃᬢᬏᬫ᭄ᬧᬸᬮ᭄ᬤᬾᬲᬅᬤᬢ᭄ᬫᬦᬸᬓᬬ᭞ᬓᬾᬘᬫᬢᬦ᭄ᬢᬫ᭄ᬧᬓ᭄ᬲᬶᬭᬶᬂ᭞ᬓᬩᬸᬧᬢᬾᬦ᭄ᬕᬶᬬᬜᬃ adalah pura Hindu di tengah pulau Bali, Indonesia, tepatnya di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar,[1] yang terkenal dengan air sucinya di mana orang Hindu Bali mencari penyucian.
Diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang–wenang dan tidak mengizinkan rakyat untuk melaksanakan upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari dewa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh para dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Mayadenawa kalah dan melarikan diri hingga di sebelah Utara Desa Tampak siring. Dengan kesaktiannya ia menciptakan sebuah mata air beracun mengakibatkan laskar Bhatara Indra yang mengejarnya gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan "air keluar dari tanah" (Tirta Empul). Air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sediakala.[2]
Pura Tirta Empul dibangun disekililing sebuah sumber mata air yang besar pada 962 M selama wangsa Warmadewa oleh raja Sri Candrabhayasingha Warmadewa (dari abad ke-10 hingga ke-14).[3] Nama pura berasal dari sumber mata air tersebut yang dinamakan "Tirta Empul". Mata air tersebut berasal dari sungai Pakerisan.[4] Pura dibagi menjadi 3 bagian; Jaba Pura (halaman depan), Jaba Tengah (halaman tengah) dan Jeroan (halaman dalam). Jaba Tengah terdiri dari 2 kolam dengan 30 pancuran yang diberi nama sebagai berikut: Pengelukatan, Pebersihan, dan Sudamala serta Pancuran Cetik (racun).[5]
Pura ini didedikasikan untuk Dewa Wisnu, nama dewa Hindu untuk kesadaran tertinggi Narayana.[6] Di sisi kiri pura terdapat sebuah bangunan vila modern di atas bukit bernama Istana Tampaksiring, dibangun untuk kunjungan Presiden Sukarno ke Bali pada tahun 1954, yang sekarang digunakan sebagai tempat istirahat bagi tamu-tamu kenegaraan yang penting.
Untuk sebagian besar waktu, Tirta Empul diyakini sebagai sumber air bersih yang dianggap sebagai air suci yang digunakan untuk ritual Hindu. Namun, kualitas air mulai memburuk akibat kontaminasi dari daerah sekitarnya. Pada Agustus 2017, pengunjung didesak untuk tidak menggunakan fasilitas di tempat karena E.coli telah mengkontaminasi air,[7] disebabkan oleh warga sekitar yang membuang sampah mereka dengan sembarangan ke perairan terbuka, dan saluran pembuangan air ke sungai. Kontaminasi mungkin mengakibatkan setidaknya satu orang terkena infeksi mata yang parah dan hampir kehilangan penglihatan karena infeksi yang agresif.[8]
Barack Obama berkunjung ke pura ini pada Selasa sore, 27 Juni 2017, pukul 16:15 WITA. Obama disambut oleh Bendesa Adat saat itu, Made Mawiarnata, dilanjutkan dengan berkeliling pura sebelum pergi pada pukul 16.45 WITA.[9]
Pada tanggal 6 November 2018, dua orang petugas tiket dari Desa Pakraman Manukaya Let, Desa Manukaya, I Wayan Gerindra (48) dan Dewa Putu Degdeg (78) diduga melakukan pungutan di luar kerjasama tertulis dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Tim Saber Pungli yang melakukan OTT dipimpin Kasat Reskrim Polres Gianyar, AKP Denni Septiawan. Kedua petugas tiket Objek Wisata Tirta Empul yang terjaring OTT ini diduga melakukan pungutan liar diluar kerjasama tertulis. Seharusnya, tiket resmi yang diterbitkan Pemkab Gianyar melalui Dinas Pariwisata sebagai karcis masuk ke Tirta Empul sesuai Perda Nomor 8 Tahun 2010 adalah seharga Rp 15.000 per orang, dijual dari pagi pukul 07.00 Wita hingga pukul 18.00 Wita. Dari hasil penjualan itu, Pemkab Gianyar memperoleh bagian 60 persen, sementara pihak Desa Pakraman Let yang menjadi wilayah Pura Tirta Empul mendapat 40 persen. Kenyataannya, petugas dari Dinas Pariwisata Gianyar hanya melakukan pungutan karcis sejak pagi pukul 07.00 Wita hingga sore pukul 15.00 Wita. Padahal, harusnya hingga petang pukul 18.00 Wita. Selebihnya, dalam sisa waktu selama 3 jam dari pukul 15.00 Wita hingga 18.00 Wita, ada penjualan tiket berbeda dengan memakai logo Desa Pakraman Manukaya Let. Pungutan karcis masuk ini berdasarkan Pararem Desa Adat No.4 Tahun 2013 sebesar Rp 7.500 per orang.[10]
Selama lima tahun (periode 2013-2018), pungutan tiket yang mencantumkan dasar Perarem Desa Adat Manukaya Let No.4 tahun 2013 ini, diperoleh uang sebesar Rp 18.116.977.937. Kapolres merinci dari jumlah itu pihak desa adat seharusnya mendapat jatah 40% atau sekitar Rp 7.246.791.175. Sementara Pemda Gianyar yang memiliki jatah 60% sesuai MOU seharusnya menerima uang sekitar Rp 10.870.186.762.[11]