Purdue Pharma L.P ., sebelumnya Purdue Frederick Company adalah perusahaan Farmasi industri privat asal Amerika Serikat yang didirikan oleh John Purdue Gray. Perusahaan ini dimiliki oleh Keluarga Sackler sebagai keturuan dari Mortimer Sackler dan Raymond Sackler[1][2]. Pada 2007, perusahaan membayar salah satu denda terbesar yang pernah dijatuhkan kepada perusahaan farmasi karena salah melabeli produk OxyContin dan tiga eksekutif perusahaan terbukti melanggar hukum[3][4]. Walaupun perusahaan mengganti fokusnya kepada formula pencegahan penyalahgunaan, Purdue terus memasarkan dan menjual Opioid sampai dengan akhir 2019 dan terus terlibat dalam gugatan hukum disekitar Epidemi opioid di Amerika Serikat[5][6]. Purdue mengajukan perlindungan Bab 11 Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat pada 15 September 2019 di Kota New York[7][8].
Pada 21 Oktober 2021, diberitakan bahwa Purdue telah mencapai kesepakatan hukum dengan potensi nilai mencapai US$8,3 miliar, mengakui bahwa "mengetahui dan secara sengaja berkonspirasi dan setuju dengan pihak lain untuk membantu dan mendorong" dokter meresepkan obat-obatan "tanpa tujuan medis yang sah". Anggota dari Keluarga Sackler akan membayar uang tambahan sebesar US$225 juta dan perusahaan akan ditutup[9][10]. Beberapa Jaksa Agung negara bagian memprotes rencana ini[11]. Pada Maret 2021, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengesahkan undang-undang yang akan menghentikan hakim kebangkrutan pada kasus ini untuk memberikan anggota Keluarga Sackler Kekebalan hukum selama proses kebangkrutan berlangsung[12].
Perusahaan yang akan menjadi Purdue Pharma didirikan pada 1893 oleh dokter medis John Purdue Gray dan George Frederick Bingham di Kota New York sebagai Purdue Frederick Company.[13][14] Enam puluh tahun kemudian, pada 1952, perusahaan dijual ke dua dokter medis bersaudara yaitu Raymond and Mortimer Sackler, yang memindahkan bisnis ke Yonkers, New York. Kakak tertua Sackler, Arthur Sackler memiliki 1/3 saham perusahaan, yang kemudian dijual ke saudara lelakinya pasca kematiannya[15]. Dibawah keluarga Sackler, perusahaan membuka kantor tambahan di New Jersey dan Connecticut. Kantor pusat perusahaan berada di Stamford, Connecticut.
Perusahaan saat ini, Purdue Pharma L.P., berbadan hukum di tahun 1991 dan fokus kepada pengobatan manajemen rasa nyeri, memanggil diri sendiri sebagai "pionir dalam mengembangkan pengobatan untuk meredakan nyeri, penyebab utama penderitaan manusia". Pada September 2015, perusahaan menyatakan memiliki lebih dari 1.700 karyawan[16], pada bulan yang sama perusahaan juga mengumumkan akan membeli VM Pharma dalam proses untuk mendapatkan akses kepada pengembangan skala dunia dan hak komersial program penghambat reseptor kinase selektif alosterik tropomiosin, yaitu kandidat Fase II VM-902A. Kesepakatan dapat mendatangkan lebih dari $213 juta untuk VM Pharma[17].
Perusahaan tidak pernah memiliki afilisasi dengan Universitas Purdue, klarifikasi yang diberikan sangat jelas, untuk menghindari asosiasi universitas dengan perusahaan[14][18].
Cabang perusahaan seperti Purdue Pharma L.P., Purdue Frederick Company, Purdue Pharmaceutical Products L.P., dan Purdue Products L.P. Proses manufakturing produk miliki Purdue terjadi di tiga tempat yaitu Purdue Pharmaceuticals L.P. yang berlokasi di Wilson, North Carolina, P.F. Laboratories, Inc. diTotowa, New Jersey, dan Rhodes Technologies L.P. di Coventry, Rhode Island. Purdue Pharma L.P. juga memiliki lab penelitian di Cranbury, New Jersey. OxyContin saat ini didistribusikan ke Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko, tempat pendistribusian dilakukan dari P.F. Laboratories di Totowa, New Jersey.
Rhodes Pharmaceuticals merupakan perusahaan saudara yang didirikan di Rhode Island pada 2007. Perusahaan ini adalah salah satu produsen opioid generik tanpa paten terbesar di Amerika Serikat[19].
Perusahaan saudara lain dari Purdue yang juga dikontrol oleh keturunan dari keluarga Sackler adalah Napp Pharmaceuticals di Britania Raya dan Mundipharma[20] yang menjual opioids secara global.
Obat baru sedang dikembangkan dibawah nama perusahaan lain, seperti Adlon Therapeutics and Imbrium. Keduanya berada di gedung yang sama dengan perusahaan induk mereka yaitu di tengah kota Stamford dan berbagi karyawan[21].
Craig Landau ditunjuk sebagai CEO pada 22 Juni 2017[22]. Ia bergabung dengan Purdue Pharma L.P. pada 1999 dan pernah menjadi Ketua petugas medis (chief medical officer) dan Wakil Presiden Hubungan Inovasi Penelitian dan Pengembangan, Kinikal, dan Medis. Pada 2013, ia ditunjuk sebagai Presiden dan CEO dari Purdue Pharma (Kanada)[23].
Pada 2018, delapan anggota Keluarga Sackler terdaftar sebagai anggota aktif atau mantan anggota Direksi Purdue Pharma[24]. Pada awal 2019, Keluarga Sacklers meninggalkan jajaran dewan Purdue Pharma secara penuh. Steve Miller kemudian menjadi Chairman pada Juli 2018 dengan lima anggota dewan yang mengundurkan diri[25].
Purdue Pharma membuat obat mengatasi nyeri seperti Hydromorphone, Oxycodone, Fentanil, Kodeina, dan Hydrocodone. Perusahaan juga dikenal luas untuk produksi obat-obatan seperti MS Contin, OxyContin, and Ryzolt. Pada 1972, Contin (obat dengan sistem pengontrol pelepasan) dikembangkan. Pada 1984, obat dengan formula pelepasan morfin diperpanjang bernama MS Contin diluncurkan. Setelah 1995 Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat menyetujui dibawah perlindungan dari Curtis Wright[26], obat dengan formula pelepasan oxycodone diperpanjang bernama OxyContin dipasarkan pada 1996[16].
Kontroversi mengenai perusahaan muncul akibat obat-obatan yang mereka produksi dan bagaimana obat-obatan tersebut memiliki potensi tinggi untuk menimbulkan kecanduan. Penyalahgunaan obat-obatan paling umum terjadi pada MS Contin dan OxyContin yang diproduksi oleh perusahaan. Keduanya bisa disalahgunakan dengan cara menghancurkan, mengunyah, menghirup, atau disuntik setelah produknya dilarutkan. Metode pengkonsumsian ini membuat risiko signifikan kepada pengguna, yang bisa menyebabkan over dosis dan kematian. Taktik yang dilakukan para pencandu obat-obatan untuk mendapatkan obat-obatan adalah dengan melakukan "doctor shopping", yaitu mengunjungi beberapa dokter untuk mendapatkan resep tambahan dan menolak untuk melanjutkan pemeriksaan secara menyeluruh. Bersamaan dengan potensi yang tinggi dari penyalahgunaan oleh orang-orang tanpa resep, terdapat pula risiko ketergantungan fisik dan penurunan reaksi atau desentralisasi obat untuk pasien yang mendapatkan resep. Namun demikian, obat analgesik yang kuat tetap diperlukan untuk pasien yang menderita nyeri akut dan kanker yang parah[27].
OxyConton yang diperkenalkan pada 1995, merupakan terobosan pengobatan untuk nyeri kronis. Dibawah strategi marketing yang dibuat oleh Arthur Sackler satu dekade sebelumnya, perusahaan secara agresif mendorong dokter untuk memberikan obat, merayu mereka dengan menawarkan perjalanan gratis ke seminar manajemen nyeri dan narasumber yang dibayar. Penjualan meningkat[28]. Obat dipasarkan sebagai "mengotrol nyeri tanpa hambatan dan berkelanjutan sepanjang hari" ketika dikonsumsi dalam jadwal 12 jam dan memiliki potensi penyalahgunaan rendah dibandingkan oxycodone dengan pelepasan segara karena memiliki fitur pelepasan berjangka, walaupun tidak memiliki bukti ilmiah untuk mendukungnya dan sifat alamiah dari opium yang bisa membuat kecanduan yang telah diketahui selama ratusan tahun[29][30]. Pada awal peluncurannya, Purdue Pharma menyadari penyalahgunaan OxyContin, termasuk "laporan bahwa pil dihancurkan untuk dihirup, pencurian dari apotek, dan beberapa dokter dituntut karena menjual resep dokter", menurut The New York Times, berdasarkan sumber yang dirahasiakan dari laporan pengadilan diungkapkan pada Mei 2018. Lebih dari ratusan memo internal perusahaan antara tahun 1997 dan 1999 mencantumkan kata "harga jalanan", "dihancurkan", atau "dihirup"[31].
Pada awal 2000, tersebar laporan luas mengenai penyalahgunaan OxyContin muncul. Laporan ini didapatkan dari program proaktif pengawasan penyalahgunaan bernama Researched Abused, Diversion, and Addiction-Related Surveillance (RADARS) yang disponsori oleh Purdue Pharma L.P. mengumumkan bahwa Oxycontin dan hydrocodone merupakan merek pereda nyeri yang paling sering disalahgunakan[32]. Pada 2012, The New England Journal of Medicine menerbitkan penelitian yang menemukan bahwa "76% orang yang mencari pertolongan atas kecanduan heroin mulai menyalahgunakan narkotika produksi perusahaan farmasi, terutama OxyContin[33]" dan mengarisbawahi keterlibatan antara kegiatan marketing OxyContin dengan epidemi heroin selanjutnya di Amerika Serikat.
Pada 2003, Badan Narkotika Amerika Serikat menemukan bahwa metode agresif Purdue telah "sangat memperburuk penyalahgunaan OxyContin yang meluas"[34].
Investigasi tahun 2016 oleh Los Angeles Times melaporkan banyak pengguna OxyContin dengan jadwal pelepasan 12 jam tidak cukup mengendalikan rasa nyeri, mengakibatkan gejala putus obat termasuk keinginan yang besar untuk mengkonsumsi obat. Jurnalis menyatakan hal ini memberikan petunjuk "mengapa banyak orang yang menjadi kecanduan". Menggunakan dokumen dan catatan Purdue, mereka menyatakan Purdue menyadari hal ini bahkan sebelum obat-obatan dipasarkan tetapi "bertahan dengan klaim pelepasan sepanjang 12 jam, untuk melindungi pendapatan karena pasar OxyContin yang dominan dan berharga tinggi -mencapai ratusan dolar per botol-bergantung pada 12 jam durasi pelepasan.[35]
OxyContin menjadi obat terkenal. Antara 1995 dan 2001, OxyContin mendatangkan $2,8 miliar pendapatan untuk Purdue Pharma[36]. Pendapatan akumulatif telah meningkat menjadi $31 miliar pada 2016[35], dan $35 miliar pada 2017[37]. Menurut artikel tahun 2017 dari The New Yorker, Purdue Pharma dimiliki oleh "salah satu keluarga terkaya di Amerika Serikat, dengan total kekayaan kolektif bersih mencaiapi 13 miliar dolar[37]. Banyak negara bagian Amerika Serikat menduga bahwa kekayaan mereka melebihi $13 miliar[38]. Sebagai respon dari hal ini dan artikel lainnya, fotografer Nan Goldin meluncurkan organisasi bernama P.A.I.N. untuk menekan museum dan institusi seni lainnya untuk menolak bantuan filantropi dari Keluarga Scakler[39].
Pada 2018, Purdue Pharma mematenkan bentuk baru dari Buprenorphine yang mengontrol keinginan dan digunakan untuk mengobati kecanduan opioids seperti OxyContin[40].
Purdue telah terlibat dengan berbagai cara untuk melawan penyalahgunaan resep obat, terutama OxyContin, obat yang paling sering disalahgunakan dan merupakan obat yang berhubungan dengan kematian akibat overdosis. Pada 2001, Connecticut Attorney GeneralRichard Blumenthal mengeluarkan pernyataan agar Purdue mengambil langkah nyata terhadap penyalahgunaan Oxycontin. Ia memberikan catatan walaupun Purdue telihat tulus, tetapi hanya sedikit langkah yang telah diambil diluar "langkah simbolis"[41]. Setelah Purdue mengumumkan rencana untuk mengubah formula obat, Blumenthal menyatakan hal ini memerlukan waktu dan "Purdue Pharma bertanggung jawab moral, jika bukan kewajiban hukum untuk mengambil langkah efektif dan mengatasi kecanduan dan penyalahgunaan walaupun langkah untuk mengubah formula berhasil[42]
Pada 2004, West Virginia Attorney General mengugat Purdue untuk mengganti biaya "resep berlebihan" untuk dibayarkan ke negara. Menyatakan bahwa pasein mengonsumsi obat melebihi dari apa yang mereka resepkan karena efek dari obat menghilang sebelum jadwal 12 jam, negara menggugat Purdue dengan penipuan marketing. Dalam putusannya, hakim pengadilan menulis "bukti yang ada menunjukan bahwa Purdue bisa melakukan pengujian keamanan dan efektivitas dari OxyContin pada 8 jam, dan bisa mengubah label dari obat tersebut tetapi mereka tidak melakukannya". Kasus tidak pernah sampai ke pengadilan, Purdue setuju untuk berdamai dengan membayar ke negara sebesar $10 juta (sama dengan $14 juta pada 2020) untuk program menghilangkan kecanduan obat, dengan seluruh bukti berada dibawah segel dan bersifat rahasia[35].
Pada Mei 2007, perusahaan menyatakan bersalah karena menipu masyarakat mengenai risiko kecanduan dari OxyContin dan setuju untuk membayar $600 juta (sama dengan $749 juta di 2020) salah satu biaya perdamaian dari perusahaan farmasi terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Direktur Perseroan (Michael Friedman), pengacara top (Howard R. Udell), dan mantan Chief Medical Officer (Paul D. Goldenheim) mengaku bersalah secara individu atas tuduhan pemalsuan merek, pelanggaran kriminal dan setuju untuk membayar total $34,5 juta uang denda[43][44]. Firedman, Udell, dan Goldenheim setuju untuk membayar $19 juta, $8 juta, dan $7,5 juta. Sebagai tambahan, tiga pimpinan tertinggi dituntut bersalah dan dihukum 400 jam kerja pada Pengabdian masyarakat yang berhubungan dengan program pengobatan kecanduan[45].
Pada 4 Oktober 2007, pejabat Kentucky menuntut Purdue karena menyebarluasan penyalahgunaan OxyContin di Appalachia. Tuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung Greg Stumbo dan pejabat Pike Country menuntut jutaan untuk kompensasi[46]. Delapa tahun kemudian, pada 23 Desember 2015, Kentucky berdamai dengan Purdue dengan uang pengganti mencapai %24 juta[47].
Pada Januari 2017, Kota Everett, Washington menuntut Purdue berdasarkan peningkatan biaya kota karena penggunaan OxyContin dan juga Purdue tidak melakukan intervensi ketika mereka menyadari adanya pola aneh dari penjualan produk mereka, sesuai dengan kesepakatan pada gugatan tahun 2007 seperti yang terlampir diatas. Dugaan menyatakan bahwa Purdue tidak memenuhi kesepakatan hukum untuk memantau peningkatan pemesanan atau kemungkinan penggunaan di pasar gelap. Tuntutan menyatakan bahwa klinik palsu diciptakan oleh dokter amoral menggunakan tunawisma sebagai "pasein" untuk membeli OxyContin, dimana obat tersebut kemudian dijual kepada warga dari kota Everett[48][49][50].
Penjualan pasar gelap terhadap obat-obatan yang dikeluarkan oleh apotek legal berbasis di Los Angeles dengan titik distribusi di Everett juga disebut sebagai bagian dari apa yang dialami oleh kota Everett menurut tuntutan. Tidak ada intevensi yang dilakukan oleh Purdue untuk mengontak DEA selama bertahun-tahun walaupun mereka mengetahui praktik penggunaan berlebihan dan penjualan produk mereka. Tuntutat juga meminta penentuan penggantian biaya terkait dengan biaya pembuatan kebijakan, perumahan, kesehatan, rehabilitasi, sistem keadilan kriminal, departemen taman, dan rekreasi, dan juga kehilangan hidup atau berkurangnya kualitas hidup dari masyarakat kota Everett secara langsung[48][49][50].
Pada Mei 2018, enam negara bagian (Florida, Nevada, Carolina Utara, Dakota Utara, Tenessee, dan Texas) mengajukan tuntutan mengenai praktik penipuan marketing, menambah menjadi 16 tuntutan hukum oleh Amerika Serikat dan Puerto Rico[51][52]. Sampai dengan Januari 2019, 36 negara bagian menuntut Purdue Pharma. Jaksa Agung Massachusetts Maura Healey dalam tuntutannya meminta delapan anggota keluarga Sackler bertanggung jawab secara pribadi terhadap penipuan ini. Dia menuduh anggota keluarga Sackler "mengatur secara mendetail" kampanye penjualan yang menipu[53].
Pada Maret 2019, Purdue Pharma mencapai kesepakatan damai sebesar $270 juta[54] dengan Oklahoma, yang menuduh bahwa opioids menyebabkan kematian ratusan orang[55][56].
Pada Agustus 2019, Purdue Pharma dan keluarga Scakler bernegosiasi untuk berdamai dengan tuntutan hukum dengan membayar biaya pengganti sebesar $10–S12 miliar[57]. Penyelesaian ini termasuk pengajuan Chapter 11 oleh Purdue Pharma, yang akan direstrukturisasi menjadi public beneficiary trust dan Keluarga Sackler akan menyerahkan kepemilikan perusahaan. Sebagai tambahan pengobatan yang sedang dikembangkan oleh perusahaan akan diberikan secara gratis kepada masyarakat. Seluruh keuntungan Purdue akan diserahkan kepada para penggugat dalam kasus ini. Selain hal tersebut, Keluarga Sackler akan berkonstribusi sebesar $3 miliar tunai. Keluarga juga akan menjual Mundipharma dan berkonstribusi sebesar $ 1,5 miliar dari penjualan untuk proses penyelesaian sengketa. Namun, Keluarga Sackler tetap menjadi keluarga jutawan dan tidak akan dituntut secara kriminal atas kontribusinya terhadap krisis opioid[58]. Pada September 2019, Kantor Jaksa Agung New York menuduh Keluarga Sackler menyembunyikan uang dengan mentransfer setidaknya $1 miliar dari akun perusahaan kepada akun pribadi di luar negeri[59][60].
Pada Oktober 2020, Purdue setuju untuk berdamai dengan membayar $8 miliar termasuk didalamnya $2 miliar penyitaan kriminal, $3,54 miliar denda kriminal, dan $2,8 miliar uang pengganti kerusakan untuk tuntutan perdata. Purdue menyatakan diri bersalah terhadap tiga tuntutan hukum, dan akan berubah menjadi public benefit company dibawah perserikatan yang mementingkan kesehatan publik Amerika. Keluarga Scakler tidak diizinkan untuk turut serta dalam perusahaan tersebut[61].
Pada pertengahan September 2019, Purdue mengajukan kebangkrutan di White Plains, New York, setelah beberapa hari mencapai kesepakatan dengan pemerintah negara bagian dan lokal yang mengugat perusahaan atas ongkos epidemik opioid[62].
Banyak negara bagian yang menolak proposal perdamaian pada Agustus 2019 dan berjanji untuk terus memperkarakan untuk mendapatkan tambahan uang, dimana sebagian besar uang tersebut disangka disimpan di luar negeri. Pihak negara bagian berpendapat bahwa Keluarga Scakler tahu pihak berkera akan mengejar dana miliki Purdue dan melakukan transfer dana untuk menghindarinya. Apakah sebuah negar abagian memillih untuk berdamai atau tidak acapkali semua tergantung dengan kebijakan partai, dimana negara bagian yang dipimpin oleh wakil dari Partai Republik memilih untuk berdamai[63]. Sebagian besar kekayaan dari Keluarga Sackler tidak disimpan di Purdue. Negara bagian mencari cara agar setiap individu dari Keluarga Sackler bertanggung jawab atas ongkos padnemi opioid, terlpas dari kebangkrutan Purdue[64][65].
Pada Desember 2019, audit dari AlixPartners yang direkrut oleh Purdue untuk memandu penerapan restrukturisasi Chapter 11, menyatakan Sackler menarik dana sebesar $10,7 miliar dari Purdue setelah perusahaan mulai menerima pemeriksaan hukum[66]. Pada 2021, Keluarga Sackler mencari pelepasan pihak ketiga non-konsensual yang kontroversi berdasarkan otoritas dari Hakim Robert D. Drain sebagai perlindungan mereka dan aset mereka dari tuntutan hukum terkait dengan krisis opioid[67]. Atas tindakan tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Carolyn Maloney dan Mark DeSaulnier mengusulkan SCKLER ACT. sebagai cara untuk mencegah orang yang tidak mengajukan kebangkrutan untuk dilepaskan dari tanggung jawab tuntutan yang dilakukan oleh negara bagian, kotamadya, atau pemerintah Amerika Serikat[68][69].
Pada September 2021, Perseroan mendapatkan persetujuan rencana senilai $4,5 miliar yang akan mengubah perusahaan manufaktur farmasi menjadi Benefit corporation yang fokus untuk menanggani krisis opioid dan membayar individu dan keluarga yang rusak karena produk mereka. Restrukturisasi ini akan dibiayai oleh Keluarga Sackler, pembayaran asuransi, dan operasi perusahaan yang berjalan. Kesepakatan damai juga bebaskan klaim seluruh kreditor kepada keluarga Sackler (yang tidak bangkrut) melalui kendaraan hukum, penyerahan pihak ketiga, yang mengeliminasi keluarga Sackler dari perkara perdata terkait dengan krisis opioid. Persetujuan ini dibatalkan pada Desember 2021 oleh Hakim Colleen McMahon dari Pengadilan Distrik dari Distrik Selatan New York, dimana kode etik kebangkrutan tidak mengizinkan seorang hakim untuk membeaskan keluarga Sackler dari tuntutan perdata[70]. Kongres Amerika Serikat terus mendiskusikan pembatasan tersebut[71].
According to Forbes, the Sacklers are now one of America's richest families, with a collective net worth of thirteen billion dollars—more than the Rockefellers or the Mellons... While the Sacklers are interviewed regularly on the subject of their generosity, they almost never speak publicly about the family business, Purdue Pharma—a privately held company, based in Stamford, Connecticut, that developed the prescription painkiller OxyContin.Indepth-analysis