Puspa | |
---|---|
Puspa (Schima wallichii), dari Situgede, Bogor Barat, Bogor | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Klad: | Tracheophyta |
Klad: | Angiospermae |
Klad: | Eudikotil |
Klad: | Asterid |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | S. wallichii
|
Nama binomial | |
Schima wallichii | |
Sinonim | |
Gordonia Wallichii DC., 1824[2] (basionym) |
Puspa, seru, atau medang gatal (Schima wallichii) adalah sejenis pohon penghasil kayu pertukangan berkualitas sedang. Pohon ini termasuk ke dalam keluarga teh (Theaceae), dan menyebar luas mulai dari Nepal, melalui Asia Tenggara, hingga ke Papua Nugini. Disebut medang gatal karena pohon ini memiliki lapisan semacam miang di bawah pepagannya, yang keluar berhamburan ketika digergaji dan menimbulkan rasa gatal di kulit. Nama spesiesnya diberikan untuk menghormati N. Wallich (1786 – 1854), ahli botani berkebangsaan Denmark yang telah berjasa mengembangkan Kebun Raya Kalkuta.
Pohon ini juga dikenal dengan aneka nama daerah, seperti simartolu (Bat.); medang miang (Mink.); mĕdang sĕru, sĕru (Bk.); kĕmĕtru (Lamp.); huru batu, huru manuk, puspa (Lamp.); cikoru, cekru (Sd.); puspa (Jw.).[3] Di Ketapang, Kalimantan Barat, pohon ini dikenal dengan nama penaga.
Pohon yang selalu hijau, berukuran sedang hingga besar, mencapai tinggi 47 m. Batang bulat torak, gemangnya hingga 250 cm namun biasanya jauh kurang dari itu; batang bebas cabang hingga sekitar 25 m. Pepagan memecah dangkal sampai sedang, membentuk alur-alur memanjang, coklat kemerahan hingga abu-abu gelap; sebelah dalam berwarna merah terang, dengan lapisan ‘miang’ yang mengiritasi kulit.[4]
Daun tersebar dalam spiral, bertangkai sekitar 3 mm; helai daun lonjong hingga jorong lebar, 6–13 × 3–5 cm, pangkal bentuk baji dan ujung runcing atau meruncing, dengan tepian bergerigi. Bunga tunggal di ketiak di ujung ranting, dengan dua daun pelindung, berbilangan-5; kelopak menetap hingga menjadi buah; mahkota putih, saling melekat di pangkalnya; benangsari banyak. Buah kotak hampir bulat, diameter 2–3 cm, membuka dengan 5 katup; biji dikitari oleh sayap.[4]
Puspa mampu hidup pada pelbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian sungai.[4]
Puspa merupakan tumbuhan asli di India, Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, dan Papua Nugini.[4]
Puspa terutama dihargai karena kayunya yang bermutu baik sebagai bahan ramuan rumah. Kayu ini lebih cocok dipakai sebagai balok dan tiang-tiang rumah dan jembatan daripada dibuat menjadi papan, karena papan kayu puspa cenderung bengkok atau melenting.[3] Kayu puspa sebaiknya digunakan di bawah atap, misalnya sebagai tiang dan balok penyangga, kusen-kusen pintu atau jendela, panil kayu, lantai rumah, perkakas dan perabotan rumah, peralatan pertanian, ramuan perahu (di bagian dalam dan terlindung), kotak dan peti pengemas. Kayu puspa juga baik untuk membuat kayu lapis, papan serat, dan –setelah diawetkan– untuk bantalan rel kereta api.[4]
Kayu terasnya berwarna coklat kemerahan atau coklat kelabu; gubalnya berwarna lebih muda dan tidak mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Teksturnya halus dan permukaan kayunya licin, dengan arah serat lurus atau berpadu. Kayu ini termasuk agak keras; dengan berat jenis yang berkisar antara 0,45 (subsp. noronhae) hingga 0,92 (subsp. oblata), kayu puspa termasuk ke dalam kelas kuat II.[5]
Secara umum, puspa digolongkan ke dalam kelas awet III. Ia cukup tahan terhadap serangan rayap kayu kering (kelas II), tetapi kurang tahan terhadap jamur pelapuk kayu (kelas III-IV). Namun, kayu ini termasuk mudah diawetkan.[5]
Kayu puspa juga mudah dikerjakan. Dapat dibubut, diserut, dibor, diamplas, dan dipelitur dengan hasil baik. Dapat dibuat menjadi venir tanpa perlakuan pendahuluan, tetapi venirnya bergelombang setelah kering. Pengeringan kayu puspa memang diketahui sulit; lambat mengering dan mudah mengalami perubahan bentuk seperti pencekungan dan pemilinan serta pecah pada mata kayu. Kembang susut kayu ini termasuk besar dan mudah retak. Penyusutan kayu hingga kering tanur pada arah radial sebesar 4,7–4,8%, sedangkan pada arah tangensial berkisar antara 8,6–10,6%.[5]
Puspa menghasilkan kayu bakar yang berkualitas baik; energi yang didapat dari kayu gubalnya sekitar 19.980 kJ/kg. Kayu puspa juga baik untuk dijadikan pulp dan kertas.[4]
Pepagannya menghasilkan zat pewarna, tanin yang terkandung di dalamnya digunakan untuk menyamak kulit.[4] Dipakai untuk menuba ikan di Jawa Barat; dilaporkan bahwa pepagan puspa mengandung semacam glikosida seperti saponin.[3]
Daunnya, di Nepal, dimanfaatkan sebagai pakan ternak.[4] Mahkota bunganya dan buahnya, setelah dikeringkan, dimanfaatkan sebagai jamu dan dijual di pasar sebagai cangkok atau buah cangkok.[3] Ramuan yang bersifat astringensia ini digunakan untuk mengobati penyakit rahim dan histeria.[4]
Di timur-laut India, penanaman puspa dikombinasikan dengan kapulaga dalam suatu sistem wanatani untuk melindungi tanah dan air. Di negara ini, puspa juga digunakan sebagai pohon penaung di perkebunan kopi. Di Indonesia, puspa digunakan sebagai pelindung di hutan tanaman tusam dan damar. Selain itu, puspa juga baik untuk reklamasi lahan dan reboisasi daerah tangkapan air.[4]