REpowerEU (dibaca sebagai: repower EU; /riːˈpaʊər ˌiː ˈjuː/; bahasa Indonesia: mengenergikan ulang Uni Eropa)[cat. 1][cat. 2] merupakan sebuah rancangan kebijakan yang diajukan oleh Komisi Eropa untuk mengakhiri ketergantungan wilayah Eropa terhadap pasokan bahan bakar fosil sebagai bentuk tanggapan dari Invasi Rusia ke Ukraina 2022.[1] REPowerEU merupakan sebuah langkah lanjutan terhadap Strategi Energi yang dirancang oleh Uni Eropa.[2] Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong proses pengalihan kebutuhan gas Eropa ke energi terbarukan yang dikatakan sebagai energi yang "terjangkau, aman, dan terbarukan" [sic] untuk Eropa pada 2030.[3] Direncanakan bahwa wilayah Eropa, khususnya Uni Eropa untuk "bebas dari pengaruh gas Rusia" [sic] sebelum 2030.[4] Rancangan ini menargetkan bahwa Uni Eropa akan mengurangi ekspor gas dari Rusia hingga dua per tiga pada penghujung tahun 2022.[4]
REpowerEU berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni
(/riːˈpaʊər/; bahasa Indonesia: mengenergikan ulang) dan EU (/iː ˈjuː/) yang merupakan singkatan dari Uni Eropa dalam bahasa Inggris, European Union. Selain itu, imbuhan
yang ditulis dengan huruf kapital dimaksudkan untuk melambangkan singkatan dari Renewable Energy (/rɪˈnjuːə.bəl ˈɛn.ər.dʒi/; bahasa Indonesia: Energi terbarukan).[5][6] Secara keseluruhan REpowerEU berarti mengenergikan ulang Uni Eropa dengan energi terbarukan.[6]
Sebelum adanya kebijakan ini, Komisi Eropa telah mengajukan kebijakan lain dalam rangka untuk mendorong Strategi Energi yang dicanangkan oleh Uni Eropa, yakni Fit for 55.[4] Strategi energi Uni Eropa sendiri dapat didefinisikan sebagai serangkaian kebijakan yang berasal dari Komisi Eropa, Dewan Eropa, dan Parlemen Eropa untuk negara-negara anggota Uni Eropa untuk melakukan penghematan energi, pengalihan ke energi terbarukan, pelestarian lingkungan, dan keamanan pasokan listrik.[7] Dengan adanya sejumlah pertimbangan yang ada (lihat di bawah), Komisi Eropa kemudian mengusulkan revisi kebijakan Fit For 55, yakni REPowerEU. Target dalam kebijakan tersebut dikatakan "lebih ambisius" dibandingkan dengan kebijakan Fit for 55.[4]
Wilayah Eropa, dan khususnya Jerman, telah mengandalkan ekspor gas Rusia untuk memenuhi pasokan dan kebutuhan energinya. Rusia sendiri diperkirakan memiliki cadangan gas alam yang diperkirakan sebagai yang terbesar di dunia, yakni sebesar 32% dari seluruh cadangan gas alam.[8] Peningkatan secara signifikan terhadap kebutuhan negara-negara Eropa terhadap energi gas (yang sebagian besar berasal dari Rusia) dalam beberapa tahun terakhir.[9] Sebagai contoh, dalam kurun waktu satu dekade terakhir, terjadi peningkatan jumlah ketergantungan gas alam untuk Uni Eropa[cat. 3] dari 25% pada 2009 hingga menjadi 32% dari keseluruhan kebutuhan Uni Eropa seminggu sebelum invansi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.[10] Disisi lain, sekitar 45% dari anggaran dana yang diterima oleh Rusia pada bulan Januari 2022 berasal dari ekspor gas dan minyak bumi ke wilayah sekitar, seperti Uni Eropa, Republik Rakyat Tiongkok, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan juga negara-negara Blok timur.[10]
Rusia, sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia (pada peringkat nomor 4), yakni sebesar 2[11] hingga 3[12] miliar ton CO2 gas rumah kaca per tahunnya. Rusia juga turut mengekspor gas tersebut ke negara-negara tetangga, seperti Republik Rakyat Tiongkok, dengan sumbangsih emisi karbon melebihi jumlah dari keseluruhan emisi negara berkembang lainnya.[13] Hal dianggap memperburuk keadaan kualitas udara dan juga penaikan laju pemanasan global, khususnya di wilayah Uni Eropa.[14] Masalah ini juga dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20, yang salah satu keputusannya mengharuskan negara-negara anggota G20 untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan.[15]
Dengan meningkatnya ketegangan Perang Rusia-Ukraina akibat dari invansi Rusia ke Ukraina, perusahaan minyak seperti Gazprom mengurangi atau bahkan menutup beberapa pipa gas utama di wilayah Eropa.[16] Harga gas alam di Eropa pun melonjak naik sebesar 30% setelah Gazprom menutup hingga 40% dari kapasitas Nord Stream 1 ke Jerman.[17] Belakangan diketahui bahwa volume gas per detik dari Nord Stream 1 yang menurun juga disebabkan oleh beberapa titik kebocoran pipa di perairan Denmark.[9]
Dengan situasi yang terjadi, Komisi Eropa memutuskan untuk membuat sebuah rancangan kebijakan yang dapat mendorong pengalihan energi minyak dan gas ke energi terbarukan, serta menggantikan impor bahan bakar fosil dan batu bara dari Rusia.[18]
Pada 18 Mei 2022, Komisi Eropa mengeluarkan paket dokumen lanjutan mengenai rincian dokumen 8 Maret. Berdasarkan pada dokumen tersebut, kebijakan REPowerEU juga akan fokus pada rancangan jangka panjang, seperti penggunaan gas biometana dan hidrogen, untuk mendorong produksi gas terbarukan secara signifikan dan mempercepat pengalihan ke energi terbarukan pada 2030.[2]
Berdasarkan hubungan komunikasi dan pengajuan Komisi Eropa dengan Parlemen Eropa, Dewan Eropa, Komite Ekonomi dan Sosial Eropa, dan Komite Eropa tanggal 15 Mei 2022, REPowerEU akan mengandung sejumlah kebijakan yang diantaranya sebagai berikut:[3]
Kebijakan REPowerEU akan membatasi penggunaan energi harian ataupun meningkatkan harga energi listrik bagi perusahaan-perusahaan ataupun perumahan dengan penggunaan energi listrik berlebih. Sementara untuk target penghematan, kebijakan ini akan menggunakan target "Fit for 55" yakni sebesar 30% pada 2030.[2]
Kebijakan ini menargetkan percepatan dan peningkatan besar-besaran dalam energi terbarukan pada pembangkit listrik, industri, bangunan, dan transportasi, sehingga akan mempercepat peraluhan bahan bakar fosil dari Rusia secara bertahap.[3][6] Selain itu, kebijakan ini menargetkan hal berikut:[2]
Target "Fit for 55" |
Rancangan RePowerEU |
Pengurangan penggunaan gas alam (bcm)[cat. 4] | ||
---|---|---|---|---|
Biometana | 17 bcm (2030) | 35 bcm (2030) | 3,5 | 18 |
Hidrogen terbarukan | 5,6 juta ton [cat. 5] | 20 juta ton | — | 25-50 |
Pada 15 Juni 2022 Uni Eropa, Mesir, dan Israel menandatangani perjanjian trilateral "Nota Kesepahaman" (bahasa Inggris: Memorandum of Understanding) untuk mengekspor gas alam ke Eropa dalam rangka untuk mengurangi penggunaan gas Rusia dan mempercepat rencana REPowerEU. Gas alam dari Israel dan Mesir, serta wilayah Mediterania Timur (seperti Yordania) akan dikirimkan ke Eropa melalui infrastruktur LNG (Light Natural Gas; bahasa Indonesia: Gas Alam Ringan) Mesir.[19] Kemudian pada 17 Juni, Uni Eropa bersama dengan 12 Negara lainnya membentuk sebuah "Jalur Energi" untuk "Ikrar Metana Global" (bahasa Inggris: Global Methane Pledge Energy Pathway) untuk membatasi emisi gas metana dari sektor minyak dan gas.[20] Selain itu, Uni Eropa juga akan bekerjasama dengan negara-negara G7, G20, OPEC, dan IEA untuk mengatasi masalah pasar minyak di tengah pemutusan pasokan gas dari Rusia, krisis energi global, dan invansi Rusia ke Ukraina.[1]
Pada 8 Maret 2022, Komisi Eropa mempublikasikan rancangan kebijakan yang dinamai sebagai "Joint European Action for more affordable, secure and sustainable energy" (bahasa Indonesia: Aksi Eropa untuk energi yang lebih terjangkau, aman, dan berkelanjutan), atau yang juga dikenal sebagai "REPowerEU".[2] Kemudian pada 18 Mei 2022, Komisi Eropa mengusulkan REPowerEU, yakni rancangan kebijakan yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi ketergantungan Uni Eropa terhadap minyak dan gas Rusia, serta mempercepat dan memperbesar penggunaan energi terbarukan.[1] Berdasarkan dengan kebijakan tersebut, Komisi Eropa membentuk "Gugus Tugas Bidang Energi UE" (bahasa Inggris: EU Energy Platform Task Force) pada 25 Mei 2022 untuk mengawasi jalannya kebijakan tersebut.[21] Rancangan ini kemudian menerima persetujuan penuh dari Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa pada 14 Desember 2022. Pengesahan tersebut juga memulai penerapan kebijakan REPowerEU negara-negara yang menjadi anggota Uni Eropa.[22]
Setelah rancangan REPowerEU yang diajukan oleh Komisi Eropa dipublikasikan ke khalayak ramai, proposal tersebut mendapatkan dukungan baik dari masyarakat Uni Eropa maupun organisasi yang bergerak pada bidang pelestarian lingkungan, penggalakkan energi terbarukan (seperti Renewable Grid Iniative,[6] Climate Action Taker,[14] dan sebagainya). Rancangan tersebut dianggap dapat mengurangi emisi gas, mencegah perubahan iklim dan mengurangi ketergantungan Uni Eropa terhadap pasokan gas Rusia.[15][cat. 6] Selain itu, dengan adanya beberapa pengurangan atau bahkan pemutusan pasokan gas dari Rusia pada beberapa pipa gas (seperti Nord Stream 1)[1] yang mengalir di Eropa yang menyebabkan wilayah Eropa kekurangan energi listrik dan juga gas membuat rancangan ini dianggap sebagai sebuah "solusi yang tepat terhadap masalah tersebut" [sic].[2]
Target untuk meningkatkan produksi biometana di Eropa dalam rancangan REPowerEU dianggap akan berhasil, meninjau dari pertumbuhan produksi biogas dan biometana yang naik secara konsisten, serta harga gas yang saat ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan biaya produksi biometana.[3] Akan tetapi, akan jauh lebih sulit untuk membuat peningkatan yang cukup cepat untuk pembangkit listrik terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan kapasitas elektroliser untuk lorong pembangkit listrik bertenaga hidrogen.[4]