Romantisisme Jerman adalah fenomena gerakan intelektual yang dominan dalam ranah kefilsafatan, seni, dan budaya di keseluruhan negara berbahasa Jerman pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dibandingkan dengan romantisisme Inggris, romantisisme Jerman berkembang lebih akhir. Seiring dengan perkembangan Weimarer Klassik, berbanding terbalik dengan roman keseriusan romantisisme Inggris, romantisisme Jerman lebih memiliki roman cerah dan diwarnai humor.
Fenomena Romantisisme Jerman umumnya berdiri sebagai reaksi atas revolusi industri, sikap angkuh dan melulu intelektual yang terus-menerus digaungkan abad pencerahan, dan rasionalisasi ilmiah atas alam.[1] Romantisisme Jerman memicu sintesis baru pada berbagai aspek dalam seni, filsafat, dan ilmu alam.[2] Gerakan tersebut kian memuncak yang umumnya dengan menekankan penonjolan konflik dan ketegangan antara dunia banal dan proyeksi supernatural.[2]
Romantisisme Jerman, dan gerakan romantisisme secara umum, lahir di masa yang sama dengan gerakan revolusi Prancis. Geliat revolusi Prancis berdampak kuat pada penulis-penulis dan pemikir Jerman. Peperangan era Napoleon berdampak kuat dengan membuat ambruk sebagian besar Germania, mengakibatkan derita panjang dan rekonstruksi ulang baik infrastruktur maupun struktur kemasyarakatan sebagian besar wilayah dan negara minor Jerman.[2] Gejolak perubahan yang masif tersebut mengakibatkan perubahan kultur wilayah Jerman yang membangkitkan gerakan kultur baru yang unik dengan melawan rasionalisme Prancis.
Gerakan filososfis idealisme Jerman berkaitan erat dengan Romantisisme dan politik revolusioner abad pencerahan dan memainkan peran sentral dalam kelahiran gerakan romantisisme Jerman. Idealisme Jerman, selain sebagai reaksi atas Kant, berkembang pesat sebagai reaksi atas krisis kultur dan subjektivitas manusia dengan semangat pendasaran objektivitas dan dunia fisikal.[3]
Roman idealisme Jerman secara umum memiliki sentral intelektual di Tübingen, Hamburg, dan Berlin yang diawali dengan karya Fichte dengan mendefinisikan hubungan subjek–objek (Ich–Nicht Ich).[4] Kemudian, sebagai antitesis Fichte, Schelling menyatakan argumen dengan menunjukkan hubungan resiprokal atas alam (dunia objektif) dan budi (dunia subjektif)[5] yang berpengaruh besar pada literatur Jerman kala itu dengan merampungkan problem Goethe mengenai problem pemisahan dualisme keberadaan dan mengevaluasi kembali peran imajinasi dan kreativitas manusia.[2][6]