Ronggeng adalah tari tradisional khas masyarakat Jawa dengan penari utama wanita, dilengkapi dengan selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari, dimana pasangan saling bertukar ayat-ayat puitis saat mereka menari diiringi musik dari rebab atau biola dan gong. Ronggeng berasal dari Pulau Jawa, tetapi juga dapat ditemukan di Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Ronggeng sudah ada di Pulau Jawa sejak zaman Mataram Kuno abad ke-8 masehi, seperti yang tercantum pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Relief tersebut menampilkan adegan perjalanan rombongan hiburan dengan musisi dan penari wanita. Di Jawa, penampilan ronggeng tradisional menampilkan rombongan tari perjalanan yang berjalan dari desa ke desa. Pasukan tari terdiri dari satu atau beberapa penari wanita profesional, disertai oleh sekelompok musisi memainkan alat musik: rebab dan gong. Istilah "ronggeng" juga diterapkan untuk penari wanita.
Selama penampilan ronggeng, para penari profesional perempuan diharapkan untuk mengundang beberapa penonton laki-laki atau klien untuk menari dengan mereka sebagai pasangan dengan memberi uang tips untuk penari wanita, diberikan selama atau setelah tarian. Pasangan tarian intim dan penari perempuan mungkin melakukan beberapa gerakan yang mungkin dianggap terlalu erotis dalam standar kesopanan etika keraton Jawa. Pada masa lalu, nuansa erotis dan seksual dari tarian ronggeng memberinya reputasi buruk sebagai prostitusi yang terselubung seni tari.
Ronggeng adalah tema utama dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang menceritakan kisah seorang gadis penari ronggeng yang juga seorang pelacur di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah.