Dalam Buddhisme, rupa (Pali: rūpa), juga dikenal sebagai materi dan wujud, merujuk pada semua jenis objek dasar, baik internal maupun eksternal. Istilah rūpa juga umum diterjemahkan sebagai jasmani atau badan ketika secara spesifik merujuk pada materi-materi yang menyusun suatu makhluk ("rupa internal"), biasanya disebutkan bersamaan dengan nāma (batin) sebagai nāmarūpa (batin dan jasmani).
Menurut Kamus Monier-Williams (2006), rūpa didefinisikan sebagai:
... setiap penampakan luar atau fenomena atau warna (sering kali jamak), bentuk (form), rupa (shape), figur (figure) RV. &c &c ...
untuk mengasumsikan suatu bentuk; sering kali ifc. = "memiliki bentuk/rupa (form) atau penampilan atau warna seperti", "dibentuk atau tersusun (formed or composed) dari", "terdiri dari", "mirip dengan" ....[1]
Secara keseluruhan, rūpa adalah konsepBuddhis tentang bentuk materi, termasuk tubuh/jasmani dan materi eksternal. Lebih khusus lagi, dalam Tripitaka Pali, rūpa dikontekstualisasikan dalam tiga kerangka penting:[note 1]
rūpa-khandha – "gugusan rupa/materi," salah satu dari lima gugusan (khandha) yang dengannya semua fenomena dapat dikategorikan (lihat Figur 1).
rūpa-āyatana – "objek yang terlihat," objek indra eksternal mata, salah satu dari enam landasan indra eksternal (āyatana) yang dengannya dunia dapat dikenali (lihat Figur 2).
nāma-rūpa – "batin dan rupa", "batin dan materi", "batin dan jasmani", atau "batin dan badan" yang dalam rantai Kemunculan Bersebab (paṭicca-samuppāda) muncul dari kesadaran (viññāṇa) dan mengarah pada munculnya landasan-landasan indra.
Selain itu, secara lebih umum, rūpa digunakan untuk menggambarkan patung (rupang) Sang Buddha, yang terkadang disebut Buddharūpa.
Dalam Abhidhamma Piṭaka dan kepustakaan Pali belakangan,[2]rūpa dianalisis lebih lanjut dalam konteks sepuluh, dua puluh tiga, atau dua puluh empat jenis rupa sekunder atau turunan (upādā). Dalam daftar sepuluh jenis rupa turunan, berikut ini diidentifikasi:
Daftar 23 jenis rupa turunan juga dapat ditemukan, misalnya, di kitab Dhammasaṅgaṇī (misalnya, Dhs. 596) dalam Abhidhamma Piṭaka, yang tidak mengikutsertakan "landasan jantung".[note 6]
Rūpa-āyatana merujuk pada "rupa visual, objek visual, objek yang terlihat," yaitu salah satu dari enam landasan indra (āyatana) eksternal sebagai unsur-objek (objek-indra eksternal) dari unsur-indra (organ-indra internal) mata.
Istilah ini digunakan dalam Buddhisme untuk merujuk pada unsur-unsur penyusun makhluk hidup: nāma merujuk pada unsur batiniah, sedangkan rūpa merujuk pada unsur jasmaniah. Nāma dan rūpa dalam Buddhisme saling bergantung, dan tidak dapat dipisahkan; sebagai nāmarūpa, keduanya merujuk pada keberadaan individu (atau hal-hal yang berbeda).[note 7]Nāmarūpa juga disebut sebagai lima khandha (gugusan), "organisme psiko-fisik", "batin dan materi", dan "mentalitas dan materialitas".
"Dan apakah [para bhikkhu] batin-&-jasmani itu? Perasaan (vedanā), persepsi (saññā), kehendak (cetanā), kontak (phassa), & perhatian (manasikāra): Inilah yang disebut nāma. Empat unsur pokok, dan rupa yang bergantung pada empat unsurpokok: Inilah yang disebut rūpa. Batin dan jasmani ini, [para bhikkhu], disebut batin-&-jasmani.[3]
Di bagian lain dari Tripitaka Pali, nāmarūpa digunakan sebagai sinonim dengan lima gugusan,[5] atau sebagai "proses persepsi"[6] dalam interpretasi modern.
Sesuai dengan ajaran anatta (tanpa atma; tanpa roh; tanpa 'diri'), "ketiadaan suatu atma (yang hakiki dan kekal)", nāma dan rūpa dianggap selalu dalam keadaan berubah yang hanya berupa kesinambungan pengalaman (yang sendirinya merupakan hasil dari sebab-musabab yang saling bergantung) yang menciptakan pengalaman atau perasaan adanya 'diri' secara konvensional.
Nāmarūpa adalah yang keempat dari dua belas mata rantai nidāna dalam Kemunculan Bersebab, didahului oleh kesadaran (Pali: viññāṇa; Skt.: vijñana) dan diikuti oleh enam landasan indra (Pali: saḷāyatana; Skt: ṣaḍāyatana). Oleh karena itu, dalam kitab Sutta Nipāta, Sang Buddha menjelaskan kepada Yang Mulia Ajita bagaimana kelahiran kembali dalam samsara dapat dihentikan:[note 8][note 9]
[Yang Mulia Ajita:] ...batin-&-jasmani, tuan yang terhormat: Katakan padaku, ketika ditanya hal ini, di mana mereka dihentikan?
[Sang Buddha:] Pertanyaan yang Anda ajukan, Ajita, Aku akan menjawabnya untukmu— di mana batin-&-jasmani dihentikan tanpa jejak: Dengan berhentinya kesadaran, mereka dibawa ke arah kehentian.
^Lihat, misalnya, Hamilton (2001), hlm. 3 dan passim.
^Di sini, istilah "body" (kāya) merujuk pada indra-indra "sentuhan" (phoṭṭhabba). Dalam kitab Upanisad, istilah "kulit" digunakan, alih-alih "tubuh" (Rhys Davids, 1900, hlm. 172 n. 3).
^Sepuluh unsur-turunan pertama sama dengan lima landasan-indra (jasmaniah) pertama dan objek-objek indranya (misalnya, lihat Hamilton, 2001, hlm. 6-7).
^Menurut kitab Vsm. XIV, 60 (Buddhaghosa, 1999, hlm. 447), landasan-jantung menyediakan dukungan materi untuk batin (mano) dan kesadaran-batin. Dalam kitab-kitab di Sutta Piṭaka, landasan materi dari batin (āyatana) tidak pernah disinggung.
^Daftar yang berisi 24 unsur turunan, misalnya, dapat ditemukan dalam kitab Visuddhimagga (Vsm. XIV, 36 ff.) (Buddhaghosa, 1999, hlm. 443 ff.; dan, Hamilton, 2001, hlm. 7).
^Misalnya, Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 350, entri untuk "Nāma" (diakses 20-06-2007), menyatakan:
"nāma sebagai istilah metafisik berlawanan dengan rūpa, & terdiri dari 4 gugusan non-materi dari seorang individu (arūpino khandhā, yaitu vedanāsaññāsaṅkhāraviññāṇa...). Ini sebagai prinsip noëtic yang dipadukan dengan prinsip materiil membentuk individu yang dibedakan berdasarkan 'batin & jasmani' dari individu lain. Jadi, nāmarūpa = individualitas, wujud individu. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan...." (nāma as metaphysical term is opposed to rūpa, & comprises the 4 immaterial factors of an individual (arūpino khandhā, viz. vedanā saññā saṅkhāra viññāṇa...). These as the noëtic principle comb[ine]d with the material principle make up the individual as it is distinguished by 'name & body' from other individuals. Thus nāmarūpa = individuality, individual being. These two are inseparable....)
^Lokasi spesifik ayat-ayat ini: Snp 5.2, Pārāyanavagga, "The Questions of Ajita," ayat 1036-1037
"Tanya jawab ini mengacu pada ajaran Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda). Ketika kesadaran penyambung kelahiran kembali (pati-sandhi-viññāṇa) tidak muncul, maka tidak ada kemapanan individu (batin-dan-jasmani, nāmarūpa) di alam keberadaan, juga tidak ada akibat munculnya usia tua dan kematian dan penderitaan lain yang menjadi sifat dari kehidupan." (This question and answer refers to the doctrine of dependent-arising (paṭiccasamuppāda). Where rebirth-consciousness (paṭi-sandhi-viññāṇa) does not arise there is no establishment of an individual (mind-and-body, nāmarūpa) in a realm of existence, nor the consequent appearance of old age and death and the other sufferings inherent in life.)
^Monier-Williams Dictionary, hlm. 885-6, entri untuk "Rūpa," diakses 2008-03-06 dari "Cologne University" di sini (dengan "rūpa" sebagai kata kunci) dan di sini.
Bucknell, Robert S. (1993), "Reinterpreting the Jhanas", Journal of the International Association of Buddhist Studies, 16 (2)
Buddhaghosa, Bhadantācariya (diterjemahkan dari Pāli oleh Bhikkhu Ñāṇamoli) (1999). The Path of Purification: Visuddhimagga. Seattle, WA: BPS Pariyatti Editions. ISBN1-928706-00-2.
Chen, Naichen (2017), The Great Prajna Paramita Sutra, Volume 1, Wheatmark
Fuller-Sasaki, Ruth (2008), The Record of Lin-Ji, University of Hawaii Press
Guenther, Herbert V.; Kawamura, Leslie S. (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding" (edisi ke-Kindle), Dharma Publishing
Hamilton, Sue (2001). Identity and Experience: The Constitution of the Human Being according to Early Buddhism. Oxford: Luzac Oriental. ISBN1-898942-23-4
Johansson, Rune Edvin Anders (1981), Pali Buddhist Texts: Explained to the Beginner, Psychology Press
Kunsang, Erik Pema (2004), Gateway to Knowledge, Vol. 1, North Atlantic Books
Lusthaus, Dan (2002), Buddhist Phenomenology: A Philosophical Investigation of Yogacara Buddhism and the Ch'eng Wei-shih Lun, Routledge
Maezumi, Taizan; Cook, Francis Dojun (2007), "The Eight Awarenesses of the Enlightened Person": Dogen Zenji's Hachidainingaku", dalam Maezumi, Taizan; Glassman, Bernie, The Hazy Moon of Enlightenment, Wisdom Publications
Polak, Grzegorz (2011), Reexamining Jhana: Towards a Critical Reconstruction of Early Buddhist Soteriology, UMCS
Rhys Davids, Caroline A.F. ([1900], 2003). Buddhist Manual of Psychological Ethics, of the Fourth Century B.C., Being a Translation, now made for the First Time, dari the Original Pāli, of the First Book of the Abhidhamma-Piṭaka, entitled Dhamma-Saṅgaṇi (Compendium of States or Phenomena). Whitefish, MT: Kessinger Publishing. ISBN0-7661-4702-9
Sarbacker, Stuart Ray (2021), Tracing the Path of Yoga: The History and Philosophy of Indian Mind-Body Discipline, State University of New York Press
Shankman, Richard (2008), The Experience of Samadhi: An In-depth Exploration of Buddhist Meditation, Shambhala
Stuart-Fox, Martin (1989), "Jhana and Buddhist Scholasticism", Journal of the International Association of Buddhist Studies, 12 (2)
Vetter, Tilmann (1988), The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism, BRILL
Wayman, Alex (1997), "Introduction", Calming the Mind and Discerning the Real: Buddhist Meditation and the Middle View, dari the Lam Rim Chen Mo Tson-kha-pa, Motilal Banarsidass Publishers
Wynne, Alexander (2007), The Origin of Buddhist Meditation, Routledge
Thanissaro Bhikkhu (penerjemah) (2003). Maha-hatthipadopama Sutta: The Great Elephant Footprint Simile (MN 28). Diakses 2008-03-06 dari "Access to Insight" di [1].