Sartono Kartodirdjo | |
---|---|
Nama asal | Aloysius Sartono Kartodirdjo |
Lahir | Wonogiri, Hindia Belanda | 15 Februari 1921
Meninggal | 7 Desember 2007 Yogyakarta, Indonesia | (umur 86)
Kebangsaan | Indonesia |
Almamater | Universitas Indonesia Universitas Yale Universitas Amsterdam |
Dikenal atas | Sejarawan Indonesia sekaligus pelopor dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensi dan Indonesia-sentris |
Penghargaan | Benda Prize 1977 |
Karier ilmiah | |
Bidang | Sejarah |
Institusi | Universitas Gadjah Mada |
Disertasi | The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 (1966) |
Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo (15 Februari 1921 – 7 Desember 2007) adalah sejarawan Indonesia. Ia adalah pelopor dalam penulisan sejarah dengan cara pandang Indonesia. Semasa hidupnya, ia menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada dan dinobatkan sebagai Guru Besar UGM, selain mengajar di UGM ia juga mengajar di IKIP Bandung sekarang UPI Bandung. Sartono Kartodirdjo meninggal dunia di Yogyakarta, pada usia 86 tahun.[1]
Prof. Dr. A. Sartono Kartodirdjo adalah sejarawan Indonesia sekaligus pelopor dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensi. Sebelum menjadi guru, pria yang akrab disapa Sartono ini menyelesaikan pendidikan di HIS, MULO, dan HIK. Saat bersekolah di HIK (sekolah calon bruder), pria kelahiran Wonogiri, 15 Februari 1921 ini dilatih kepekaan batin dan ketajaman intuisinya yang menuntunnya menjadi sosok ilmuwan yang asketis.
Saat usianya menginjak 44 tahun, Sartono menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia di sela-sela kegiatan mengajar di salah satu sekolah yang ada di Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikan master degree di Universitas Yale, Amerika Serikat setelah sebelumnya mengajar di Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan IKIP Bandung. Ia lulus pada tahun 1964 disusul melanjutkan pendidikan doktoralnya dua tahun kemudian.
Pada tahun 1968, Sartono dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Dalam disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia) yang ia buat untuk meraih gelar doktoralnya dinilai banyak orang sebagai jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Ia menganggap bahwa disertasinya merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosenteris.
Dalam disertasinya tersebut ayah dari dua anak ini mencoba mengubah pandangan dengan keberanian dari gerakan sosial yang dilakukan oleh petani untuk melawan ketidakadilan. Ia juga mencoba menghilangkan virus inferior pada bangsa asing yang saat itu banyak menjangkiti masyarakat Indonesia.
Sebagai sejarawan generasi pertama, Sartono telah melahirkan banyak murid yang menjadi benang merah penyambung gagasan-gagasan yang sering ia lontarkan. Tak hanya di Indonesia, dunia Internasional pun mengakui kehebatan Sartono dalam ilmu Sejarah. Kehebatan itulah yang mengantarkannya menerima Benda Prize yang dianugerahkan oleh sejarawan H.J. Benda pada tahun 1977.
Semasa hidupnya, Sartono dikenal sebagai asketisme intelektual. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengingatkan akan pentingnya sikap asketis dalam diri seorang profesional. Menurutnya, seseorang yang menjalani sikap asketis adalah orang yang melakukan latihan olah jiwa untuk menahan diri dari hawa nafsu jasmaniah. Sehingga aspek kognitif yang dihasilkan berupa sikap logis, kritis, analitis, dan diskursif. Tak hanya itu, semasa hidupnya, ia juga menelurkan karyanya dalam puluhan buku dan ratusan artikel. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid I Zaman Kerajaan dan Jilid II Pergerakan Sejarah Nasional.
Pada tanggal 7 Desember 2007 Sartono menghembuskan napas terakhir di RS Panti Rapih, Jogjakarta dalam usia 87 tahun. Sepanjang hidupnya, ia tak hanya memberikan contoh dan teladan sebagai sejarawan Indonesia tapi juga memberikan inspirasi dan pemikiran bagi kehidupan bangsa.
Dalam sebuah kutipan, Sartono mengungkapkan bahwa ilmu sejarah bukan sekedar narasi. Tidak hanya kisah-kisah serba menyenangkan. Karena itu pendekatannya jangan melulu dari ilmu sejarah, tetapi harus memanfaatkan bantuan ilmu antropologi, sosiologi, berikut disiplin ilmu-ilmu lain. Selain itu, karena menulis sejarah Indonesia, maka cara pendekatannya memang harus Indonesiasentris dan jangan sampai terpesona dengan aneka ragam kisah raja-raja atau orang besar. Sebab rakyat, petani, dan wong cilik juga punya peran sangat bermakna yang juga ikut membentuk sejarah.
Komunikasi dan Kaderisasi dalam Pembangunan Desa Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-historical Perspective
Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional
Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-kultural : Kumpulan Tulisan