Sejarah Sabah dapat ditelusuri kembali ke sekitar 23–30 ribu tahun yang lalu dengan adanya bukti pemukiman manusia yang ada di negara itu. Asal mula nama Sabah diyakini berasal dari tanaman pisang yang disebut pisang Saba atau disebut juga "Saing Sabbah" atau "Sappah" oleh masyarakat Taosug (Suku Suluk). Pisang Saba banyak ditanam di sepanjang pantai barat Sabah yang digunakan sebagai sumber makanan. Namun oleh suku Bajau pisang itu lebih dikenal dengan nama 'jaba'. Akan tetapi, kini lebih dikenal dengan pisang nipah.[1]
Nama 'Sabah' pertama kali diperkenalkan pada abad ke-15 oleh para pedagang yang mengembara di antara Kepulauan Borneo Utara hingga ke Kepulauan Sulu di Selatan Filipina. Nama itu pun juga telah lama digunakan sejak sebelum kedatangan Serikat Borneo Utara Inggris. Namun, setelah negara Sabah diambil alih oleh Serikat Borneo Utara Inggris, secara resmi pada tahun 1881 nama 'Sabah' diubah menjadi Borneo Utara. Akan tetapi, nama 'Sabah' digunakan kembali pada tahun 1963 ketika pembentukan Malaysia.[2]
Berdasarkan catatan lain, di pusi Jawa Nagarakertagama yang dikarang oleh Prapanca pada tahun 1365 menyebut Sabah dengan nama 'Seludang'. Sedangkan dalam catatan yang ditulis oleh Marco Polo sewaktu dia singgah di Borneo, ketika itu Sabah dikenal dengan nama 'Burni' yang kemungkinan merujuk pada Brunei.[3]
Awal sejarah Sabah dimulai pada abad ke-15 selama Kesultanan Brunei, yang menurut catatan disana terdapat pemukiman masyarakat yang makmur dan suku-suku yang terus ada sampai abad ke-19. Ketika itu, Sultan Brunei menyerahkan bagian timur Negara Sabah kepada Sultan Sulu, karena Sultan Hulu telah membantu mengalahkan musuh-musuh Brunei pada saat itu.[4] Akan tetapi, banyak sumber yang mengatakan bahwa penyerahan wilayah itu tidak dilakukan. Lalu, pada abad ke-19, kedua wilayah yang dimiliki oleh Sultan Brunei dan Sultan Sulu diberikan kepada Inggris. Kemudian pada tahun 1888, Sabah berada dibawah naungan Inggris, hingga pada 1965 Sabah memutuskan untuk meninggalkan Federasi. Pada 16 September 1963 Sabah bergabung dengan Malaysia dan Singapura untuk membentuk Federasi Malaysia.[5]
Sebelum abad ke-6, Kerajaan Brunei merupakan pusat dari kawasan Sabah, Brunei, dan Sarawak. Kerajaan Brunei yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan dengan China dipengaruhi oleh dua kekuasan besar, yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit yang ada di Jawa.
Pada awal abad ke-15, Kekaisaran Malaka yang berada di bawah kekuasaan Parameswara menyebarkan pengaruhnya dan mengambil alih perdagangan Brunei. Pada akhir abad ke-15, perubahan itu secara tidak langsung menyebabkan penyebaran agama Islam di Brunei. Jatuhnya kekuasan Malaka ke pihak Portugis pada tahun 1511 mengakibatkan Sultan Brunei mengambil alih kepemimpinan Islam dari Malaka. Selama masa pemerintahan Sultan Bolkiah , pemerintah Brunei memperluas pengaruhnya ke Luzon dan Sulu, serta ke selatan dan barat Kalimantan.
Dalam 600 tahun terakhir, Tiongkok datang untuk berdagang dan melakukan hubungan diplomatik dengan Borneo Utara. Berdasarkan laporan dari Brunei Annals, bahwa mereka mendirikan pemukiman di area Kinabatangan. Bukti arkeologis keramik yang ditemukan di Borneo Utara juga membuktikan bahwa orang Tiongkok terlibat dalam perdagangan keramik Tiongkok dan rempah-rempah dengan penduduk setempat.
Pada tahun 1761, Alexander Dalrymple yang merupakan seorang pejabat dari British East India Company di Madras,India telah membuat perjanjian dengan Sultan Sulu. Dalam perjanjian itu, membuat Alexander Dalrymple dapat membuka basis perdagangan di wilayah Borneo Utara, dan pada saat itu dia memilih Pulau Balambangan. Kemudian pada tahun 1763, Alexander Dalrymple mengibarkan bendera Inggris di Balambangan dan menamai pulau itu 'Felecia'.[6] Beberapa waktu setelah itu, seorang perwira bernama John Herbert dikirimkan ke Felecia (Balambangan) untuk mendirikan pemukiman. Akan tetapi, penempatan itu sejak awal telah mengalami masalah, mulai dari gangguan urusan administrasi, perampokan laut dan kerusakan akibat kebakaran, sehingga membuat tempat perdagangan itu hancur pada akhir 1775. Pada tahun 1803, upaya membangun kembali pangkalan dilakukan oleh Gubernur Jenderal India, Lord Arthur Wellesley melalui stafnya Robert J. Farquhar yang merupakan penduduk di Amboina. Dalam upaya tersebut Felicia telah dibangun kembali menjadi stasiun militer, akan tetapi usaha tersebut gagal dan stasiun itu ditinggalkan pada November 1805. Akhirnya, perhatian Inggris beralih ke daerah lain di gugusan pulau Melayu.[7][8]
Pada awalnya keadaan di Borneo damai hingga tahun 1960-an. Ketika adanya kesadaran politik timbul keinginan untuk merdeka seperti yang telah diraih oleh negara lain. Penyebaran rasa semangat kemerdekaan diawali dengan adanya pengumuman yang dibuat oleh Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman pada tahun 1961.[4] Pengumuman itu berisi mengenai pembentukan Federasi Malaysia, Borneo, Sarawak, Brunei dan Singapura. Ketika itu, Borneo telah memperoleh hak administratifnya sendiri pada tanggal 31 Agustus di Keningau, yang kemudian diikuti transisi penggabungan dengan Federasi Malaysia pada 16 September 1963.[9] Pada 16 September 1963 Malaysia secara resmi diakui, dan nama Borneo diubah menjadi Sabah. Sebelumnya, Borneo sudah membentuk pemerintahan transisi sementara untuk bergabung dengan Federasi Malaysia. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti bahwa Sabah telah menjadi bangsa atau bangsa yang merdeka, karena belum adanya pengakuan oleh PBB. Lalu pada tahun 1965, Singapura keluar dari Federasi Malaysia.
Wilayah sengketa Borneo Utara merupakan sengketa wilayah antara Malaysia dan Republik Filiphina pada bagian timur negara bagian Sabah. Filipina mempertahankan klaim teritorial atas Sabah timur —yang sebelumnya dikenal sebagai Borneo Utara — berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada 1878 antara Sultan Sulu dan North Borneo Chartered Company. [10] Namun, pihak Malaysia menganggap perselisihan ini sebagai "non-masalah" karena berdasarkan atas perjanjian 1878 sebagai perjanjian penyerahan dan bahwa warga Sabah telah dan dapat menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri ketika mereka bergabung dan membentuk federasi Malaysia pada tahun 1963.[11][12][13]