Sejarah awal Singapura mengacu pada era pra-kolonialnya sebelum tahun 1819, ketika Perusahaan Hindia Timur Britania Raya yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles mendirikan pemukiman dagang di pulau itu dan memulai sejarah Singapura modern.
Sebelum tahun 1819, pulau itu dikenal dengan beberapa nama. Rujukan pertama dipercaya terdapat dalam karya Ptolemaeus dari abad ke-2 yang mengidentifikasi pelabuhan pesisir di ujung selatan Semenanjung Melayu, yang disebut Sabana. Namun, para sejarawan umumnya mengaitkan catatan pelancong Tiongkok abad ke-3 yang menggambarkan sebuah pulau di lokasi yang sama yang disebut Pu Luo Chung, ejaan dari nama Melayu untuk Singapura, Pulau Ujong, sebagai catatan pertama yang diakui.
Singapura dikenal pada abad ke-13 hingga ke-14 sebagai Temasek, dan namanya diubah menjadi Singapura mungkin menjelang akhir abad ke-14 oleh Sang Nila Utama, pendiri Kerajaan Singapura. Pulau itu diklaim secara bergantian selama periode ini oleh orang-orang Siam dan Jawa. Penguasa terakhir Singapura, Parameswara melarikan diri ke Melaka setelah diserang oleh Majapahit dan mendirikan Kesultanan Melaka. Singapura dikuasai oleh Melaka pada abad ke-15 dan Kesultanan Johor sejak abad ke-16, hingga akhirnya menjadi koloni Inggris pada abad ke-19.
Dari teks-teks sejarah utama yang berasal dari sebelum abad ke-14, para sarjana telah mengenal sekitar 24 nama yang mungkin merujuk ke Pulau Singapura.[1] Singapura mungkin telah ditandai di peta kuno dari abad ke-2 Masehi dalam Geographia karya astronom Yunani-Romawi Ptolemaeus. Sebuah tempat yang bernama Sabana atau Sabara ditandai pada Peta Asia ke-11 di ujung selatan Semenanjung Emas (yang diduga merujuk pada Semenanjung Melayu) ditengarai merupakan Singapura.[2] Tempat ini diidentifikasi sebagai nominon emporion atau pelabuhan perdagangan asing, sebagai bagian dari jalur perdagangan maritim yang membentang dari Asia Tenggara hingga India dan Laut Mediterania.[3] Identifikasi Sabana atau Sabara bervariasi, di mana berbagai penulis menduga tempat itu berada di Selangor atau dekat Klang, atau tepat di selatan Melaka, atau selatan Johor, serta Pulau Singapura itu sendiri. Belum ada bukti arkeologis dari periode ini yang ditemukan di Singapura.[2][4]
Catatan tertulis Tiongkok abad ke-3 menggambarkan sebuah lokasi bernama Pu Luo Zhong (蒲羅中), yang merupakan ejaan dari nama Melayu Pulau Ujong, "pulau di ujung" (Semenanjung Melayu), yaitu Pulau Singapura.[5] Catatan itu juga menyebutkan secara singkat sebuah kabar burung tentang orang kanibal berekor sepanjang 5 atau 6 inci yang tinggal di sana.[6] Sejauh mana Pu Luo Zhong dapat diidentifikasi dengan Singapura masih diperdebatkan hingga sekarang.[7]
Referensi lain yang mungkin untuk Singapura ditemukan dalam Nanhai Jigui Neifa Zhuan (Catatan Praktik Buddhisme yang Dibawa Pulang dari Laut Selatan), sebuah catatan perjalanan biksu Buddha Yijing dari Dinasti Tang. Yijing menyebutkan beberapa pulau yang terletak di Asia Tenggara saat ini. Salah satunya, yang disebut Mo-he-xin atau Mo-ho-hsin (摩诃新), yang diduga merujuk pada Singapura kuno.[8]
Sebuah batu besar setinggi dan selebar 3 meter, dengan dilengkapi tulisan, ditemukan di muara Sungai Singapura. Batu tersebut diledakkan ketika Benteng Fullerton diperluas dan muara sungai diperlebar. Hanya beberapa fragmen yang bertahan, dan batu itu dikenal sebagai Prasasti Singapura. Beberapa tarikh diusulkan dari abad ke-10 hingga ke-13 untuk prasasti yang belum terbaca itu. Aksara yang digunakan diyakini terkait dengan aksara yang dipakai dalam bahasa-bahasa di Sumatra pada zaman itu.[9][10]
Singapura pada awalnya disebut "Temasek" atau "Tumasik", sebuah kata yang mungkin berasal dari kata "tasik" (kata Melayu yang juga bermakna danau atau laut).[11] Kakawin Nagarakretagama, sebuah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1365, menyebutkan sebuah pemukiman yang disebut Tumasik sebagai wilayah bawahan Majapahit.[12] Nama tersebut juga disebutkan dalam hikayat Sulalatus Salatin yang diperkirakan ditulis pada tahun 1535.[11] Temasek mungkin memiliki hubungan diplomatik dengan Vietnam, yang mencatatnya sebagai Sach Ma Tich, sejak awal abad ke-13.[13] Nama tersebut juga dicatat oleh penjelajah Tiongkok Wang Dayuan yang berkunjung ke pulau tersebut sekitar tahun 1330 dan menggambarkan sebuah tempat yang disebut Dan Ma Xi (單馬錫, transkripsi Tionghoa dari Temasek). Nama Dan Ma Xi atau Temasek ditulis dalam bahasa Tiongkok sebagai 淡馬錫 dalam peta Mao Kun.
Tercatat pada tahun 1320, Kekaisaran Mongol mengirim misi untuk memperoleh gajah dari Long Ya Men (龍牙門, Gerbang Gigi Naga).[14] Orang-orang Longyamen kemudian merespons pada tahun 1325 dengan mengirim upeti dan misi perdagangan ke Tiongkok.[15] Long Ya Men diyakini sebagai pintu masuk ke Pelabuhan Keppel di era modern. Dalam karyanya Daoyi Zhilüe, Wang Dayuan menggambarkan Long Ya Men sebagai dua bukit Temasek yang tampak seperti "gigi Naga" yang di tengahnya terdapat selat, dan menulis tentang tempat itu:
Sawahnya tandus dan hanya ada sedikit padi ... Pada zaman dahulu, ketika menggali tanah, seorang kepala suku menemukan hiasan kepala berhiaskan permata. Awal tahun dihitung dari terbitnya bulan [pertama], ketika kepala suku mengenakan hiasan kepala ini dan mengenakan pakaian [upacara] untuk menerima ucapan selamat [dari rakyat]. Hingga kini, tradisi demikian masih dipelihara. Penduduk pribumi dan orang Tionghoa tinggal berdampingan. Sebagian besar [penduduk asli] mengikat rambut mereka menjadi sanggul, dan mengenakan baju katun pendek yang diikat dengan sarung katun hitam.
Wang lebih lanjut menyebutkan bahwa kayu laka dan timah dihasilkan di sana dan penduduk asli berdagang dengan orang Tionghoa dari Quanzhou, tetapi kapal jung Tiongkok yang dalam perjalanan kembali dari Samudra Barat (西洋) kerap berurusan dengan perompak yang menyerang dengan dua hingga tiga ratus perahu.[17] Wang menggambarkan pemukiman lain di sebuah bukit di belakang Long Ya Men yang disebut Ban Zu (班卒, ejaan dari nama Melayu pancur, yang juga berarti mata air). Pemukiman ini diduga terletak di Fort Canning Hill, dengan mata air yang dulunya terletak di sisi barat bukit.[18] Warga Ban Zu digambarkan sebagai orang yang jujur, dan mereka "mengikat rambut mereka pendek, dengan sorban satin berlapis emas," dan berpakaian kain merah.[19]
Wang juga melaporkan bahwa orang Siam menyerang Temasek beberapa tahun sebelum ia berkunjung, tetapi kawasan itu selamat dari serangan yang berlangsung selama sebulan.[20] Reruntuhan pemukiman di bukit masih terlihat pada awal abad ke-19 dan dideskripsikan oleh Residen John Crawfurd. Pada tahun 1928, beberapa ornamen emas yang berasal dari pertengahan abad ke-14 ditemukan di Fort Canning Hill.[21]
Penggalian terkini di Fort Canning Hill memberi bukti bahwa Singapura merupakan pelabuhan yang cukup penting pada abad ke-14[22] dan digunakan untuk transaksi perdagangan antara orang Melayu dan Tionghoa. Berbagai dokumen menunjukkan bahwa setelah jatuhnya kekuasaan Sriwijaya, Temasek secara bergantian diperebutkan oleh Majapahit dari Indonesia dan Ayutthaya dari Thailand.