Siwaluh Jabu (disebut juga sebagai Siwaloh Jabu) adalah bentuk rumah tradisional masyarakat Batak Karo. Siwaluh Jabu merupakan rumah tinggal orang-orang Batak Karo pada zaman dahulu. Siwaluh Jabu menjadi bagian dari kehidupan orang Batak Karo.[1]
Siwaluh Jabu dibagi menurut bentuk atapnya dan dindingnya. Adapun jenis-jenis Siwaluh Jabu menurut atapnya adalah sebagai berikut:[2]
Adapun jenis-jenis Siwaluh Jabu menurut dindingnya adalah sebagai berikut:
Di dalam Siwaluh Jabu, terdapat jabu (keluarga) yang menempatinya. Adapun jabu yang menempati Siwaluh Jabu tersebut dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: [3][4]
Dalam mendirikan Siwaluh Jabu, ada beberapa tahap yang harus dipenuhi. Tahap-tahap ini pula dilakukan secara teratur dan tidak boleh melepaskan salah satu tahapannya. Adapun tahap-tahap mendirikan siwaluh jabu adalah sebagai berikut:[5]
Para keluarga mencari dan memutuskan letak pendirian rumah ini. Setelah itu, diadakan acara adat padi-padiken tapak rumah. Tujuan dari acara adat ini adalah untuk mengetahui apakah letak yang dipilih mendatangkan kebaikan atau malapetaka. Biasanya pada tahap ini dipanggilah seorang guru si baso (dukun) untuk mengetahui hal itu. Jika letak yang dipilih dianggap kurang baik, maka guru si baso akan membantu mencarikan letak yang baik bagi pendirian rumah siwaluh jabu.
Pada tahap ini, para keluarga beserta guru si baso menentukan tanggal yang baik untuk pencarian kayu-kayu di hutan. Biasanya, guru si baso juga ikut dalam pemilihan kayu yang baik untuk pendirian siwaluh jabu. Jika sudah ditetapkan tanggal dan jenis kayu yang baik, maka para keluarga menebang kayu-kayu tersebut.
Setelah penebangan kayu, maka para anggota keluarga membagikan sirih kepada setiap warga desanya. Pembagian sirih ini adalah suatu bentuk permohonan dari keluarga untuk membantu mereka membawa kayu-kayu tersebut ke tengah desa. Biasanya, setelah pemindahan kayu selesai, dilakukanlah makan bersama.
Pada tahap ini, para anggota keluarga, rakut sitelu, dan tukang-tukang yang akan mengerjakan berkumpul di rumah kalimbubu si pemilik rumah. Topik pembicaraannya adalah gaji para tukang, lama pendirian, dan apa yang menjadi tanggung jawab pemilik rumah.
Pada tahap ini, para tukang melakukan pembersihan kayu dan mahat (membuat lubang). Mula-mula tukang ahli memberi petunjuk, lalu dilajutkan oleh guru si baso dan dilanjutkan oleh pekerja lainnya.
Setelah proses pendirian pondasi dan pendirian tiang di atas pondasi, maka pekerjaan para tukang dianggap setengah jadi. Tahapan pun dilanjutkan dengan ngampeken tekang. Tujuan dari tahap ini adalah menghimbau para anggota keluarga dan penduduk desa untuk membantu para tukang memasangkan balok kayu di atas tiang-tiang tersebut.
Tahapan pun dilanjutkan dengan pemasangan ayo. Ayo adalah bagian depan dari atau rumah adat Karo. Biasanya terbuat dari anyaman bambu berbentuk segitiga dan diberi corak tersendiri dengan cat.
Siwaluh Jabu tidak akan lengkap tanpa pemasangan tanduk kerbau di puncak atapnya. Pemasangan ini biasanya dilakukan oleh tukang di malam hari. Sambil memasang, tukang tersebut mengucapkan kata-kata yang tidak boleh dilupakan. Kata-katanya berbunyi demikian: Adi muas kam, minemken ku lawit simbelang. Adi melihe kam, nggagat kam ku deleng si meratah. (Jika kamu haus, minumlah air dari lautan yang luas. Jika kamu lapar, makanlah di gunung yang hijau). Pengucapan kata-kata ini diyakini sebagai mantra agar keluarga yang menempatinya terhindar dari malapetaka.