Slamet Gundono | |
---|---|
Lahir | Gundono 19 Maret 1933 Tegal, Indonesia |
Meninggal | 5 Januari 2014 Kartasura, Sukoharjo, Indonesia | (umur 47)
Nama lain | Slamet Gundono |
Pekerjaan | Aktor, Dalang |
Orang tua | Ki Suwati dan Sumarti |
| |
Slamet Gundono (Han.: ꦱ꧀ꦭꦩꦺꦠ꧀ꦒꦸꦤ꧀ꦢꦤ, 19 Juni 1966 – 5 Januari 2014) adalah dalang berkebangsaan Indonesia. Ia lebih dikenal sebagai wayang suket (wayang rumput).[1] Wayang hasil kreasinya itu kali pertama digelar di Riau, dengan lakon Kèlingan Lamun Kélangan (Ingat Kalau Kehilangan), tahun 1997. Ciri khas penampilan Gundono adalah menjadikan dirinya sebagai pusat pentas. Kadang dia bertindak sebagai aktor yang memerankan tokoh wayang, atau jadi pesinden yang menyanyi, atau jadi pemusik dengan kentrung di tangannya. Pada 2005, Slamet Gundono menerima penghargaan Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda.[2]
Slamet Gundono lahir dari pasangan Ki Suwati dan Sumarti. Ayahnya juga dalang, meninggal saat Gundono masih kecil. Nama Slamet di depan namanya adalah pemberian guru SD-nya. Rasa hormat kepada Sang Guru, membuat Gundono lebih memilih mengubah akta kelahirannya. Dan dia sangat bangga, karena nama ayahnya sangat harum. Jadi buah bibir di Tegal dan sekitarnya, baik sebagai dalang maupun sebagai tokoh. Sang Ayah amat dermawan. Anak angkatnya, sekitar 50. Bila orang ingin menanggap wayangnya, namun tak mampu membayar, dia malah menggratiskan. Bahkan membantu keuangan Si Penanggap yang kekurangan.
Sepaninggal ayahnya, Gundono dibesarkan oleh sosok yang sangat dihormatinya dan dia sebut ayah psikologis, bernama Saleh, dan ibu bernama Sukarwi. Gundono menamatkan pendidikan dasarnya di SD Negeri Dukuh Salam, Slawi, Kabupaten Tegal. Lalu melanjutkan ke SMPN 1 Slawi. Setelah itu masuk Madrasah Aliyah Negeri Babakan, Lebak Siu, Tegal. Dia mondok di pesantren hingga lulus.
Gundono sudah akrab dengan seni tradisi sejak kecil. Sebab dia memang dibesarkan di kampung seniman, di lingkungan orang-orang yang mencintai seni tradisi. Di desanya, pertunjukan sintren lebih dihargai daripada pentas musik dangdut. Pada sisi lain, dia juga hidup di lingkungan keluarga yang menjaga tradisi agama dengan kuat. Sejak kecil dia sudah biasa tidur di surau. Meski begitu, Gundono kecil mencuri waktu menonton pertunjukan wayang kulit.
Setelah lulus Aliyah, Gundono masuk Institut Kesenian Jakarta pada Jurusan Teater. Namun jiwa dalangnya memanggil-manggil. Maka Gundono pindah ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia, sekarang Institut Seni Indonesia Solo, Jurusan Pedalangan. Di institusi ini gelar akademiknya sebagai sarjana seni dia peroleh pada 1999.
Gundono tidak mau begitu saja mengikuti jejak dalang-dalang mainstream yang pada waktu itu berkutat pada pakem. Dia beranggapan, seni tradisi bukan sesuatu yang statis atau berhenti pada puncaknya, kemudian terputus. Seni harus terus berkembang. Maka, Gundono membikin geger jagat pedalangan di Festival Greget Dalang, 1995, Solo. Dalam lakon yang dibawakannya, Gundono sengaja mematikan Pandawa Lima. Penonton pun berteriak-teriak memprotes kelakuan dalang yang dianggap mengacaukan cerita, dan minta Pandawa dihidupkan. Padahal, semua itu dia lakukan hanya untuk mengukur seberapa jauh mitos Pandawa sebagai pahlawan. Dan ternyata mitos itu begitu kuat menancap.
Di Solo, di depan rumahnya terdapat tanah seluas 100 meter persegi, dengan bangunan berbentuk limasan yang diberi label Sanggar Suket. Di sinilah Gundono dan Komunitas Suket melakukan berbagai proses kreatif. Gundono telah melahirkan karya-karya spektakuler. Selain Wayang Suket, dia juga menetaskan konsep Wayang Nggremeng, Wayang Lindur, Wayang Air, Wayang Multimedia, Wayang Kondo-M dan Wayang Api. Masing-masing konsep pertunjukan wayang ini sudah mengangkat sejumlah repertoar yang digelar di berbagai panggung dan kantong seni dalam dan luar negeri. Dan dia memberontaki pakem dengan cinta.
Wayang suket tak dapat dipisahkan dengan Slamet Gundono. Begitu pula sebaliknya. Suket (rumput) dipilih Gundono sebagai simbol kesederhanaan, sesuatu yang ingin disampaikan melalui karya-karyanya. Wayang Suket pertama kali digelar di Riau, dengan lakon Kelingan Lamun Kelangan (Ingat Kalau Kehilangan), tahun 1997. Gundono menjadikan dirinya sebagai pusat pentas. Kadang dia bertindak sebagai aktor yang memerankan tokoh wayang, atau jadi pesinden yang menyanyi, atau jadi pemusik dengan kentrung di tangannya. Kelingan Lamun Kelangan adalah lakon Banjaran Karna, mulai dari lahir sampai mati. Lakon ini mengingatkan orang yang kadang baru sadar mempunyai rasa memiliki setelah kehilangan. Tak hanya bentuk pementasan yang jadi bahan eksplorasi Gundono, jalan cerita Mahabarata pun dia gugat. Dalam pentas wayang kulit, pada umumnya, tokoh yang menghadapi Karna untuk menyidik sikapnya terhadap Pandawa, biasanya Kresna dan Harjuna. Gundono malah memunculkan Werkudara.
Wayang Suket tampil total, unik dan menarik, lucu. Menggelitik, namun tidak vulgar. Sarat kritik sosial dan tidak kasar. Sindiran segar untuk isu aktual. Maka, Wayang Suket pun jadi sebuah media seni teater berbasis kesenian wayang. Dengan pesan lewat dialog dan lagu-lagu. Kadang penonton diajak berjoget, atau diaantarkan untuk menangis. Berbekal pengalaman pentas itu, Gundono berharap dapat meneruskan inovasi demi penyempurnaan karya. Lalu dia kumpulkan beberapa teman dan membentuk Komunitas Wayang Suket. Sejumlah seniman andal dia ajak bergabung. Sosiawan Leak dan Hanindawan ikut meramaikan pentas wayang suket berikutnya. Penampilan yang kian mantap, langsung mengundang minat banyak orang. Tak hanya berpentas di kota-kota dalam negeri, Gundono dan Komunitas Wayang Suket juga ditanggap ke luar negeri.
Dengan gaya khasnya, Gundono membikin pentas Wayang Suket sebagai ruang yang sangat bebas bagi penonton untuk membangun imajinasi. Dia merevitalisasi wayang yang sering dianggap tak boleh diganggu-gugat. Slamet menganggap, seniman harus terus mencari, pencarian yang takkan pernah selesai.
Wayang Suket tampil lentur. Durasi pementasannya bisa 15 menit, satu jam, atau tiga jam! Pernah digelar dengan tiga orang, juga 30 orang. Begitu pula iringan musiknya. Kadang hanya satu atau dua jenis perangkat gamelan, bambu, ditambah gitar kecil, atau cukup dengan mulut. Lakon memang bersumber dari Mahabarata, tapi diperkaya dengan isu-isu terkini serta cerita keseharian yang lagi jadi sorotan publik. Gundono biasa tampil saat pentas dengan baju gombrong dan sarungan, kadang setengah telanjang. Tidak ada kelir megah yang memanjang di panggung. Sebagai gantinya dia mengusung buah dan sayuran hasil bumi hingga hewan ternak seperti bebek. Slamet Gundono yang terus mencari, kemudian melahirkan Wayang Nggremeng dan Wayang Lindur, 2002. Dia juga menggarap Wayang Multimedia bersama Yayat Suhiryatna dan Dedek Wahyudi. Kedekatan Slamet Gundono dengan lingkungan sekitar, tercermin dalam Wayang Guyub Ndesa, yang tampil di Solo Grand Mall, 2006, dalam lakon Gatutkaca (Embun Kang Tinatah). Kala itu, Gundono tampil bersama 75 orang, yang tak lain adalah para tetangganya.
Gundono kembali menyentak dengan karya lain, Wayang Air. Disebut demikian, bisa jadi karena penggunaan air sebagai bagian utama pertunjukan. Dari awal hingga akhir pertunjukan air terus mengalir. Setiap pemain bersinggungan dan mengalami pergulatan dengan air. Lakonnya Banyu, Ingsun Takon Apa Sira Punya Ibu? (Air, Aku Bertanya Apakah Kau Punya Ibu?), berkisah tentang cinta Sentanu kepada Dewi Gangga. Wayang Air ditampilkan jauh dari suasana riang. Dan Gundono tak menciptakan interaksi langsung dengan penonton. Seluruh pemain menyikapi air dengan persepsi masing-masing. Keseluruhan pentas terkesan muram, memancarkan kesedihan. Saat Gundono melantunkan suluknya yang khas pesisiran, terasa bagai sebuah ratapan menyayat hati.
Pada usia 47 tahun, Slamet meninggal di RSI Yarsis, Pabelan, Kartasura, pada pukul 08.30, setelah dirawat selama beberapa hari[3] karena komplikasi berbagai penyakit yang dideritanya. Jenazahnya dimakamkan di kota kelahirannya, Slawi.[4][5][6]
The 2005 Slamet meraih penghargaan Prince Claus dari Kerajaan Belanda atas jasanya mengembangkan seni tradisional dengan mengadaptasi idiom dan gaya modern. Penghargaan diberikan oleh Nikolaos van Dam yang waktu itu menjabat Duta Besar Belanda untuk Indonesia di Jakarta pada Januari 2006.