Bagian dari seri |
Islam |
---|
Bagian dari seri tentang |
Muhammad |
---|
|
Suksesi Muhammad merupakan isu sentral yang memecah umat Muslim menjadi beberapa cabang di abad pertama sejarah Islam. Beberapa bulan sebelum kematiannya, Muhammad menyampaikan khotbah di Ghadir Khum di mana ia mengumumkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan menjadi penerusnya. Setelah khotbah tersebut, Muhammad memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bersumpah setia kepada Ali. Baik sumber Syiah maupun Sunni sepakat bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan termasuk di antara sekian banyak orang yang bersumpah setia kepada Ali saat peristiwa ini.[1][2][3] Namun sesaat setelah kematian Muhammad, sekelompok Muslim mengadakan pertemuan di Saqifah, di mana sahabat Muhammad, yaitu Umar berjanji setia kepada Abu Bakar. Abu Bakar kemudian mengambil alih kekuasaan politik, dan para pendukungnya dikenal sebagai Sunni. Meskipun demikian, sekelompok Muslim lainnya tetap setia kepada Ali, yang kemudian dikenal sebagai kelompok Syiah, yang menyatakan meskipun hak Ali sebagai pemimpin politik telah diambil, dia tetap pemimpin keagamaan dan spiritual sepeninggal Muhammad.
Setelah kematian Abu Bakar dan dua pemimpin Sunni lainnya, Umar dan Utsman, kelompok Muslim Sunni kemudian mengikuti Ali untuk kepemimpinan politik. Setelah Ali meninggal, putranya Hasan bin Ali menggantikannya, baik secara politik dan menurut kelompok Syiah, juga secara keagamaan. Namun, setelah enam bulan, ia dipaksa membuat Perjanjian Hasan–Mu'awiyah dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, yang menetapkan Muawiyah akan memiliki kekuasaan politik jika dia tidak memilih siapa yang akan menggantikannya. Muawiyah melanggar perjanjian tersebut dan menjadikan putranya sendiri, Yazid sebagai penerus dan membentuk Kekhalifahan Umayyah. Sementara itu, Hasan dan setelah kematiannya, saudaranya yaitu Husain bin Ali, tetap menjadi pemimpin agama, setidaknya menurut Syiah. Dengan demikian menurut kelompok Sunni, siapa pun yang memegang kekuasaan politik dianggap sebagai penerus Muhammad, sementara Syiah mempertahankan bahwa kedua belas Imam (Ali, Hasan, Husain, dan keturunan Husain) adalah penerus Muhammad, bahkan jika mereka tidak memiliki kekuasaan politik.
Selain dua cabang utama ini, juga terdapat pendapat-pendapat lain yang muncul mengenai penerus Muhammad.
Sebagian besar sejarah Islam disebarkan secara lisan hingga kelahiran Kekhalifahan Abbasiyah.[4] Karya-karya sejarah para penulis Muslim di kemudian hari seperti biografi tradisional Muslim tentang Muhammad dan kutipan-kutipan yang dikaitkan dengannya (sirah dan literatur hadis), memberikan informasi lebih lanjut tentang kehidupan Muhammad.[5] Sirah yang ditulis paling awal yang selamat (biografi dan kutipan yang dikaitkan dengan Muhammad) adalah Sirah Rasul Allah (Life of God's Messenger) oleh Ibnu Ishaq (761 atau 767).[6] Meski karya aslinya sudah hilang, bagian yang selamat diresensi oleh Ibnu Hisham (833) dan Ath-Thabari (923).[7] Banyak (meski tidak semua) sarjana menerima keakuratan biografi ini, meskipun akurasinya tidak dapat dipastikan.[8] Studi oleh J. Schacht dan Ignác Goldziher telah membimbing para sarjana dalam membedakan antara tradisi hukum dan sejarah. Menurut William Montgomery Watt, meskipun tradisi hukum dapat diciptakan, materi sejarah mungkin terutama tunduk pada "pembentukan tendensial" daripada diciptakan.[9] Sarjana Barat modern jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan para ulama Islam Sunni untuk mempercayai karya para sejarawan Abbasiyah, dan para sejarawan Barat melakukan pendekatan pada sejarah Islam klasik dengan berbagai tingkat kehati-hatian.
Kompilasi hadis ialah catatan kebiasaan (atau ucapan) Muhammad — biografinya, yang diabadikan oleh memori komunitas sebagai panduannya. Pengembangan hadis merupakan elemen penting sejak tiga abad pertama sejarah Islam.[10] Para sarjana Barat awal tidak mengakui narasi dan laporan berikutnya, menganggapnya sebagai rekayasa. Leone Caetani menganggap pengaitan informasi historis ini ke Abdullah bin Abbas dan Aisyah sebagai fiktif, dan lebih memilih catatan yang disampaikan tanpa isnad oleh sejarawan awal seperti Ibnu Ishaq. Wilferd Madelung menolak penyingkiran tanpa pandang bulu terhadap segala sesuatu yang tidak termasuk dalam "sumber awal", alih-alih dengan menilai narasinya dalam konteks sejarah dan kecocokannya dengan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh.[11]
Satu-satunya sumber kontemporer adalah The Book of Sulaym ibn Qays (Kitab al-Saqifah) karya Sulaym ibn Qays (meninggal 75-95 H atau 694-714 M). Koleksi hadis dan catatan sejarah dari abad pertama Kalender Islam ini menceritakan peristiwa yang berhubungan dengan suksesi ini secara terperinci.[12]
Pada tahun keempat Islam, Muhammad mengadakan jamuan di mana ia mengundang 40 anggota Bani Hasyim. Pada jamuan itu, ia hendak mengajak mereka memeluk Islam namun Abu Lahab menukasnya sebelum nabi menyampaikan pesannya, dan semua yang hadir membubarkan diri dari jamuan tersebut. Nabi kemudian memerintahkan Ali untuk mengundang 40 orang lagi. Kali kedua, ia menyampaikan tentang Islam kepada mereka dan mengajak mereka untuk memeluknya.[13] Dia mengatakan:
"Aku berterima kasih kepada Allah atas belas kasih-Nya. Aku memuji Allah, dan aku mencari bimbingan-Nya. Aku percaya kepada-Nya dan menaruh keyakinanku kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah; Dia tidak berpasangan; dan aku adalah utusan-Nya. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengajak Kalian dalam agama-Nya dengan mewahyukan: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Karena itu, aku memperingatkan Kalian, dan menyeru pada Kalian untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan-Nya. Wahai Bani Abdul Muthalib, tidak ada seorang pun yang pernah datang kepadamu sebelumnya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang aku bawa kepadamu. Dengan menerimanya, ketenteraman Kalian akan terjamin di dunia maupun di akhirat. Siapakah di antara Kalian yang akan mendukungku dalam melaksanakan tugas penting ini? Siapa yang akan berbagi beban pekerjaan ini denganku? Siapa yang akan menanggapi seruanku? Siapa yang akan menjadi khalifah, wakil dan wazirku?"[14]
Ali adalah satu-satunya yang menjawab seruan Muhammad. Muhammad menyuruhnya duduk, sambil berkata, "Tunggu! Mungkin ada seseorang yang lebih tua darimu ingin menanggapi seruanku ini." Muhammad kemudian meminta anggota Bani Hasyim untuk kedua kalinya. Sekali lagi, Ali adalah satu-satunya yang merespon, dan sekali lagi, Muhammad menyuruhnya untuk menunggu. Muhammad lalu bertanya kepada anggota Bani Hasyim untuk ketiga kalinya. Ali masih satu-satunya yang bersedia. Kali ini, tawaran Ali diterima oleh Muhammad. Muhammad "menarik [Ali] mendekat, menekannya ke arah jantungnya, dan berkata kepada majelis tersebut: "Inilah wazirku, penggantiku dan wakilku. Dengarkan dia dan patuhi perintahnya".[15] Dalam riwayat lain, ketika Muhammad menerima tawaran bersemangat Ali, Muhammad "memeluk pemuda yang murah hati itu, dan menekannya ke dadanya" dan berkata, "Lihatlah saudaraku, wazirku, khalifahku ... Biarkan semua mendengarkan kata-katanya, dan taatilah dia".[16] Sir Richard Burton menulis tentang perjamuan tersebut dalam bukunya tahun 1898, dia mengatakan, "Peristiwa ini memenangkan [Muhammad] seorang pemeluk agama baru senilai seribu pedang dalam pribadi Ali, putra Abu Thalib".[17]
Sesaat sebelum kematiannya, Muhammad memanggil semua Muslim yang menemaninya saat haji terakhir (ziarah) untuk berkumpul di suatu tempat yang dikenal sebagai Ghadir Khum. Muhammad memberikan khotbah yang panjang, yang sebagiannya berisi:
Wahai manusia! Pahamilah ayat-ayat muhkamat Al-Qur'an, dan janganlah kamu ikuti (secara lahiriyyah) makna ayat-ayat mutasyabihat-nya, karena oleh Allah, tidak seorang pun akan dapat menjelaskan kepada Kalian peringatan-peringatan dan misterinya, juga tidak akan ada orang yang menjelaskan penafsirannya, melainkan orang yang aku pegang tangannya, yang aku naikkan dia ke sisiku dan yang aku angkat lengannya, barang siapa yang menjadikan aku mawlanya, maka Ali adalah mawlanya; dan dia adalah Ali bin Abi Thalib, saudaraku, pelaksana keinginanku (Wasiyyi), yang pengangkatannya sebagai wali dan pemimpin Kalian telah diturunkan kepadaku dari Allah, Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Besar.[18]
Peristiwa ini telah diriwayatkan oleh sumber Syiah dan Sunni. Selanjutnya, setelah khotbah tersebut, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dikatakan telah memberikan sumpah kesetiaan mereka kepada Ali, sebuah fakta yang juga dilaporkan oleh sumber Syiah dan Sunni.[19][20][21]
Di Madinah, setelah Haji Perpisahan dan peristiwa Ghadir Khum, Muhammad memerintahkan pasukannya di bawah komando Usamah bin Zaid. Dia memerintahkan semua sahabat, kecuali keluarganya, untuk pergi bersama Usama ke Suriah untuk membalas kekalahan umat Islam dalam Pertempuran Mu'tah.[22] Muhammad memberikan Usama panji-panji Islam pada tanggal 18 bulan Safar pada tahun 11 H. Abu Bakar dan Umar termasuk di antara mereka yang diperintahkan Muhammad untuk bergabung dengan tentara Usama.[23][24]
Namun Abu Bakar dan Umar menolak berada di bawah komando Usama karena mereka berpikir bahwa dia, masih berusia 18 atau 20 pada saat itu, terlalu muda untuk memimpin pasukan,[25] meskipun ajaran-ajaran Muhammad menyatakan bahwa yang tua dan posisi dalam masyarakat tidaklah berkaitan dengan jenderal yang baik.[26][27]
Menanggapi kekhawatiran ini, Nabi berkata: "Wahai orang-orang Arab! Kalian kesusahan karena aku telah menunjuk Usama sebagai jenderal Kalian, dan Kalian mempertanyakan jika ia memenuhi syarat untuk memimpin Kalian dalam peperangan. Aku tahu Kalian adalah orang yang sama yang bertanya mengenai ayahnya. Demi Tuhan, Usamah memenuhi syarat menjadi jenderal seperti ayahnya memenuhi syarat menjadi jenderal. Sekarang patuhi perintahnya dan berangkatlah."[28] Setiap kali Muhammad merasa lega akan penyakitnya, dia akan selalu menanyakan apakah pasukan Usama sudah pergi ke Suriah, dan akan terus mendesak sahabat-sahabatnya untuk pergi ke Suriah.[28] Muhammad bahkan berkata, "Tentara Usama harus segera berangkat. Semoga Allah mengutuk orang-orang yang tidak pergi bersamanya."[29][30][31] Namun ketika beberapa sahabat siap bergabung dengan tentara Usama, banyak di antara sahabat lainnya, termasuk Abu Bakar dan Umar, tidak menaati perintah Muhammad. Juga dicatat bahwa ini adalah satu-satunya ekspedisi pertempuran di mana Muhammad mendesak sahabat-sahabatnya untuk pergi berperang tanpa peduli apa pun; dalam pertempuran lain, jika seseorang tidak bisa pergi berperang, Muhammad akan membiarkan mereka tinggal di rumah. Telah ditunjukkan dalam sejarah fakta bahwa Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya, tetapi tidak keluarganya, untuk meninggalkan Madinah tepat sebelum dia tahu dia akan meninggal[32] adalah bukti bahwa dia tidak ingin sahabat-sahabatnya yang memutuskan penerusnya.[33]
Setelah Muhammad mempersatukan suku-suku Arab ke dalam satu pemerintahan Muslim selama masa-masa terakhir hidupnya, akhir hayatnya pada tahun 632 diiringi oleh perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin kaum Muslimin.[34] Pada pertemuan kecil yang dilakukan di Saqifah, salah satu sahabat, yaitu Abu Bakar dicalonkan sebagai memimpin. Yang lain mendukungnya dan Abu Bakar menjadi khalifah pertama. Pemilihan ini diperdebatkan oleh sahabat Muhammad lainnya, yang meyakini bahwa Muhammad telah memilih Ali sebagai penerusnya.[35][36] Namun kaum Sunni mengatakan bahwa Ali telah menerima kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.[37]
Menurut Wilferd Madelung, setelah pemilihan Abu Bakar, ia dan beberapa sahabat lainnya mendatangi rumah Fatimah untuk menerima sumpah setia dari Ali dan para pengikutnya yang berkumpul di sana. Tatkala Umar mengancam akan membakar rumah tersebut jika mereka tidak keluar, Zubair keluar dengan menghunus pedangnya. Zubair kehilangan pedangnya dan pengikut Umar mengambilnya. Ada bukti bahwa rumah Fatimah digeledah, dan Ali dilaporkan telah mengatakan bahwa jika dia memiliki empat puluh orang, dia akan bertahan. Abu Bakar mengasingkan Banu Hasyim (yang menurut Al-Zuhri, menolak untuk bersumpah setia) selama enam bulan.[38] Menurut Lesley Hazleton, Umar memutuskan untuk masuk ke rumah Fatimah dengan mendobrak pintunya.[39] Sumber Syi'ah Imamiyah meriwayatkan bahwa Umar membakar pintu rumah Fatimah sebelum menendangnya, dan mencelakai Fatimah (yang berusaha menahan pintu tersebut). Tindakan tersebut membunuh Mohsin, putra Fatimah yang belum lahir, mematahkan tulang rusuk Fatimah dan kemudian menyebabkan kematiannya). Ini diperdebatkan oleh Muslim Sunni, yang percaya bahwa tidak pernah ada konflik seperti itu terjadi. Syiah Imamiyah yakin bahwa Ali, diperintahkan Muhammad agar tidak melawan, dibelenggu; karena pemilihan Abu Bakar untuk kekhalifahan adalah fait accompli, Ali tidak memberikan kesetiaannya sampai setelah kematian Fatimah karena dia tidak ingin menimbulkan perselisihan di komunitas Muslim yang baru lahir tersebut.[40] Dia mengubur Fatimah pada malam hari, tanpa dihadiri pendukung Abu Bakar, dan lokasi kuburannya tidak diketahui.
Syiah Imamiyah mempercayai bahwa Ali yakin akan keabsahan klaimnya atas kekhalifahan berdasarkan kekerabatan dekatnya dengan Muhammad dan pengetahuan islamnya serta pengabdiannya untuk Islam; dia mengatakan kepada Abu Bakar bahwa penundaannya untuk janji setia (baiat) didasarkan pada keyakinannya pada gelarnya sendiri. Ali tidak berubah pikiran ketika dia berjanji setia kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman; ia melakukannya demi persatuan Islam ketika umat Muslim telah jelas berpaling darinya.[35][41]
Bagian dari seri artikel mengenai |
Syiah |
---|
Portal Islam |
Syiah meyakini karena nabi ditunjuk oleh Allah, maka hanya Allah yang dapat menunjuk penerusnya. Sebagian mengutip ayat-ayat Al-Quran seperti Surah Sad (Ayat:17-26)[42] dan Al-Baqarah,[43] di mana Allah menobatkan penerusnya di muka bumi. Syiah percaya bahwa Musa tidak meminta rakyatnya untuk melakukan syura dan menobatkan penerusnya; Allah memilih Harun untuk menggantikan Musa karena ketidakhadirannya selama 40 malam. Ulama Syi'ah mengacu pada hadis seperti Hadis Kolam Khumm, Hadis al-Manzilah dan Hadis Dua Belas Penerus (ḥadīth al-ithnā ‘ashar khalīfah) untuk membuktikan bahwa Allah, melalui Muhammad, memilih Ali sebagai penerus. Ketika pemimpin Bani Amir meminta Muhammad untuk berbagi kepemimpinan sebagai imbalan atas penaklukkan musuh Muhammad, Muhammad menjawab: "Itu Allah yang memutuskan; Dia akan mempercayakan kepemimpinan kepada siapa pun yang Dia mau"; Kepemimpinan umat tidak diputuskan oleh rakyat.[44]
Ali, sepupu Muhammad dan seorang pemimpin dalam pertempuran, sering dipercaya memegang komando dan kekuasaan dalam masyarakat di Madinah saat Muhammad memimpin Pertempuran Tabuk.[45] Ali juga merupakan suami putri Muhammad, Fatimah, dan ayah cucu-cucunya Hasan dan Husain. Ayah Ali adalah Abu Thalib, paman Muhammad, ayah angkat dan pelindungnya. Sebagai anggota keluarga Abu Thalib, Muhammad seperti kakak dan wali bagi Ali (sebagai pemuda, termasuk yang pertama memeluk Islam). Seorang pembela karismatik dalam keimanannya, Ali diasumsikan oleh beberapa kalangan sebagai pemegang tampuk kepemimpinan setelah kematian Muhammad. Namun akhirnya Abu Bakar yang mengambil alih kendali umat Muslim.[36][46]
Syiah mengacu pada tiga ayat dalam surah Al-Maidah: 5:55,[47] 5:3[48] dan 5:67.[49] Mereka meyakini bahwa ayat-ayat itu merujuk pada Ali, dan dua ayat terakhir diungkapkan di Ghadir Khum.[50]
Syiah percaya bahwa sejumlah hadis menunjukkan Muhammad telah mewariskan instruksi khusus mengenai penerusnya. Beberapa hadis ini memiliki nama, seperti Kolam Khum, Safinah, Thaqalayn, Haqq, posisi dan peringatan. Ada berbagai versi hadis, dan dua berikut ini adalah yang paling relevan dengan argumen Syiah untuk Ali.
Pada 632 M, Muhammad melakukan ziarah terakhirnya ke Ka'bah di Mekkah. Beberapa catatan awal mengatakan bahwa ketika dia kembali ke Madinah, dia dan pengikutnya berhenti di lokasi mata air dan landmark yang dikenal sebagai Ghadir Khum. Muhammad menyampaikan khotbah kepada para pengikutnya yang berkumpul di mana dia dilaporkan mengucapkan, "barang siapa yang menjadikan aku mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya".[20] Mawla (wali) muncul beberapa kali dalam hadis.[51]
Dalam hadis mutawatir ini, Muhammad berkata: "Sesungguhnya aku tinggalkan bersama kalian dua hal yang berharga, Kitabullah dan keturunanku, Ahlul Bait-ku, karena selama kalian melekat pada keduanya, kalian tidak akan tersesat; dan sesungguhnya mereka tidak akan berpisah satu sama lain sampai mereka bergabung denganku di Al-Kausar".[52]
Muhammad mendirikan Islam ketika dia berumur empat puluh tahun, dan menyembunyikan misinya selama tiga tahun pertama. Dia diperintahkan untuk menyampaikan pesannya secara terang-terangan ketika Allah mewahyukan kepadanya, "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat".[53] Muhammad mengadakan sebuah perjamuan, yang dikenal sebagai Da‘wat dhul-‘Ashīra. Dia mengundang sekitar empat puluh orang dari Banu Hasyim, dan meminta Ali mengatur makan malam. Ketika Muhammad ingin berbicara mengenai Islam, Abu Lahab berkata: "Tuanmu sudah lama menyihirmu". Para tamu membubarkan diri sebelum Muhammad dapat menyampaikan pesannya, tetapi dia mengundang mereka lagi keesokan harinya. Setelah perjamuan, dia berkata kepada mereka:
Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian di dunia dan di akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhhī), penggantiku (wasiyyah) dan khalifahku (khalifat) sepeninggalku?[54]
Ini pertama kalinya Muhammad secara terbuka meminta kerabatnya untuk menerima dia sebagai utusan dan nabi Allah, dan untuk pertama kalinya dia meminta seseorang untuk membantunya. Ali, yang paling muda, adalah satu-satunya yang berdiri dan berkata: "Aku akan menjadi penolongmu, wahai Nabi Allah".[54] Muhammad lalu meletakkan tangannya di belakang leher Ali dan berkata, Inna hadhã akhhí wa wasiyyí wa khalífatí fíkum, fasma‘û lahu wa atí‘û (Sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku, khalifahku di antara kalian. Oleh karena itu, dengarkan dan taati ia).[54]
Muhammad sering membandingkan hubungannya dengan Ali seperti hubungan Harun dengan Musa. Menurut Al-Quran, Harun adalah seorang nabi, ahli waris dan menteri; Ali adalah pewaris juga seorang menteri.[55]
Muhammad membandingkan ahlul bait-nya dengan bahtera Nuh: "Bukankah rupa ahlul bait-ku di antara kalian seperti bahtera Nuh di antara kaumnya? Siapa pun yang berlindung di sana akan diselamatkan dan siapa pun yang menentangnya akan ditenggelamkan”. Karena Bahtera Nuh adalah satu-satunya keselamatan umatnya, ahlul bait adalah satu-satunya keselamatan bagi orang-orang pada waktu itu.[52]
Muhammad bersabda, "Sama seperti bintang-bintang sebagai sarana untuk mengamankan orang-orang di bumi agar tidak tenggelam, ahlul bait-ku adalah sarana untuk mengamankan umatku dari perpecahan" (jalan untuk menyatukan umat).[52]
Segera setelah kembali dari Haji Perpisahan, Muhammad mengalami sakit. Dia dirawat di rumah istrinya, Aisyah putri Abu Bakar. Syiah percaya bahwa sebagian besar Muslim terkemuka, mengharapkan kematian Muhammad untuk mengambil alih kekuasaan, dengan tidak menaati perintahnya untuk bergabung dalam ekspedisi militer menuju Suriah. Mereka tetap di Madinah, menunggu kematian Muhammad dan kesempatan merebut kekuasaan.
Menurut Abdullah ibnu Abbas (Sepupu Muhammad) dalam Buku 13, Hadis 4016, Muhammad menjelang kematiannya mengatakan bahwa dia ingin menulis (atau mendiktekan) surat yang merinci keinginannya untuk umat. Menurut ibnu Abbas 'Sahih Muslim' ':
Ibnu Abbas menyampaikan: Ketika Rasulullah ﷺ hendak meninggalkan dunia ini, orang-orang (mengitarinya) di rumahnya, Umar bin Khattab adalah salah satunya. Rasulullah ﷺ bersabda: Kemarilah, aku ingin menuliskan untuk Kalian sebuah wasiat; Kalian tidak akan tersesat setelahnya. Kemudian Umar berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ sedang sakit keras. Engkau memiliki Alquran bersamamu. Kitab Allah sudahlah cukup bagi kami. Mereka yang hadir di rumah itu berbeda pandangan. Beberapa dari mereka berkata: Bawakan dia (bahan tulisan) agar Rasulullah ﷺ dapat menulis sebuah wasiat untuk Kalian dan Kalian tidak akan tersesat sesudah dia dan beberapa di antara mereka mengatakan apa yang (telah) diucapkan Umar. Ketika mereka terlibat dalam perdebatan dan mulai berselisih di hadapan Rasulullah ﷺ, dia berkata: Berdiri (dan pergilah) 'Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas pernah mengatakan: Sesungguhnya musibah di antara musibah adalah apa yang terjadi antara Rasulullah ﷺ ketika ingin menuliskan wasiat kepada mereka (akan tetapi tidak jadi).
— Muslim ibnu al-Hajjaj, Sahih Muslim[56]
Ketika Muhammad meninggal dunia, Umar mengatakan bahwa dia akan kembali dan mengancam akan memenggal siapapun yang membenarkan kematiannya. Ketika Abu Bakar kembali ke Madinah, dia berbicara kepada Umar (yang kemudian mengakui bahwa Muhammad telah meninggal dunia); Syiah percaya bahwa ini adalah cara Umar untuk menunda pemakaman dan memberi Abu Bakar waktu untuk kembali ke Madinah.[butuh rujukan]
Saat Muhammad meninggal dunia, kerabat terdekatnya (Ali dan Fatimah) yang merawat jenazahnya. Saat mereka sedang memandikan dan mempersiapkannya untuk dimakamkan (dilaksanakan oleh keluarga almarhum dalam Islam), sebuah pertemuan—tanpa sepengetahuan Ali dan muhajirin—dilakukan (oleh sekelompok Muslim) di Saqifah dan Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin baru, tetapi perlu perhatikan bahwa pilihan ini terjadi setelah terjadi konflik serius antara dua kelompok Muslim (Ansar dan Muhajirin) mengenai hal tersebut.[57]
Menurut Wilferd Madelung, karena Ali menolak untuk tunduk (baiat) kepada Abu Bakar, banyak Muslim dari Madinah juga menolaknya; mereka dikenal sebagai Shī'ah 'Alī (pengikut Ali). Madelung menulis bahwa butuh waktu enam bulan untuk memaksa mereka agar tunduk pada Abu Bakar.[58] Ketika dia menolak untuk bersumpah setia, rumah Ali dikepung oleh pasukan bersenjata yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar:[59]
Di Madinah, Umar yang bertanggung jawab dalam mengamankan janji kesetiaan semua warga. Dia menguasai jalanan dengan bantuan dari Aslam dan kemudian Abd Al-Ashhal dari Aws yang berbeda dengan mayoritas Khazraj, dengan cepat menjadi pendukung kuat rezim baru. Sumber-sumber menyebutkan penggunaan kekuatan yang sebenarnya hanya saat berurusan dengan Sahabat Al-Zubair dan dengan beberapa orang lainnya dari Muhajirin di rumah Fatimah. Konon, Umar mengancam akan membakar rumah tersebut kecuali jika mereka keluar dan bersumpah setia kepada Abu Bakar.[60]
Syiah Imamiyah meyakini bahwa Umar memaksa masuk ke rumah Ali dan Fatimah yang sedang hamil dan mencelakainya saat di belakang pintu. Dia mengalami keguguran putranya yang belum lahir, yang disebut oleh Syiah Muhsin bin Ali, dan segera meninggal karena luka-lukanya tersebut. Ali menguburnya secara sembunyi-sembunyi di malam hari, karena dia tidak ingin Abu Bakar atau Umar (yang disalahkan atas kematiannya) untuk menghadiri pemakamannya, dan Syiah menyalahkan Abu Bakar dan Umar atas kematian putri dan cucu Muhammad.[61]
Bagian dari seri tentang |
Islam Sunni |
---|
Portal Islam |
Muslim Sunni menghubungkan sejumlah hadis (tradisi lisan) di mana Muhammad menyarankan syura (musyawarah) sebagai metode terbaik untuk mencapai keputusan umat. Menurut pandangan ini, dia tidak mencalonkan seorang pengganti karena dia berharap bahwa masyarakat yang akan memilih pemimpin baru (kebiasaan di Saudi pada saat itu). Beberapa kaum Sunni percaya bahwa Muhammad telah menunjukkan kepercayaannya kepada Abu Bakar sebagai wakil kedua, menyuruhnya memimpin salat dan mengambil keputusan saat Muhammad tidak ada. Sebuah narasi oleh Mousa Ibnu 'Aoqbah dalam Kitab Al-Dhahabi, Siyar a`lam al-nubala (bahasa Arab: سير أعلام النبلاء), berbunyi: " ... Kemudian Ali dan Al-Zubair berkata, 'Kami melihat bahwa Abu Bakar lebih pantas menjadi penerus sah nabi daripada orang lain. ... ".[62]
Khalifah خِلافة |
---|
Portal Islam |
Menurut sebuah hadis musnad, Muhammad berkhotbah di Ghadir Khum di mana dia mengatakan, "barang siapa yang menjadikan aku mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya".[63] Mawla memiliki sejumlah makna dalam bahasa Arab. Meskipun orang-orang Syiah menerjemahkannya sebagai "penguasa" atau "pemimpin" dan yakin bahwa Muhammad tidak membuat 120.000 orang menunggu di gurun selama tiga hari hanya untuk memberitahu mereka agar mendukung Ali,[butuh rujukan] beberapa ulama Sunni berpendapat bahwa Muhammad mengatakan sahabat-sahabatnya harus berteman dengan Ali; itu adalah respon terhadap tentara Yaman yang mengeluh mengenai Ali.[64] Kejadian serupa dijelaskan dalam Sirah Ibnu Ishaq, di mana Muhammad dilaporkan mengatakan: "Jangan salahkan Ali, karena dia terlalu teliti dalam perihal mengenai Allah, atau jalan Allah, untuk disalahkan".[65] Sunni percaya bahwa menafsirkan ekspresi persahabatan dan dukungan sebagai penunjukan penerus tidaklah benar, dan perselisihan kepemimpinan sepeninggal Muhammad membuktikan bahwa pernyataannya bukanlah janji.
Yang lain percaya bahwa maksud Muhammad bermakna "penguasa" dalam penggunaan mawla untuk menggambarkan Ali di Ghadir Khum, tetapi itu hanya menggambarkan keunggulan spiritual Ali di kalangan umat Islam, bukan keputusan mengenai suksesi. Sunni juga menolak terjemahan mawla sebagai "sahabat". Kata ini dibahas dalam Patronate and Patronage in Early and Classical Islam, yang diedit oleh Monique Bernards dan John Nawas:
Mawla dapat merujuk pada relasi, pelindung, famili lelaki (saudara laki-laki, anak laki-laki, ayah lelaki, putra saudara laki-laki ayah), sanak saudara (saudara ipar laki-laki, menantu laki-laki), sahabat, pendukung, pengikut, teman minum, pasangan, Muslim yang baru saja masuk yang terikat pada seorang Muslim dan yang terakhir tetapi bukan sekutu. Sebagian besar kategori ini memiliki implikasi hukum ... Mawla biasanya diterjemahkan sebagai "relasi".[66]
Meskipun demikian, telah dicatat dalam sejarah Syiah dan Sunni bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman termasuk di antara sekian banyak yang bersumpah setia kepada Ali pada peristiwa Ghadir Khum.[20][67][68][69][70]
Muhammad meminta izin kepada istrinya yang lain untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan Aisyah. Sunni percaya bahwa sebelum meninggal dunia, Muhammad menunjukkan kepercayaannya pada Abu Bakar dengan memintanya memimpin salat di masjid (peran yang hanya dilakukan oleh Muhammad sendiri jika memungkinkan). Secara historis, imam adalah pemimpin umat Muslim.[71] Kaum Syiah menolak klaim ini dan percaya bahwa Muhammad benar-benar berjuang untuk mencegah Abu Bakar yang ingin memberi sinyal yang menunjukkan suksesinya dengan memimpin salat tanpa persetujuan Nabi.
Kaum Ansar (penolong Muhammad dan muhajirin) mengadakan pertemuan untuk membahas pemilihan pemimpin baru dari pihak mereka dalam komunitas. Ketika berita pertemuan itu menyebar, Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah bergegas ke tempat pertemuan. Abu Bakar berpendapat jika ansar memilih pemimpin mereka sendiri, komunitas Muslim akan terpecah; pemimpin baru harus berasal dari suku Quraisy (suku Muhammad), dan Sa'd bin Ubadah setuju. Abu Bakar menyarankan memilih Umar atau Abu Ubaidah, karena keduanya mampu. Umar mengambil tangan Abu Bakar dan menyatakan sumpah kesetiaannya (baiat, kebiasaan Arab), diikuti oleh sisa peserta pertemuan lainnya. Namun, keputusan ini tidak mengikat umat Islam lainnya kecuali mereka memberikan baiat mereka (yang dilakukan oleh semuanya, kecuali pendukung Ali).[72][73][74]
Muslim Sunni menganggap Ali salah satu sahabat Muhammad yang terkemuka di antara sepuluh orang sahabat, termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman, yang dijanjikan masuk surga serta khalifah keempat dalam Khulafaur Rasyidin (khalifah yang memperoleh petunjuk). Mereka menghormati Ali dan menganggapnya sebagai khalifah yang saleh, setia, rendah hati, berani, berdedikasi dan bijaksana.[75] Aisyah (istri Muhammad) merawat dan mengajari keponakannya, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, yang ibunya berasal dari keluarga Ali. Putri Qasim, Farwah binti al-Qasim, menikah dengan Muhammad al-Baqir dan merupakan ibu dari Jafar ash-Shadiq. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar adalah cucu Abu Bakar, khalifah pertama, dan kakek dari Jafar ash-Shadiq.[76]
Sejarawan Barat sebagian besar menolak klaim Syiah bahwa Muhammad menunjuk Ali sebagai penggantinya[77] dengan pengecualian Wilferd Madelung yang menunjukkan bahwa suksesi Abu Bakar bermasalah (tidak seperti sejarawan modern lainnya), dan Ali mungkin memang diharapkan untuk mengambil alih kepemimpinan sepeninggal Muhammad:[77] Menurut Madelung,
Dalam Al-Qur'an, keturunan dan kerabat dekat para nabi adalah ahli waris mereka juga dalam hal kerajaan (mulk), kepemimpinan (hukm), kebijaksanaan (hikma), kitab dan imamah. Konsep Sunni tentang khilafah sejati itu sendiri mendefinisikannya sebagai suksesi nabi dalam segala hal kecuali kenabiannya. Mengapa Muhammad tidak digantikan oleh keluarganya seperti para nabi sebelumnya? Jika Tuhan benar-benar ingin menunjukkan bahwa dia tidak boleh digantikan oleh salah satu dari mereka mengapa Dia tidak membiarkan cucunya dan kerabat lainnya mati seperti anak-anaknya? Dengan demikian ada alasan yang baik untuk meragukan bahwa Muhammad gagal menunjuk seorang penerus karena dia menyadari bahwa rancangan ilahi mengesampingkan pewarisan secara turun-temurun dari keluarganya dan bahwa dia ingin kaum Muslim memilih pemimpin mereka dengan Syura. Al-Qur'an menyarankan umat beriman untuk menyelesaikan beberapa masalah dengan musyawarah, tetapi bukan suksesi para nabi. Hal itu menurut Al-Qur'an, diselesaikan oleh pemilihan ilahi, Tuhan biasanya memilih penerus mereka, apakah mereka menjadi nabi atau bukan dari kerabat mereka sendiri.[78]
Madelung mendasarkan ini pada hadis dari telaga Khumm. Ali kemudian bersikeras bahwa kewenangan keagamaannya lebih tinggi dari Abu Bakar dan Umar.[79]