Tenaga dalam adalah suatu konsep yang populer di dalam masyarakat Melayu di Asia Tenggara terutamanya di Indonesia dan Malaysia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tenaga dalam adalah kekuatan yang dahsyat atau hebat pada seseorang yang bersumber dari jiwa (tenaga batin).
Tenaga dalam dianggap suatu tenaga manusia yang mempunyai kekuatan luar biasa. Tenaga dalam dibedakan dari tenaga luar manusia (yang biasanya disebut secara ringkas sebagai "tenaga" saja) yang berbentuk tenaga fisik seperti kekuatan otot tangan mengangkat barang.[1]
Pada dasarnya setiap orang memiliki apa yang disebut dengan tenaga dalam, hanya saja mereka tidak mengetahui bagaimana cara membangkitkan atau mengembangkannya. Tenaga dalam itu itu sudah ada sejak manusia dilahirkan. Tetapi tenaga itu masih pasif dan sewaktu-waktu akan bangkit bila orang tersebut dalam keadaan panik, tidur berjalan, terhipnosis atau ketakutan yang luar biasa.
Contoh : Seseorang yang takut kepada anjing akan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berlari menghindari kejaran anjing yang berlari cepat. Bila terdesak, orang tersebut dapat melompati tembok setinggi 2 m dengan sekali lompat. Rasa takut yang berlebihan tersebut dapat membangkitkan tenaga dalamnya yang sedang 'tidur'. Secara otomatis tenaga dalam tersebut bangkit dan tersalur pada kedua kakinya yang sedang dipergunakan untuk berlari, tetapi setelah berhasil menyelamatkan diri kekuatan itu reda dan energi itu 'tidur' kembali. Kemudian orang itu baru menyadari bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang luar biasa.
Pada 4000 SM, tenaga dalam sudah dikenal oleh orang-orang Mesir kuno. Dalam sebuah buku Papyrus "Yedimesish Ontologia" yang sudah disalin dalam bahasa Gri Kuno, menceritakan, bila otot bahu digerakkan akan mengeluarkan tenaga aneh sehingga dapat merobohkan orang yang sedang marah[2]
Pada saat itu orang-orang Mesir kuno mengenal tenaga dalam dengan sebutan Krachtologi dari kata "logos" yang berarti belajar dan "krachtos" yang berarti tenaga [2]
Dari Mesir, Krachtologi berkembang ke Babylon, Yunani, Romawi dan Persia. Di Persia tenaga semacam ini dinamakan Dacht. Dalam Dahtayana disebutkan bahwa pada suku Bukht dan Persia, terkenal ilmu perang dinamakan Dahtuz ialah merobohkan musuh dari jarak jauh. Kaum bangsawan Persia dilatih sejenis senam waktu dinihari sehingga mereka mempunyai tenaga Daht itu.[2]
Orang-orang Tionghoa, Tartar, Patan, Moghul, mengenal beberapa silat yang dapat merobohkan orang dari jauh. Di Tiongkok terkenal beberapa macam silat yang mempergunakan Kracht, di antaranya Gin Kang, Kwie Kang dengan jurus tinju dan Wie Kang dengan jurus terbuka. Wie Kang disebut jurus sepuluh, jurus ini tersebar sampai Vietnam, Campa, Malaya, dan Indonesia. Tumbuhlah menjadi beberapa aliran, di antaranya silat Mandar dari Sulawesi, silat Timpung dari Jawa Timur dan silat Nampon dari Jawa Barat, dlsb.[2]
Tenaga dalam pada umumnya diaktifkan melalui olahraga pernapasan. Dengan beberapa teknik pernapasan di antaranya: pernapasan perut, pernapasan dada, pernapasan pundak maupun gabungan. Olahraga ini diajarkan oleh kelompok senam pernapasan dan kelompok olahraga beladiri.[3] Seseorang menekuni tenaga dalam untuk beberapa tujuan, termasuk untuk olahraga, penyembuhan diri, meditasi, relaksasi, dan penunjang olahraga beladiri.[4]
Tenaga dalam yang sudah aktif karena dilatih dengan teknik pernafasan sebagaimana tersebut di atas, pada umumnya dilanjutkan dengan teknik melatih tenaga dalam tingkat lanjut yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengarahkan tenaga tersebut untuk berbagai kebutuhan.
Tenaga dalam pernapasan masuk kedalam kategori tenaga dalam konvensional[5] yang berarti menggunakan sistem pernapasan tenaga dalam yang sudah baku selama bertahun-tahun.
Tenaga dalam sering kali dimanfaatkan sebagai media penyembuhan meskipun sangat sedikit penelitian yang membuktikan bahwa hal tersebut bekerja. Pada kenyataannya tenaga dalam telah digunakan selama ribuan tahun di berbagai komunitas budaya untuk menyembuhkan gangguan fisik dan mental. Hanya baru-baru ini mereka berada di bawah pengawasan arus metode ilmiah Barat.
Pengamatan dari 1980 sampai 1992 yang dilakukan di Amerika Serikat dan Jepang menunjukan bahwa dari tangan seorang penyembuh tenaga dalam (prana) terpancar medan biomagnetik dengan frekuensi dari 0,3 – 30 hz dengan rata-rata kegiatan disekitar 7-8 hz. Seorang ahli Q-Gong dapat memancarkan medan cukup besar yang dapat deteksi melalui dua kumparan dengan 80.000 putaran lilitan. Pengamatan berkembang ke pengamatan medan akustik (suara) dan medan panas, selanjutnya melalui temuan-temuan ini mendorong ilmu kedokteran mulai mempelajarinya. Banyak kemanfaatan dalam penyembuhan dengan medan biomagnetik ini baik yang dihasilkan oleh praktisi prana ataupun yang dihasilkan oleh peralatan elektromagnetik.[6][7]
Salah satu referensi mengenai perguruan tenaga dalam di Indonesia adalah buku "Aliran Tenaga Dalam Indonesia" karya Mohammad Kanzunnudin.[8] Buku ini membahas berbagai perguruan tenaga dalam yang ada di Indonesia, seperti Sinar Putih, Merpati Putih, Pagar Nusa, dan lain-lain. Perguruan-perguruan ini dikenal dengan latihan dan teknik yang berfokus pada pengembangan energi internal untuk berbagai keperluan, termasuk kesehatan, kebugaran, dan bela diri.