Pengarang | R. M. Ballantyne |
---|---|
Bahasa | Inggris |
Genre | Petualangan |
Diterbitkan | 1857 |
Jenis media | Cetak |
Teks asli | The Coral Island at Inggris Wikisource |
The Coral Island: A Tale of the Pacific Ocean (bahasa Indonesia: Pulau Koral: Sebuah Kisah Samudra Pasifik) adalah novel tahun 1857 karya pengarang Skotlandia R. M. Ballantyne. Sebagai salah satu karya fiksi remaja pertama yang secara khusus menampilkan pahlawan remaja, cerita di dalamnya mengisahkan petualangan tiga anak laki-laki yang terdampar di salah satu pulau Pasifik Selatan akibat kapal karam.
Salah satu novel Robinsonade – genre yang terinspirasi oleh Robinson Crusoe karya Daniel Defoe – yang terpopuler, buku ini pertama kali dijual pada akhir tahun 1857 dan masih bertahan di percetakan. Di antara tema yang menonjol dalam novelnya ialah efek memperadabkan dari kekristenan, imperialisme abad ke‑19 di Pasifik Selatan, dan pentingnya hierarki dan kepemimpinan. Buku ini menjadi inspirasi novel distopia Lord of the Flies (1954) karya William Golding, yang membalikkan moralitas The Coral Island; dalam kisah Ballantyne, anak-anak menemukan kejahatan, tetapi dalam Lord of the Flies, kejahatan terdapat di dalam mereka.
Pada awal abad ke‑19, novel ini dianggap sebagai karya klasik bagi anak sekolah dasar di Britania Raya, dan karya pokok dalam daftar-daftar saran bacaan sekolah menengah di Amerika Serikat. Para kritikus modern menganggap pandangan dunia dalam bukunya usang dan imperialis, tetapi meski kurang disukai dewasa ini, The Coral Island dialihwahanakan menjadi drama anak televisi sepanjang empat bagian yang disiarkan oleh ITV pada tahun 2000.
Lahir di Edinburgh pada tahun 1825 dan dibesarkan di sana, Ballantyne adalah anak kesembilan dari sepuluh bersaudara dan putra bungsu. Ditutori oleh ibu dan saudari-saudarinya, Ballantyne hanya menuntut pendidikan formal selama periode singkat di Akademi Edinburgh pada tahun 1835–1837. Pada usia 16 tahun ia berkelana menuju Kanada dan menghabiskan lima tahun di sana bekerja untuk Hudson's Bay Company, berdagang bulu dengan para penduduk asli.[1] Ia kembali ke Skotlandia pada tahun 1847 dan bekerja untuk penerbit Messrs Constable selama beberapa tahun,[2] awalnya sebagai pegawai,[1] kemudian selaku mitra bisnis.[3] Sewaktu tinggal di Kanada, ia menyibukkan diri menulis surat-surat panjang kepada ibunya – yang di dalamnya ia sertakan "segala sejumlah kecil bakat komposisi yang mungkin pernah [ia] peroleh"[4] – dan memulai buku pertamanya.[5] Pengalaman Ballantyne di Kanada membentuk landasan novel pertamanya, The Young Fur Traders, terbit tahun 1856,[1] ketika ia memutuskan menjadi penulis penuh waktu dan menggeluti cerita petualangan bagi anak-anak yang kelak menjadi ciri khasnya.[2]
Ballantyne tidak pernah mengunjungi pulau koral di Pasifik Selatan, sehingga ia bergantung pada penuturan orang lain yang kala itu tengah bermunculan di Britania, kemudian ia lebih-lebihkan demi mencapai efek teatrikal dengan menyertakan "banyak kekerasan yang dimaksudkan untuk merangsang para pembaca remaja".[6] Ketidaktahuannya mengenai Pasifik Selatan menyebabkan Ballantyne salah menggambarkan kelapa sebagai buah yang lembut dan mudah terbuka; bersikeras akan ketepatan, ia memutuskan bahwa pada kemudian hari, jika memungkinkan, ia hanya akan menulis tentang perihal yang pernah ia alami sendiri.[7] Ballantyne menulis The Coral Island selagi tinggal di pesisir Burntisland di seberang Firth of Forth.[8] Menurut pengarang biografi Ballantyne, Eric Quayle, ia banyak meminjam dari novel tahun 1852 karya pengarang Amerika James F. Bowman, The Island Home.[9] Ia juga meminjam dari Narrative of Missionary Enterprises (1837) karya John Williams. Sebegitu miripnya novel ini dengan buku Williams sampai-sampai sejarawan budaya Rod Edmond mengajukan bahwa Ballantyne menulis salah satu bab dalam The Coral Island dengan Narrative of Missionary Enterprises terbuka di depannya.[10] Edmond menggambarkan novel ini sebagai "koktail buah dari tulisan lainnya mengenai Samudra Pasifik",[11] menambahkan bahwa "menurut standar modern, plagiarisme Ballantyne dalam The Coral Island tergolong mencengangkan".[12]
Meskipun edisi pertama The Coral Island tertanggal tahun 1858, novel ini pertama kali dijual di toko-toko buku sejak awal Desember 1857; menanggali buku lebih awal merupakan praktik yang lazim dilakukan pada masanya, terutama ketika musim Natal,[13] guna "menjaga kebaruan buku" memasuki tahun baru.[14] The Coral Island ialah novel kedua Ballantyne,[a] dan belum pernah meninggalkan percetakan.[16] Ia adalah seorang pengarang yang teramat prolifik, menulis lebih dari 100 buku dalam kariernya yang menjangkau empat dekade.[17] Menurut profesor sekaligus pengarang John Rennie Short, Ballantyne mempunyai "keyakinan keagamaan yang mendalam", dan merasa terpanggil untuk mendidik anak-anak kelas menengah era Victoria – sasaran audiensnya – tentang "kode kehormatan, kesopanan, dan kesalehan".[18]
Edisi perdana The Coral Island diterbitkan oleh T. Nelson & Sons, yang sama seperti para penerbit lain menerapkan kebijakan membeli hak cipta sebuah manuskrip alih-alih membayarkan royalti; akibatnya, para pengarang umumnya tidak menerima penghasilan sama sekali dari penjualan edisi-edisi berikutnya.[19][b] Ballantyne menerima antara £50 dan £60,[21] setara dengan £4.685 dan £5.622 pada tahun 2021, tetapi ketika popularitas novelnya mulai tampak dan jumlah edisinya mulai meningkat, ia gagal mencoba membeli kembali hak cipta atas bukunya.[22] Ia menulis surat pahit kepada Nelsons pada tahun 1893 mengenai hak cipta yang mereka pegang atas dirinya ketika ia tidak menghasilkan sedikit pun uang: "Selama 38 tahun [kau telah] menuai segala pendapatan."[23]
The Coral Island – masih dianggap sebuah karya klasik – kembali diterbitkan oleh Penguin Books pada tahun 1995 dalam seri Popular Classics mereka.[24]
Terbit semasa "zaman keemasan fiksi anak yang pertama",[25] The Coral Island memulai sebuah tren dalam fiksi anak dengan menggunakan laki-laki sebagai karakter utama, sebuah peranti yang kini lazim dalam genrenya.[26] Menurut kritikus sastra Minnie Singh, novel ini menjaga aspek moralisasi teks-teks didaktis, tetapi melakukannya (dan sebagai "teks perintis" dalam penggunaannya) melalui "kekongruenan subjek dan pembaca tersirat": cerita ini berisi tentang anak-anak laki-laki dan ditulis secara retrospektif seperti oleh seorang anak laki-laki, untuk audiens anak-anak laki-laki.[27]
Bagi kritikus sastra Frank Kermode, The Coral Island "dapat digunakan sebagai dokumen dalam sejarah gagasan".[28] Suatu latar belakang ilmiah dan sosial untuk novelnya ditemukan dalam Darwinisme, dari segi alam maupun dan sosial. Contohnya, walaupun The Coral Island terbit dua tahun sebelum Origin of Species (Asal-Usul Spesies; yang gagasannya sudah luas diedarkan dan diperbincangkan[29]), The Structure and Distribution of Coral Reefs tahun 1842 karya Charles Darwin merupakan salah satu catatan kontemporer yang paling terkemuka mengenai pertumbuhan koral.[30] Ballantyne memang banyak membaca-baca buku Darwin dan pesaingnya, Alfred Russel Wallace;[31] dalam penerbitan-penerbitan kemudian ia juga mengakui sejarawan alam Henry Ogg Forbes.[32] Minat dalam teori evolusioner banyak dicerminkan dalam sastra populer kontemporer,[31] dan Darwinisme sosial merupakan faktor penting yang berdampak pada pandangan dunia para orang era Victoria dan pembangunan kekaisaran mereka.[33]
Cerita ini ditulis dalam narasi orang pertama dari sudut pandang Ralph Rover yang berusia 15 tahun, salah satu dari tiga anak laki-laki yang terdampar di terumbu karang dari sebuah pulau Polinesia yang besar lagi tak berpenghuni. Ralph mengisahkan cerita secara retrospektif, melihat kembali kepada petualangan masa kecilnya: "Aku masih seorang bocah ketika melalui petualangan menakjubkan yang tercatat dalam buku ini. Dengan kenangan perasaan kekanak-kanakan kuat kurasakan, aku persembahkan buku ini terutama bagi anak-anak laki-laki, dengan harapan tulus bahwa mereka mungkin menurunkan informasi berharga, banyak kesenangan, pendapatan besar, dan kejenakaan tak terbatas dari halaman-halamannya."
Pengisahannya dimulai dengan cekatan; hanya empat halaman diabdikan pada awal kehidupan Ralph dan empat belas lagi pada pengembaraannya menuju Samudra Pasifik menumpangi kapal Arrow. Bersama dua pengiringnya – Jack Martin yang berusia 18 tahun dan Peterkin Gay umur 13 tahun – ia adalah salah satu dari tiga penyintas kapal karam. Narasinya terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama mendeskripsikan bagaimana ketiga anak mencari makan, minum, sandang, dan papan, serta bagaimana mereka bertahan dengan apa yang ada pada mereka. Paruh kedua novelnya lebih tetal dengan aksi, menampilkan konflik dengan para bajak laut, pertarungan di antara penduduk Polinesia, dan usaha para misionaris Kristen mencari pemeluk.
Buah-buahan, ikan, dan babi liar menyediakan makanan yang mencukupi, dan pada awalnya kehidupan ketiga bocah di pulau cukup ideal. Mereka membangun papan dan membuat sebuah perahu kecil menggunakan barang-barang yang mereka punya: teleskop rusak, dayung keras, dan kapak kecil. Kontak pertama mereka dengan manusia lain terjadi setelah beberapa bulan ketika mereka mengamati dua perahu cadik besar di kejauhan, yang satu dikejar yang lain. Kedua kelompok Polinesia meninggalkan perahu di pantai dan mulai bertarung; para pemenang mengambil lima belas tahanan dan membunuh lalu memakan seorang. Namun, ketika mereka mengancam akan membunuh salah satu dari tiga wanita yang ditahan, beserta dua anak-anak, ketiga bocah ikut campur untuk mengalahkan para pengejar. Tetua kelompok tersebut, Tararo, berterima kasih kepada mereka. Pagi selanjutnya mereka kembali mencegah aksi kanibalisme. Para penduduk asli kemudian pergi, dan ketiga bocah kembali menyendiri.
Lebih banyak tamu tak diundang kemudian berdatangan. Para bajak laut Britania, yang mencari nafkah dengan berdagang atau mencuri kayu cendana. Ketiga bocah berlindung dalam gua, tetapi Ralph tertangkap ketika ia berjalan keluar guna melihat apakah para penyusup sudah pergi dan dibawa ke atas kapal sekunar bajak laut. Ia menjalin persahabatan dengan salah satu awak kapal, Bloody Bill, dan saat kapalnya berlabuh di pulau Emo untuk mendagangkan lebih banyak kayu, Ralph menemui beragam faset kebudayaan di pulau tersebut: olahraga berselancar yang populer, pengorbanan bayi kepada dewa belut, pemerkosaan, dan kanibalisme.
Ketegangan yang meningkat berakibat pada para penduduk menyerang bajak laut. Di antara awak kapal, hanya Ralph dan Bloody Bill yang selamat. Keduanya berhasil melarikan diri dalam sekunar, tetapi Bill terluka secara fatal. Ia menyampaikan taubat di ambang kematian atas kehidupannya yang jahat, dan Ralph berlayar kembali ke Pulau Koral sendirian, tempat ia dipertemukan kembali dengan kawan-kawannya.
Ketiga bocah berlayar ke pulau Mango, tempat seorang misionaris sudah mendapat sejumlah penduduk memeluk kekristenan. Mereka kembali bertemu dengan Tararo, yang putrinya ingin menganut Kristen menentang kehendak ayahnya. Para bocah mencoba membawa Avatea dalam sebuah perahu kecil ke sebuah pulau yang tetuanya sudah memeluk Kristen, tetapi dalam perjalanan mereka diambil alih oleh salah satu kano perang dan kemudian ditahan. Mereka dibebaskan sebulan setelahnya menyusul kedatangan seorang lagi misionaris dan Tararo menganut Kristen. "Tuhan palsu" dari pulau Mango dibakar, dan ketiga bocah berlayar pulang, lebih tua dan bijaksana. Mereka kembali bertualang dalam sekuel 1861, The Gorilla Hunters.[34]
Seluruh novel Ballantyne, termasuk The Coral Island, menurut pengarangnya sendiri, adalah "cerita-cerita petualangan bagi anak muda".[18] Buku ini merupakan sebuah Robinsonade, genre fiksi yang terinspirasi oleh Robinson Crusoe (1719) karya Daniel Defoe,[35] salah satu yang paling populer dari jenisnya,[6] dan salah satu karya fiksi remaja pertama yang secara khusus menampilkan pahlawan remaja.[36] Susan Maher, seorang profesor bahasa Inggris, mencatat bahwa dibandingkan dengan Robinson Crusoe, buku-buku serupa secara umum menggantikan romansa dalam novel aslinya dengan "realisme pedestrian", dicontohkan oleh karya seperti The Coral Island dan novel Masterman Ready, or the Wreck of the Pacific tahun 1841 karya Frederick Marryat.[37] Romansa, beserta pengembangan karakternya, baru dikembalikan dalam fiksi remaja oleh Treasure Island (Pulau Harta Karun; 1883) karya Robert Louis Stevenson, kritikus sastra Lisa Honaker mengajukan.[38] The Coral Island, sebagaimana pun berlimpah petualangan di dalamnya, banyak disibukkan dengan realisme fiksi rumah tangga (domain novel realis); Ballantyne mengabdikan sepertiga bagian bukunya kepada deskripsi rancangan kehidupan ketiga karakter utama.[39] Buku ini memampangkan "kepercayaan diri yang cerita" dalam deskripsinya akan sebuah petualangan yang mendahulukan kesenangan.[40] Sebagaimana Ralph mengatakan dalam prakata novelnya: "Apabila terdapat seorang laki-laki yang suka murung dan melankolis, dan tidak dapat memasuki wilayah kesenangan dengan simpati yang baik hati, biarkan saya menyarankannya dengan serius untuk menutup buku saya dan menyampingkannya. Buku ini bukan untuknya." Profesor bahasa Inggris M. Daphne Kutzer mengamati bahwa "pergerakan cepat dalam ceritanya dari pesisir Inggris menuju pulau Pasifik yang eksotis mirip dengan pergerakan dari dunia nyata ke alam fantastis dalam fantasi anak".[41]
Bagi seorang pembaca modern, buku-buku Ballantyne dapat terlihat terlampau memperhatikan perincian flora dan fauna,[42] sebuah "glosa etnografis" yang dimaksudkan untuk mengajukan bahwa pelataran di dalamnya adalah tempat nyata yang menawarkan petualangan bagi siapa yang bisa mencapainya.[41] Buku-bukunya juga bisa tampak "saleh secara mencolok",[42] tetapi, menurut John Rennie Short, nada moralis dari tulisan Ballantyne terkompensasi oleh kemampuannya menceritakan "kisah cemerlang dengan gaya prosa yang terakses dan tercipta dengan mahir".[18]
Tema-tema menonjol dalam novelnya berporos pada pengaruh kekristenan, pentingnya hierarki sosial, dan superioritas melekat dari orang-orang Eropa dibandingkan penduduk kepulauan Samudra Selatan; Martin Dutheil, seorang profesor bahasa Inggris, menganggap novelnya sebagai sebuah "teks kunci yang memetakan hubungan kolonial pada periode Victoria".[43] Subjek dasar novel ini populer dan tersebar luas: "anak-anak yang terdampar mengambil tanggung jawab orang dewasa tanpa pengawasan orang dewasa", dan The Coral Island dipandang sebagai salah satu contoh klasik dari buku sejenis ini.[44]
Saya melihat mosnter biadab ini sesungguhnya meluncurkan kano mereka di atas tubuh korban mereka yang masih hidup. Namun, tidak terdapat belas kasihan pada dada pria-pria itu. Majulah mereka dengan bengis, berteriak selagi mereka melaju, sementara keras terdengar jeritan sekarat para makhluk malang itu saat satu per satu kano berlalu melindas mereka, mengeluarkan bola mata mereka, dan menyemburkan darah mereka dari mulut. Wahai pembaca, ini bukanlah rekaan! Saya tak akan, demi merangsangmu dengan horor, menciptakan adegan semengerikan ini. Saya menyaksikannya. Ini benar – sebenar dosa terkutuk yang telah membuat hati manusia mampu melakukan kejahatan diabolis seperti ini!
Pengaruh yang dianggap memperadabkan dari misionaris menyebarkan kekristenan kepada para penduduk asli Samudra Selatan merupakan tema utama dalam paruh kedua cerita ini;[45] sebagaimana Jack berkomentar kepada Peterkin, "seluruh penduduk asli dari Kepulauan Samudra Selatan adalah kanibal yang ganas, dan mereka tidak menghormati orang-orang asing". Pandangan kritikus modern akan aspek ini lebih keras; Jerry Phillips, dalam sebuah artikel tahun 1995, menyadari "perwujudan sempurna" dalam The Coral Island dari "diskursus resmi tentang imperialisme Pasifik abad ke‑19" yang ia anggap "terobsesi dengan kemurnian Tuhan, Niaga, dan Bangsa".[46]
Pentingnya hierarki dan kepemimpinan juga merupakan elemen yang signifikan. Hierarki ras yang menyeluruh dalam novel ini dicirikan oleh konsep-konsep era Victoria, dipengaruhi oleh teori-teori baru mengenai evolusi yang diajukan oleh Darwin dan kawan-kawan. Dalam moral dan kebudayaan, para penduduk asli ditempatkan lebih rendah pada tangga evolusioner daripada orang-orang Eropa, sebagaimana ditunjukkan oleh pertarungan memperebutkan wanita asli Avatea, yang memperadukan "kuasa peradaban melawan kuasa kanibalisme".[29] Satu lagi hierarki juga terlihat dalam pengorganisasian para karakter utama. Meski Jack, Ralph, dan Peterkin memiliki cara masing-masing dalam mengatur diri, pada akhirnya yang lebih muda tunduk kepada Jack,[47] seorang "pemimpin alamiah",[48] terutama dalam krisis, membentuk suatu hierarki alami. Para bajak laut juga memiliki hierarki, tetapi tanpa demokrasi, dan akibatnya dihapuskan. Hierarki di antara para penduduk asli dipaksakan oleh kekejaman. Pesan Ballantyne adalah bahwa para pemimpin seharusnya dihormati oleh yang dipimpin, dan memerintah seizin mereka.[49] Pesan edukasional ini sesuai mengingat audiens remaja Ballantyne, "para calon penguasa dunia".[50]
Para kritikus modern mendapati nuansa yang lebih gelap dalam novel ini. Dalam sebuah esai yang terbit dalam College English pada tahun 2001, Martine Dutheil menyatakan bahwa The Coral Island dapat dianggap sebagai epitome perputaran dari "kepercayaan diri dan optimisme pendukung imperialisme Britania pada awal masa Victoria" menuju "kesadaran diri dan kegelisahan akan dominasi kolonial.[24] Ia menempatkan kegelisahan ini dalam apa yang ia sebut sebagai "retorika kelimpahan" yang tampil dalam deskripsi kanibalisme,[51] dan terutama dalam penuturan keganasan orang-orang Fiji yang disampaikan oleh Bloody Bill (paling menonjol ialah deskripsi pengorbanan bayi kepada dewa-dewa belut)[52] dan sang misionaris, seorang perwakilan Perhimpunan Misionaris London, salah satu "tokoh fiksi kolonial yang simbolis".[53] Kritikus lain juga telah mengaitkan fiksi remaja laki-laki populer dengan imperialisme; Empire Boys (1991) karya Joseph Bristow mengeklaim menemukan "'kelaki-lakian imperialis', yang membentuk watak Britania ke arah imperium dan maskulinitas".[54] Penggambaran kebudayaan Pasifik dan dampak kolonisasi dianalisis dalam kajian-kajian layaknya The Savage in Literature: Representations of 'Primitive' Society in English Fiction (1975) karya Brian Street[55] dan Representing the South Pacific: Colonial Discourse from Cook to Gauguin (1998) karya Rod Edmond.[56] Dominasi yang dipaksakan oleh "pemetaan geografis sebuah wilayah dan pengaturan para penduduk asli" merupakan tema yang penting dalam novel ini baik secara khusus maupun umum, dalam topografi pulau sebagaimana dipetakan oleh para bocah dan Pasifik Selatan yang "akhirnya tunduk serta memeluk kekristenan", sebuah topik yang berlanjut dalam Treasure Island karya Stevenson.[57]
Penjelajahan hubungan antara alam dan kekristenan evangelikal adalah satu lagi tema tipikal dari zaman Victoria. Koral menghubungkan kedua gagasan. Kritikus sastra Katharine Anderson menjelaskan bahwa perhiasan koral, terkenal pada masanya, memiliki "signifikansi saleh".[58][c] "Taman ajaib" koral yang ketiga bocah temukan di dasar laguna pulau mereka menyiratkan "pertemuan misionaris dengan masyarakat Pulau Pasifik".[61] Dalam masyarakat masa Victoria, koral telah diberikan "pembingkaian evangelikal", dan "serangga koral" yang bertanggung jawab membangun terumbu karang[d] mencerminkan "kapasitas produktif dari sang pembaca anak sebagai penggalang dana untuk kausa misionaris";[63] kritikus sastra Michelle Elleray mendiskusikan berbagai buku anak dari awal hingga pertengahan abad ke‑19, termasuk The Coral Island, yang di dalamnya koral memainkan peran edukasional serupa.[64]
Pelataran novel ini menyediakan latar belakang untuk meditasi dengan gaya Jean-Jacques Rousseau, yang menganjurkan pelataran edukasional dengan pelajaran disediakan melalui interaksi langsung dengan dunia alam alih-alih oleh buku dan guru koersif.[65] Minnie Singh menunjuk bahwa Rousseau, dalam Émile, ou De l'éducation (1762), mengedepankan pembacaan dan bahkan peniruan Robinson Crusoe;[66] kritikus sastra Fiona McCulloch berargumen bahwa pengetahuan yang para karakter peroleh tanpa perantara di pulau koral mereka mirip dengan "bahasa langsung bagi anak" yang Rousseau anjurkan dalam Émile.[67]
The Coral Island lekas meraih kesuksesan, dan telah diterjemahkan menuju nyaris semua bahasa Eropa selepas lima puluh tahun terbit.[68] Buku ini secara luas dikagumi oleh pembaca kontemporer, meskipun kritikus modern memandang teksnya berisikan "tema kolonialis yang usang dan nuansa yang terbilang rasis".[6] Perpaduan Ballantyne antara petualangan haus darah dengan imperialisme saleh menarik tidak hanya audiens remaja, tetapi juga orang tua serta guru-guru mereka.[69] Kini, ia utamanya dikenal atas mengarang The Coral Island, sementara sisa korpusnya banyak terabaikan.[70]
Novel ini masih dianggap sebuah klasik bagi anak-anak sekolah dasar di Inggris pada awal abad ke‑20.[71] Di Amerika Serikat, buku ini sudah lama menjadi bacaan pokok dalam daftar saran pembacaan bagi siswa sekolah menengah; daftar-daftar serupa, didiskusikan dalam artikel The English Journal tahun 1915, merekomendasikan novel ini dalam kategori cerita-cerita anak laki-laki bergaya sederhana.[72] Sebuah adaptasi tersimplifikasi dari buku ini pun disarankan pada tahun 1950‑an bagi anak-anak Amerika dalam kisaran usia 12–14 tahun.[73] Meski telah dilalaikan oleh para akademisi modern[74] dan umumnya dianggap kedaluwarsa dalam berbagai aspek, pada tahun 2006 novel ini terpilih sebagai salah satu novel Skotlandia terbaik di International World Wide Web Conference ke‑15.[75]
Novel tahun 1882 Treasure Island karya Robert Louis Stevenson, seorang "penggemar setia" Ballantyne,[6] sebagian terinspirasi oleh The Coral Island,[76] begitu pula dengan karakter Peter Pan ciptaan J. M. Barrie; baik Stevenson maupun Barrie merupakan "pembaca antusias" The Coral Island ketika kecil.[77] Novelis G. A. Henty juga terpengaruh oleh metode didaktisisme Ballantyne yang ramah audiens.[66]
Lord of the Flies, novel tahun 1954 karya William Golding, ditulis sebagai titik bandingan (atau bahkan parodi[78]) The Coral Island,[79] dan Golding secara tersurat mengilatkan novel ini. Sebagai contoh, pada akhir Lord of the Flies, salah seorang petugas kelautan yang menyelamatkan para bocah menyebutkan buku Ballantyne, mengomentari pemburuan salah satu anggota mereka, Ralph, sebagai "pertunjukan yang menyenangkan. Seperti Pulau Koral".[80] Jack juga muncul dalam Lord of the Flies sebagai Jack Merridew, mewakili sifat tak masuk akal dari para bocah. Memang, tiga karakter utama Golding – Ralph, Piggy, dan Jack – adalah karikatur terhadap para pahlawan Ballantyne.[81] Walau menikmati The Coral Island berulang kali sewaktu kecil, Golding menentang pandangan yang didukung di dalamnya,[79] dan kontras, Lord of the Flies menggambarkan para bocah Inggris sebagai para kanibal itu sendiri, yang lebih banyak melupakan daripada belajar, bertolak belakang dengan bocah-bocah Ballantyne.[82] Golding menggambarkan hubungan antara kedua buku dengan mengatakan bahwa The Coral Island telah "membusuk menjadi kompos" dalam pikirannya, dan dalam kompos "mitos yang baru menyingkirkan akar-akar".[79] Sifat ideal pulau koral Ballantyne juga tidak tampil dalam pulau harta karun Stevenson, yang tidak cocok untuk ditinggali, "tetapi ada hanya sebagai situs untuk menggali harta karun, suatu pandangan yang konsisten dengan misi imperial masa Victoria akhir" menurut Lisa Honaker.[83]
The Coral Island dialihwahanakan menjadi seri televisi anak-anak dalam sebuah kerja sama antara Thames Television dan Australian Broadcasting Corporation pada tahun 1980, pertama kali ditayangkan di televisi Australia dan Britania pada tahun 1983.[84] Novel ini kembali diadaptasi menjadi drama televisi anak-anak dalam empat bagian oleh Zenith Productions, yang ditayangkan oleh ITV pada tahun 2000.[85]