Transisi (transgender)

Transisi atau transisi gender merupakan periode saat seorang individu mengubah peran gendernya ke peran gender lain yang berbeda dari satu yang ditunjuk untuk dirinya saat lahir.[1] Proses ini umumnya mencakup segi fisik dan medis serta dari segi sosial dan legal.[2][3] Tapi hal tersebut tidak pasti sama untuk setiap orang karena transisi seseorang tidak selalu sama dengan orang lain. Beberapa orang transgender dan orang dengan gender nonbiner hanya sedikit atau bahkan tidak sama sekali menginginkan perubahan tubuhnya namun akan tetap bertransisi dengan cara yang lain.[4]

Transisi harus diawali dari keputusan pribadi seiring dengan pemahaman seseorang bahwa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelamin yang ditunjuk untuk dirinya saat lahir.[5] Transisi merupakan sebuah proses, bukan sebuah kejadian singkat, dan dapat berlangsung dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Biaya untuk menjalani transisi secara medis dapat menjadi hal yang sulit bagi orang trans. Kendala ekonomi dapat membuat orang trans mengakses pelayanan medis yang di bawah standar ataupun ilegal dan di luar pengawasan ahli.[6]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Transisi sebagai pengobatan disforia gender

[sunting | sunting sumber]

Seseorang yang memiliki identitas gender yang tidak selaras dengan jenis kelamin yang ditunjuk untuk dirinya saat lahir dapat mengalami apa yang disebut sebagai disforia gender (dahulu dikenal sebagai "gangguan identitas gender", gender identity disorder).[7] Kondisi tersebut dapat menyebabkan seseorang mengalami stres dan tekanan serta ketidakmampuan dalam beraktivitas sosial sehari-hari yang menurunkan kualitas kesehatan jiwa orang tersebut.[3] Beberapa penelitian menunjukkan penurunan gejala-gejala disforia gender dengan pelaksanaan transisi baik secara medis maupun sosial.[8][9][10] Keluarga, masyarakat, dan lingkungan sosial yang memberikan dukungan dan respon positif terhadap transisi seseorang juga berperan penting terhadap menurunnya kendala emosional dan meningkatnya kesehatan jiwa dari orang transgender.[10]

Seseorang yang menjalani transisi, meskipun berpeluang untuk menurunkan disforia, masih dapat mengalami stres dan dapat mengalami ketidaknyamanan saat menjalani rangkaian prosedur medis dan sosial dalam transisi. Hal ini menimbulkan sedikit kontroversi di dunia medis mengenai pertimbangan antara pelaksanaan transisi atau pencegahan kondisi transseksual pada orang tersebut tanpa transisi.[11] Meskipun demikian, pencegahan munculnya kondisi transseksual tidak memiliki dasar ilmiah dan menuai kekhawatiran adanya dampak psikologis lanjut yang dapat timbul dari disforia gender yang tidak tertangani.[12]

Transisi yang dibutuhkan seseorang merupakan sesuatu yang unik dan belum tentu sama dengan transisi orang lain. Beberapa orang akan mengekspresikan identitas gender mereka melalui peran gender yang ditunjuk kepada mereka saat lahir. Beberapa hanya mengubah peran gender mereka dan hanya menginginkan operasi namun tidak butuh penyulihan hormon. Beberapa menghendaki penyulihan hormon namun tidak menginginkan operasi sementara yang lainnya menghendaki keduanya.[13] Penanganan medis dan psikologis yang baik terhadap orang dengan variasi gender adalah penanganan yang dilakukan agar ia dapat mengekspresikan gendernya dengan optimal dan agar ia dapat dipandang oleh orang lain sebagaimana ia memandang dirinya sendiri.[14]

Efektivitas

[sunting | sunting sumber]

Penilaian keberhasilan transisi sebagai pengobatan disforia gender didasarkan pada masalah-masalah yang ditimbulkan oleh disforia gender yang ditemukan pada diri pasien apakah masih muncul atau tidak. Hal tersebut utamanya meliputi penurunan pada tingkat stres dan peningkatan pada aktivitas dan fungsi sosial orang tersebut. Hasil lain yang juga diharapkan adalah menurunnya disforia, kepuasan dalam menjalani transisi, dan ketiadaan rasa menyesal terhadap keputusan untuk bertransisi.[15]

Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mengukur efektivitas transisi medis dan sosial. Sebuah ulasan terhadap penelitian dari tahun 1961 hingga 1991 menemukan hanya sekitar 1,0—1,5% dari 1.400 total partisipan yang dilaporkan menyesal dengan menghentikan transisi dan kembali ke peran gendernya sebelumnya.[16] Ulasan lain terhadap 20-an penelitian dan ulasan dengan rentang waktu dari tahun 1978 hingga 2011 menunjukkan bahwa mayoritas orang yang menjalani transisi melaporkan peningkatan dalam kualitas hidup. Tapi dalam beberapa studi yang diulas, dilaporkan kualitas hidup dan kesehatan mental yang telah meningkat masih lebih rendah jika dibandingkan dengan populasi pada umumnya.[17] Pelaksanaan kontrol medis dan psikologis pada tahapan-tahapan lanjut transisi diperlukan oleh orang yang bertransisi untuk mengatasi masalah-masalah yang masih dapat timbul setelah banyak proses transisi selesai dilakukan.[18]

Beberapa contoh proses, pengubahan sosial-legal, dan penanganan yang bisa dibutuhkan seseorang yang bertransisi adalah sebagai berikut.

Kata transisi sebelumnya digunakan untuk menyebut rangkaian prosedur medis yang dilalui oleh orang transseksual, di antaranya seperti operasi atau penyulihan hormon.[9] Pada awal penanganan disforia gender di dunia kedokteran pada pertengahan abad ke-20, pendekatan yang dilakukan berfokus pada pengubahan fisik serta peran gender.[8][15] Seiring berkembangnya penelitian terhadap kondisi tersebut, kalangan medis kini mengakui bahwa tidak semua orang yang mengalami disforia gender selalu membutuhkan setiap tahapan dari transisi fisik.[8][23]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ WPATH 2011, hlm. 97.
  2. ^ Winter, S.; Diamond, M.; Green, J.; Karasic, D.; Reed, T.; Whittle, S.; Wylie, K. (2016). "Transgender people: health at the margins of society". Lancet. 388: 390–400. doi:10.1016/S0140-6736(16)00683-8. 
  3. ^ a b American Psychiatric Association (2013). "Gender Dysphoria" (PDF). 
  4. ^ Auer, M. K.; Fuss, J.; Höhne, N.; Stalla, G. K.; Sievers, C. (2014). "Transgender Transitioning and Change of Self-Reported Sexual Orientation". PLOS ONE. 9 (10). doi:10.1371/journal.pone.0110016. 
  5. ^ Brown, M. L.; Rounsley, C. A. (1996). True Selves: Understanding Transsexualism – For Families, Friends, Coworkers, and Helping Professionals. San Francisco: Jossey-Bass. ISBN 0-7879-6702-5. 
  6. ^ Winter, S. (2012). Lost in Transition: Transgender People, Rights and HIV Vulnerability in the Asia-Pacific Region (PDF). United Nations Development Programme Asia-Pacific Regional Centre. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-12-23. Diakses tanggal 2017-07-29. 
  7. ^ a b c Dhejne, C. (2017). On Gender Dysphoria (Tesis Disertasi Ph. D.). Stockholm: Department of Clinical Neuroscience Karolinska Institutet. 
  8. ^ a b c WPATH 2011, hlm. 8.
  9. ^ a b Budge, S. L.; Katz-Wise, S. L.; Tebbe, E. N.; Howard, K. A. S.; Schneider, C. L.; Rodriguez, A. (2013). "Transgender Emotional and Coping Processes: Facilitative and Avoidant Coping Throughout Gender Transitioning". The Counseling Psychologist. 41 (4): 601–647. doi:10.1177/0011000011432753. 
  10. ^ a b Budge, S. L.; Adelson, J. L.; Howard, K. A. S. (2013). "Anxiety and Depression in Transgender Individuals: The Roles of Transition Status, Loss, Social Support, and Coping". Journal of Consulting and Clinical Psychology. 81 (3): 545–557. doi:10.1037/a0031774. 
  11. ^ Zucker, K. J. (1990). "Treatment of gender identity disorder in children". Dalam Blanchard, R.; Steiner, B. W. Clinical Management of Gender Identity Disorders in Children and Adults. Washington, DC: American Psychiatric Press. hlm. 27–45. 
  12. ^ Byne et al. 2012, hlm. 770.
  13. ^ WPATH 2011, hlm. 8-9.
  14. ^ Benestad, E. F. E. (2010). "From gender dysphoria to gender euphoria: An assisted journey". Sexologies. 19: 225–231. doi:10.1016/j.sexol.2010.09.003. 
  15. ^ a b Byne et al. 2012, hlm. 780.
  16. ^ Pfäfflin, F.; Junge, A. (1998). "Sex Reassignment. Thirty Years of International Follow-up Studies After Sex Reassignment Surgery: A Comprehensive Review, 1961-1991". Düsseldorf: Symposion. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-03. Diakses tanggal 2018-04-02. 
  17. ^ Byne et al. 2012, hlm. 782.
  18. ^ WPATH 2011, hlm. 65.
  19. ^ a b Lambda Legal. "Resources for Changing Your Documents". Diakses tanggal 2018-04-03. 
  20. ^ United States Office of Personnel Management. "Gender Identity Guidance". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-08. Diakses tanggal 2018-04-03. 
  21. ^ "Gender dysphoria - Treatment". NHS Choices. 2016-04-12. Diakses tanggal 2018-04-03. 
  22. ^ Byne et al. 2012, hlm. 779.
  23. ^ Bockting, W. O. (2008). "Psychotherapy and the real-life experience: From gender dichotomy to gender diversity". Sexologies. 17: 211–224. doi:10.1016/j.sexol.2008.08.001. 
Sumber tersitasi

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]