Raden Trenggana Sultan Ahmad Abdullah Arifin | |
---|---|
Sultan Demak ke-3 | |
Masa jabatan 1521–1546 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1483 |
Meninggal | 1546 Pertempuran Panarukan, Kerajaan Blambangan |
Agama | Islam |
Pasangan | Ratu Pembayun binti Sunan Kalijaga |
Anak | |
Orang tua |
|
Denominasi | Sunni |
Dikenal sebagai | Wali Songo |
Pemimpin Muslim | |
Pendahulu | Raden Fatah |
Penerus | Sunan Prawoto |
Sultan Trenggana alias Pate Rodim (lahir: 1483; wafat: 1546) adalah sultan Demak ketiga, yang memerintah tahun 1505-1513 dan 1521-1546. Di antara kedua masa takhta tersebut, Demak dipimpin Pati Unus dari Jepara, adik Trenggana. Trenggana menikah dengan putri dari bupati Palembang Arya Damar (ayah dari Kin San/Raden Kusen). Di bawah Trenggana, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur.[1][2][3]
Gelar "Sultan" yang diberinya dalam tradisi Jawa sebetulnya belum disandang pada masa itu.[4] Di Jawa, penguasa yang pertama memakai gelar "Sultan" adalah Pangeran Ratu dari Banten, tahun 1638.
Menurut sumber Banten atau Portugis atau sumber-sumber Non-Mataram ini, pendiri Demak bukan anak kandung raja Majapahit.
Catatan tentang para adipati pesisir Jawa, dari buku Suma Oriental, tulisan Tome Pires, yaitu orang Portugis yang mengunjungi Jawa tahun 1513.
Negeri Demak merupakan yang terbesar. Kotanya memiliki 8.000 – 10.000 rumah. Penguasa negeri ini bernama Pate Rodim yang merupakan pate tertinggi di Jawa. Para pate lainnya telah memilih dia sebagai pemimpin.
Ayah Pate Rodim adalah kesatria yang bijak dalam mengambil keputusan, sedangkan kakeknya berasal dari Gresik. Sebagian mengatakan kakek Pate Rodim adalah budak dari penguasa Demak sebelumnya, dan sebagian lagi mengatakan dia seorang pedagang.
Pate Rodim memiliki hubungan erat dengan para penguasa lainnya, karena semua putri dari ayahnya dan kakeknya menikah dengan pate-pate di Jawa. Pate Rodim bahkan telah menaklukkan Palembang, Jambi, Kepulauan Monomby, dan banyak pulau lainnya. Penaklukan ini diawali dengan penaklukan Tanjungpura terlebih dulu, sehingga yang lain pun tunduk kepadanya.
Ayah Pate Rodim dulu memiliki 40 jung, namun kini Pate Rodim hanya memiliki kurang dari 10 jung. Ia terlalu berserah kepada selir-selirnya sehingga negerinya pun jatuh ke dalam keadaan yang kurang menguntungkan. Bahkan, jung-jung yang tersisa itu pun telah terbakar di Malaka saat membantu Pate Unus menyerang negeri itu.
Pate Rodim memiliki banyak prajurit, paling tidak ada 30.000 di Jawa dan 10.000 di Palembang. Ia terus-menerus berperang melawan Guste Pate dan pate Tuban. Ia telah kehilangan banyak orang akibat perang, dilanda kemiskinan, sehingga harus memohon perlindungan dari Malaka. Jika tidak, ia akan benar-benar bangkrut karena tidak dapat menjalankan perdagangan apa pun selama tiga sampai empat tahun. Ia sudah sangat payah dan harus benar-benar menjadi bawahan Malaka demi kebaikannya sendiri. Rakyatnya banyak yang pergi meninggalkan dirinya, karena mereka tidak bisa mendapatkan barang-barang dagangan sesuai kebutuhan.
Dulu, Pate Rodim mengangkut hasil panen dengan jung ke Malaka, dan para pedagang Malaka juga datang ke Demak menggunakan jung. Sekarang ia tidak dapat lagi menjalankan perdagangan tersebut dan ini membuatnya bangkrut. Apalagi, ia dan Pate Unus konon menghabiskan lebih dari 100.000 cruzado untuk membiayai penyerangan ke Malaka. Tidak diragukan lagi, nasibnya kini sedang berada di ujung tanduk dan berita ini dibenarkan oleh orang-orang yang tinggal di Demak.[5]
Raden Trenggono merupakan putra dari Raden Fatah yang merupakan Sultan Pertama Kerajaan Demak.
Raden Trenggono memiliki beberapa orang anak, diantaranya ialah Sunan Prawoto yang nantinya akan meneruskan kerajaan Demak.
Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 terjadi perebutan takhta antara Putra Mahkota P. Surowiyoto (R. Kikin) dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana yaitu Raden Mukmin alias Muk Ming (nama kecil Sunan Prawoto) mengirim utusan bernama Surayata untuk membunuh Pangeran Surowiyoto/ Raden Kikin di tepi sungai sekitar Lasem. Sejak itu Pangeran Surowiyoto alias Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya, "bunga yang gugur di sungai").
Trenggana pun naik takhta.
Pada tahun 1524 datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Trenggana menyukainya dan menjadikan nya Panglima Kerajaan Demak.
Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab sebagaimana yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Trenggana kemudian juga bergelar Sultan Ahmad Abdullah Arifin.
Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 dikirim menyerang Portugisa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis. Ia berhasil membebaskan wilayah Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.
Upacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 dikejutkan dengan berita kematian Sunan Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Udara. Sang Patih juga menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak.
Akhirnya pada tahun 1527 pasukan Demak berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya pada masa lalu itu akhirnya musnah sama sekali. Terjadi arus pelarian besar-besaran dari kerabat kerajaan Majapahit, hal ini disebabkan mereka takut akan dihukum karena dukungan mereka pada Girindrawardhana saat ia mengudeta Bhre Kertabhumi pada tahun 1478. Tampaknya ibu kota Daha juga mengalami nasib yang sama dengan Trowulan, hal ini merupakan pembalasan keturunan Bhre Kertabhumi yang menjadi penguasa Demak atas tindakan Girindrawardhana pada saat ia merebut takhta Majapahit.
Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut catatan Portugis bernama Pate Vira, seorang muslim tetapi setia kepada Majapahit. Berita ini menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan kekuasaan, bukan karena sentimen antara agama Islam dan Hindu.
Pada tahun 1528 Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang atau Gelanggelang (nama sekarang: Madiun) tahun 1529, Medangkungan (Blora) tahun 1530, Hujung-Galuh (Surabaya) tahun 1531, Pasuruan tahun 1535. Hampir sebagian besar penyerangan terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh Trenggana sendiri.
Antara tahun 1541-1542 Demak menaklukkan Lamongan, Blitar, dan Wirasaba (Mojoagung, Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian Majapahit direbut tahun 1543. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah menyerang Giri Kedaton, dikalahkan tahun 1545.
Pada tahun 1526 Raja Demak yang diduga adalah Trenggana alias Tung Ka lo[6] telah megirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin I, sedangkan Pangeran Tumenggung diizinkan menetap di pedalaman yaitu daerah Alay dengan seribu penduduk.
Hikayat Banjar:
Maka Pangeran Samudera itu, sudah tetap kerajaannya di Banjarmasih itu, maka masuk Islam. Diislamkan oleh Penghulu Demak itu. Maka waktu itu ada orang negeri Arab datang, maka dinamainya Pangeran Samudera itu Sultan Suryanullah. Banyak tiada tersebut. Maka Penghulu Demak dengan Menteri Demak itu disuruh Sultan Suryanullah kembali. Maka orang Demak yang mati berperang ada dua puluh itu, disilih laki-laki dan perempuan yang dapat [dari] menangkap, tertangkap tatkala berperang itu, orang empat puluh. Maka Penghulu Demak dan Menteri Demak serta segala kaumnya sama dipersalin. Yang terlebih dipersalinnya itu penghulunya, karena itu yang mengislamkan. Serta persembah Sultan Suryanullah emas seribu tahil, intan dua puluh biji, lilin dua puluh pikul, pekat seribu galung, damar seribu kindai, tetudung seribu buah, tikar seribu kodi, kajang seribu bidang. Sudah itu maka orang Demak itu kembali. Itulah maka sampai sekarang ini di Demak dan Tadunan itu ada asalnya anak-beranak cucu-bercucu itu asal orang Nagara itu; tiada lagi tersebut.[7]
Berita kematian Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto.
Pada tahun 1546 Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten.
Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tetapi belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggana. Trenggana marah dan memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggana memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Pati Unus |
Raja Demak 1505—1518 1521-1546 |
Diteruskan oleh: Sunan Prawoto |