Tuisto adalah leluhur legendaris dari orang-orang Jermanik yang disebutkan dalam Germania (tahun 98 M) karya Tacitus.[1] Tokoh ini tetap menjadi bahan diskusi para sarjana, terutama berfokus pada hubungan etimologis dan perbandingan dengan mitologi Jermanik (sebagian Nordik) di masa berikutnya.[2][3]
Korpus naskah kuno Germania berisi dua varian primer dalam pembacaan nama tersebut. Yang paling sering disebutkan yaitu Tuisto, yang sering dihubungkan dengan akar kata dalam bahasa Proto-Jermanik *twai – “dua” dan kata turunannya *twis – “dua kali” atau “ganda”, yang memberikan pengertian dasar “ganda”. Segala asumsi mengenai kesimpulan gender seluruhnya masih bersifat dugaan, karena akar kata tvia/tvis juga merupakan akar dari sejumlah konsep atau kata lain dalam bahasa Jerman. Sebagai contoh, kata “twist” dalam bahasa Jermanik, kecuali bahasa Inggris, memiliki arti utama “sengketa” atau “konflik”.[4]
Varian nama kedua, menurut naskah asli E, terbaca sebagai Tuisco. Ada yang mengajukan etimologi terhadap varian ini sebagai rekonstruksi dari bahasa Proto-Jermanik *tiwisko dan menghubungkannya dengan bahasa Proto-Jermanik *Tiwaz, yang memberikan arti “anak dari Tiu”. Penafsiran ini akan memberikan arti bahwa Tuisco merupakan ‘anak dari dewa langit’ (bahasa Proto-Indo-Eropa *Dyeus) dan dewi bumi.[5]
Hubungan yang telah diajukan antara tokoh Tuisto di abad pertama dan sosok hermafrodit Ymir pada mitologi Nordik belakangan, terdapat dalam sumber dari abad ke-13, berdasarkan kemiripan fungsi dan etimologi.[6] Meyer (1907) melihat hubungan yang sangat kuat, sehingga ia mempertimbangkan bahwa keduanya adalah identik.[7] Lindow (2001), sementara itu berpendapat bahwa kemungkinan ada hubungan yang kuat secara semantis antara Tuisto dan Ymir, yang mencatat sebuah perbedaan fungsi dasar, sementara Ymir digambarkan sebagai sebaga “tokoh negatif... esensial” – Tuisto dideskripsikan secara “terkenal” (celebrant) oleh orang-orang Jermanik kuno dalam lagi, dengan Tacitus yang tidak menyampaikan sesuatu hal yang negatif tentang Tuisto.[1]
Jacob (2005) mencoba untuk menyusun sebuah hubungan genealogis antara Tuisto dengan Ymir berdasarkan etimologi dan perbandingan dengan mitologi pascavedik India: bahwa Tvastr, melalui anak perempuannya Saranyu dan suaminya Vivaswa, disebutkan memiliki kakek kembaru yaitu Yama dan Yami, sehingga Jacob berargumen bahwa Tuisto dalam mitologi Jermanik (dengan asumsi yang dihubungkan dengan Tvastr) semestinya pada mulanya adalah kakek dari Ymir (dihubungkan dengan Yama). Secara identik, mitologi India menempatkan Manu (dihubungkan dengan Mannus dalam mitologi Jermanik), yaitu nenek moyang umat umat manusa berdasarkan mitologi Vedik (Weda), merupakan putra dari Vivaswan, sehingga menjadikannya saudara dari Yama/Ymir.[8][2]
Tacitus menghubungan bahwa “lagu kuno” (Latin carminibus antiquis) dari orang-orang Jermanik mengenal Tuisto sebagai “dewa, kelahiran bumi” (deum trra editum). Lagu ini lebih jauh menyebutnya memiliki seorang putra, Mannus, yang kemudian memiliki tiga orang putra lagi, keturunannya yaitu Ingaevones, Herminones dan Istaevones, masing-masing tinggal di dekat Samudra (proximi Oceano), di dalam (medii), dan di bagian sisa (ceteri) dari wilayah geografis Germania.[9]
Laporan dari Tacitus sangat tepat membahas tradisi etnografi dari dunia klasik, yang sering kali menggabungkan antropogini, etnogoni, dan teogoni bersama-sama menjadi satu kesatuan sintesis.[10] Penerus dari ayah-anak-tiga anak secara paralel terjadi secara bersamaan dalam wilayah Jermanik dan Indo-Eropa non-Jermanik.[11] Karakteristik esensial dari mitos ini telah menjadi teori sebagai kisah yang berasal dari masyarakat Proto-Indo-Eropa sekitar 2.000 tahun SM.[12]
Menurut Rives (1999), kenyataan bahwa masyarakat Jermanik kuno mengklaim mereka adalah keturunan dari dewa kelahiran bumi digunakan oleh Tacitus untuk mendukung pendapatnya bahwa mereka merupakan populasi asli: kata Latin indigena sering kali digunakan dalam suasana yang sama dengan bahasa Yunani autochtonos, yang berarti ‘(lahir dari) tanah itu sendiri”.[13] Lindauer (1975) mencatata bahwa, meskipun klaim ini harus dinilai sebagai satu-satunya yang dibuat karena ketidaktahuan atas fakta-fakta dari pihak Tacitus, dia tidak sepenuhnya salah, karena dia membuat penilaian berdasarkan perbandingan dengan wilayah Mediterania yang relatif bergejolak pada zamannya.[14]
Pada tahun 1498, seorang pendeta bernama Annio da Viterbo menerbitkan sebuah fragmen yang dikenal sebagai “Pseudo-Berossus”, sekarang dipertimbangkan sebagai karya paslu yang mengklaim bahwa catatan Babilonia telah menunjukkan Tuiscon atau Tuisto, adalah anak keepan dari Nuh, telah menjadi penguasa pertama dari Scythia dan Jerman setelah penyebaran orang-orang, ia kemudian digantikan oleh putranya, Mannus sebagai raja kedua. Para sejarawan berikutnya (seperti Johannes Aventiun) berhasil memberikan banyak penjelasan yang lebih rinci, termasuk penyatakaan James Anderson bahwa Tuiscon ini sebenarnya tidak lain adalah Ashkenaz, putra Gomer yang disebutkan dalam Alkitab.[15]