Ular kepala dua
| |
---|---|
Cylindrophis ruffus | |
Status konservasi | |
Risiko rendah | |
IUCN | 192080 |
Taksonomi | |
Galat Lua: callParserFunction: function "Template" was not found. | |
Spesies | Cylindrophis ruffus Laurenti, 1768 |
Tata nama | |
Sinonim takson |
|
Ular kepala dua atau ular pipa ekor merah (Cylindrophis ruffus) adalah sejenis ular primitif penggali liang yang menghuni tanah subur dan lembap di kawasan tropis Asia Tenggara. Ular ini disebut "ular kepala-dua" karena bentuk ekornya yang tumpul dan lebar, nyaris mirip dengan bentuk kepala aslinya. Perbedaannya, pada bagian bawah ekornya berwarna merah cerah, sedangkan bagian bawah kepalanya berwarna keputihan.[4]
Ular ini juga disebut dengan nama-nama lokal, di antaranya: oray totog atau oray teropong (Sunda), majara (Toraja), ular gelenggang, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut Red-tailed Pipe Snake, Common Pipe Snake atau Two-headed Snake, sementara nama ilmiahnya adalah Cylindrophis ruffus (Laurenti, 1768). Nama marganya sendiri, Cylindrophis berasal dari dua kata, yaitu kylinder = "batang penggiling" atau "pipa tabung", dan ophis = "ular", sementara nama spesifiknya, ruffus, yang artinya "kemerah-merahan", merujuk pada pola belang-belang berwarna merah cerah atau oranye yang terdapapat di kedua sisi badannya, dari leher hingga ekor.[4][5]
Panjang tubuh ular kepala-dua dewasa dapat mencapai 1 meter, namun spesimen yang sering ditemukan panjangnya tidak lebih dari 70 cm. Penampang tubuhnya berbentuk silindris, dengan ekor yang pendek dan berbentuk tumpul, sangat mirip dengan bentuk kepalanya dan nyaris tidak bisa dibedakan. Kepala dan leher tidak dapat dibedakan. Matanya berukuran kecil.[6]
Tubuh bagian atas berwarna dasar hitam dengan belang-belang berwarna merah cerah atau jingga/oranye di kedua sisi badannya, dari leher hingga ekor. Kepala berwarna hitam. Warna-warna cerah ini sering memudar atau menghilang setiap bertambahnya umur dan ukuran tubuhnya, sehingga ular yang sudah berkembang memiliki warna dominan kehitaman. Sisi bawah tubuh (ventral) berwarna hitam dengan belang-belang putih yang berselang-seling agak beraruran, terkadang pola belang hitam-putih itu menyerupai kotak-kotak hitam-putih pada papan catur. Bagian bawah ekor berwarna merah cerah, membuatnya sering disangka sebagai ular cabai (Maticora intestinalis) yang berbisa.
Ular kepala-dua tergolong ke dalam kelompok jenis-jenis Cylindrophis dengan sisik-sisik dorsal di tengah badan berjumlah 19 deret, sedangkan kelompok-kelompok yang lainnya memiliki 17, 21 atau 23 deret sisik dorsal di tengah badan. Dalam kelompok yang memiliki 19 deret sisik dorsal itu, ular ini dibedakan dari kerabat-kerabat dekatnya dengan ciri-ciri berikut:[4]
Ular kepala-dua terdapat di dataran rendah, meskipun Tweedie (1983) menyebutkan ular ini pernah ditemukan pada ketinggian 1.700 meter dpl. Habitat utamanya adalah hutan hujan yang lembap, pinggiran kebun, dan sekitaran sumber air.[7][8]
Ular ini beraktivitas di tanah gembur dan berlumpur, dan sering menyusup ke dalam tanah dengan menggali menggunakan moncongnya. Ular ini juga sering ditemukan di bawah kayu-kayu lapuk, di balik tumpukan serasah yang membusuk, atau di bawah batu berlumut. Ular ini aktif pada malam hari (nokturnal). Makanan utamanya adalah larva serangga, kadal, bayi tikus, cacing tanah, dan belut kecil. Ular ini tidak berbisa dan tidak berbahaya. Bila merasa terusik, ular ini segera menggulungkan badannya dan menyembunyikan kepalanya di tengah, lalu mengangkat dan menggerak-gerakkan ekornya yang mirip kepala. Ular ini berkembang biak dengan melahirkan (ovovivipar), jumlah anak yang dilahirkan mencapai 13 ekor.[5][8]
Jenis Cylindrophis ruffus semula dianggap menyebar luas mulai dari Tiongkok dan Hainan di utara, Hong Kong, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Sula, Kepulauan Sangihe, Buton, Boano dan Bacan di Maluku. Akan tetapi kajian baru-baru ini mendapati bahwa populasi-populasi tersebut terdiri dari beberapa spesies yang berlainan.[4] Studi yang mendasarkan diri pada analisis morfologi dan morfometri itu kemudian menyimpulkan beberapa hal berikut:[4]