Ullath Beilohy Amalatu | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Maluku |
Kabupaten | Maluku Tengah |
Kecamatan | Saparua Timur |
Kodepos | 97592[1] |
Luas | 6,80 km2[2] |
Jumlah penduduk | 1.591 jiwa[3] |
Kepadatan | 234 jiwa/km2[4] |
Ullath, kadang dieja sebagai Oelat,[5] Ulat, atau Ulath,[6] adalah salah satu dari 10 negeri yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan Saparua Timur, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia.[7] Sebelumnya, negeri ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Saparua, hingga pada tahun 2015 Saparua Timur dimekarkan menjadi kecamatan sendiri berdasarkan Perda Maluku Tengah Nomor 11 Tahun 2015.[8] Berdasarkan data BPS, Ullath merupakan negeri pesisir dan secara pembangunan tergolong sebagai negeri swakarya.[9]
Sebagai sebuah negeri, Ullath dipimpin oleh seorang raja yang menempati kedudukan bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, melainkan pula sebagai kepala adat. Jabatan raja di Ullath dipangku oleh fam atau matarumah Nikijuluw selaku matarumah parentah.[10][11] Raja Ullath saat ini adalah Hans Maurits Nikijuluw.
Nama negeri yang sekarang mulai dipakai tatkala penduduk memilih turun gunung. Gubernur Arnold de Vlamingh van Oudshoorn yang menjabat selama periode 1650-1660 memerintahkan penduduk di Ambon dan Lease untuk bermukim di pantai. Walaupun awalnya terjadi penolakan, perpindahan penduduk dari enam negeri lama (Italili, Amahatu, Soupake, Putimahu, Nokau, dan Yalesi) ke pantai tetap terjadi. Mereka bermukim di negeri yang baru yang terletak di antara Negeri Sirisori dan Ouw yang kala itu sering berperang.[12] Negeri yang baru tersebut dinamai Ullath.
Berdasarkan cerita turun-temurun, nama Ullath didapat dari kata urat yang berarti jamur api.[13] Jamur api adalah sebutan bagi jamur yang dapat memancarkan cahaya saat hari gelap. Tercatat 71 dari 100.000 spesies jamur di seluruh dunia mampu menghasilkan cahaya.[14] Jamur api tumbuh liar secara berkelompok. Manusia biasa menggunakan jamur tersebut sebagai penerangan jika tidak memiliki penerangan lain. Cahayanya cukup untuk melihat sesuatu pada jarak pendek. Menurut tradisi, Ullath yang berada di pantai dibangun dalam kegelapan dalam tempo satu malam saja. Penduduk yang turun ke pantai menggunakan jamur api sebagai penerangan saat membangun negeri. Secara ajaib negeri yang baru sudah ada pada pagi hari dan pada siang hari, negeri sudah memiliki baileu dan rumah-rumah.[15][16]
Satu kisah lagi bercerita bahwa Ullath dinamai demikian sebagai bentuk penghormatan terhadap Abdullah Nekaulu, moyang fam Nikijuluw sekaligus sebagai salah satu orang besar di Ullath. Abdullah disebut berasal dari tempat bernama Ullatho di Pulau Seram sebelah selatan.[15] Ada pun lokasi berdirinya negeri yang baru di tepi pantai diberi nama Nual. Nama yang terinspirasi dari suku Nuaulu, suku asal Abdullah Nekaulu. Ullatho sendiri diyakini berada di sekitaran Sungai Nua.[15]
Negeri Ullath yang berada di pantai diberi teun (gelar atau nama adat) Beilohy Amalatu. Kata beilohy berarti miring, sedangkan amalatu terdiri dari dua kata yakni ama yang berarti bapak atau negeri dan latu yang berarti raja.[15] Gelar adat Beilohy Amalatu dapat diterjemahkan sebagai sebuah negeri di tanah yang miring dan dipimpin oleh seorang bapak yang bergelar tuan latu (raja). Ullath juga dikenal dengan nama Ama Leka-lekano yang berarti negeri yang bergoyang-goyang atau berpindah-pindah tempat.
Sejarah menunjukkan bahwa penduduk Ullath berasal dari daerah yang berbeda-beda. Mereka datang dalam kurun waktu dan gelombang migrasi yang berlainan. Secara umum orang Ullath diakui berasal dari Pulau Seram, yang dikarenakan berbagai faktor, akhirnya mengadakan migrasi secara konstan ke pulau-pulau kecil di sebelah selatan. Migrasi mencari kediaman baru tersebut tercermin dari ungkapan maatita tomanusa yang berarti "mari kita mencari pulau". Ungkapan maatita dan tomanusa selanjutnya disematkan masing-masing kepada kelompok fam yang leluhurnya pertama kali datang ke negeri-negeri lama Ullath dan kelompok matarumah yang leluhurnya menyusul kemudian dan ikut mendiami negeri lama. Meskipun tomanusa termasuk pendatang, tetapi matarumah-matarumah ini terdapat di tiang baileu dan diakui pula sebagai ana negeri, bukan orang dagang.
Kisah bahwa nenek moyang sebagian orang Ullath berasal dari Seram termaktub dalam cerita lisan mengenai sejarah terjadinya hubungan gandong antara Ullath dengan Negeri Buano dan Oma.[17] Menurut salah satu tuturan lisan, terdapat tiga orang beradik kakak yang berasal dari negeri legenda, Nunusaku. Mereka adalah Latukurandjina, Latuputty, dan Latuaren.[17] Ketiganya keluar dari Pulau Seram dan mendiami Pulau Buano untuk sementara waktu. Namun, dikarenakan kesulitan ekonomi, ketiganya tidak lagi dapat tinggal bersama. Oleh karena itu, mereka mengundi siapakah di antara mereka yang berhak tinggal dan menetap di Buano. Hasil undian (putar onde) memunculkan Latukurandjina, si sulung, sebagai pemenang yang berhak menempati Tanah Buano. Sebelum kedua adiknya berangkat meninggalkan pulau, mereka menanam serumpun pohon bambu serta sebuah pohon beringin atau banyan sebagai tanda persatuan.[17]
Latuputty dan Latuaren dalam perjalanannya mencari negeri yang baru terpisah di tengah laut. Latuaren, si bungsu, akhirnya sampai ke wilayah yang di kemudian hari menjadi Ullath, di sebelah tenggara Pulau Saparua.[17] Sementara Latuputty berlabuh di sebelah selatan Pulau Haruku dan bergabung bersama penduduk lain yang sudah ada di situ. Tempat ia berlabuh di kemudian hari berkembang menjadi Negeri Oma sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Didera rasa rindu, Latuaren mencoba mencari Latuputty dengan berlayar ke Pulau Haruku. Setibanya di pantai Oma, ia disuguhi pisang dengan parang tertancap di atasnya oleh tuan rumah. Pisang dengan parang tertancap dianggap sebagai undangan untuk duel atau bertarung. Latuaren meladeni permintaan tuan rumah, dan keduanya bertarung hingga tidak ada yang menang atau pun kalah. Mereka menghentikan pertarungan dan saling menanyakan identitas masing-masing, hingga akhirnya Latuaren menyadari bahwa yang ia lawan adalah kakaknya sendiri. Sekian tahun tidak bertemu membuat mereka seperti tidak lagi saling kenal mengenal.[17]
Latuaren memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Ullath, melainkan beberapa bulan tinggal di Oma.[17] Ketika Latuaren pulang ke Ullath, ia mengundang Latuputty agar suatu waktu menyempatkan bertandang ke Ullath. Latuputty pun berangkat dan berlabuh di muara sungai kecil di pantai Ullath.[17] Ia menantikan saudaranya di sana, tidak jauh dari tempat ibu-ibu Ullath mencuci pakaian. Keberadaan Latuputty sebagai orang asing memicu kemarahan penduduk Ullath yang tidak senang bahwa ada orang yang mengintip perempuan mereka. Sebelum orang asing itu sempat dibunuh, Latuaren, si adik, muncul pada waktu yang tepat, dan menjelaskan kepada segenap penduduk Ullath bahwa orang asing itu adalah saudaranya. Entah bagaimana ceritanya, sejak Latuaren memperkenalkan saudaranya itu, segenap penduduk Ullath sepakat mengangkat hubungan gandong dengan Latuputty yang dianggap mewakili segenap penduduk Oma. Baik penduduk Ullath maupun Oma, nantinya juga mengangkat hubungan gandong dengan Buano melalui garis kekerabatan Latuaren dan Latuputty dengan Latukurandjina.[17]
Di samping kisah tiga saudara yang berasal dari Nunusaku, terdapat versi lain di Negeri Ullath yang menceritakan bahwa ada tiga moyang beradik kakak yang nanti membuat negeri itu berhubungan gandong dengan Buano dan Oma. Menurut versi yang satu ini, perjalanan ketiga moyang tidak dilakukan dari Nunusaku, melainkan dari Melaka.[18] Ada beberapa buah lagu kontemporer yang dibuat guna mengenang perjalanan dari Melaka ini. Salah satunya menunjukkan bahwa matarumah atau fam Nurlette di Buano, Pattinama di Oma, dan Siwabessy di Ullath sebagai keturunan dari tiga moyang beradik kakak. Namun, ada sumber yang menunjukkan bahwa fam Nurlette nenek moyangnya bukan berasal dari Melaka, melainkan dari Ternate.[19] Ada pun Pattinama disebutkan nenek moyangnya memang berasal dari Melaka.[19] Sementara, tidak ada sumber yang menunjukkan asal-usul moyang Siwabessy atau menyebutkan bahwa Siwabessy juga berasal dari Melaka.
Cerita lain yang berkenaan dengan sejarah Negeri Ullath mengisahkan perjalanan tiga adik kakak dari Pulau Seram. Ketiganya konon bernama Kasim (Hasim), Tasim (Kasim), dan Abdullah Nekaulu.[10] Ketiganya sampai di Saparua menggunakan arumbai. Ada pula yang menyebutnya rakit atau gosepa. Kasim turun di Putiori yang sekarang merupakan wilayah petuanan Itawaka. Ia di kemudian hari menurunkan penduduk Iha yang berfam Amahoru.[10][a] Tasim pergi ke Huhule, salah satu dari sembilan negeri lama Tuhaha. Ia menurunkan fam Aipassa yang merupakan raja Tuhaha sewaktu belum turun ke pantai. Sang adik bungsu, Abdullah Nekaulu sampai di Ullath dan menurunkan fam Nikijuluw yang memerintah sebagai raja Ullath hingga hari ini. Abdullah juga dianggap sebagai leluhur yang menurunkan fam Nengkeula di Kulur.[10]
Iha, Tuhaha, dan Ullath adalah tiga negeri adik kakak atau gandong layaknya Ullath dengan Buano dan Oma. Akan tetapi perjalanan sejarah menyebabkan rasa persaudaraan antara orang Ullath dengan Iha dan Tuhaha memudar. Hal itu berkaitan dengan Perang Iha antara Kerajaan Iha dengan VOC. Dalam perang itu, Ullath dan Tuhaha yang telah memeluk agama Kristen memihak Belanda memerangi Kerajaan Iha, saudara mereka yang beragama Islam. Dalam rangka memerangi Iha, sebagian orang Ullath pergi untuk selama-lamanya. Rombongan ini membawa perintah untuk pergi dan menjaga (mengepung). Dalam bahasa Tana disebut sebagai Titawaka. Dari istilah inilah Negeri Itawaka yang didirikan oleh orang-orang Ullath mengambil namanya. Meskipun telah terjadi perselisihan di antara adik kakak, ketiganya tetap saling mengakui bahwa mereka bersaudara. Bahkan di perbatasan antarnegeri tersebut terdapat sebuah rakit atau arumbai yang sengaja diletakkan sebagai lambang persaudaraan dan perjalanan nenek moyang dari tempat yang jauh ke Saparua.[20]
Ullath disebut memiliki aliansi dan hubungan yang baik dengan Portugis. Bahkan sejak tahun 1546 negeri ini telah dikristenkan dan dibina menjadi jemaat Katolik oleh Fransiskus Xaverius. Apabila memang benar demikian, Ullath tak hanya menjadi negeri pertama yang menerima Injil di Saparua, melainkan pula yang pertama diinjilkan di Lease. Sumber yang lain memberikan tahun 1564.[21]
Pada tahun 1572 negeri di tenggara Saparua ini diserang oleh Kerajaan Ternate yang dikomandoi oleh Rubobongi. Ullath bertahan dan memberikan perlawanan dengan sengit. Negeri yang awalnya berada dalam mode bertahan tersebut makin bersemangat dan meluap-meluap keinginan berperangnya tatkala dibantu oleh Portugis yang menjadi sekutu mereka. Ullath mengadakan serangan balasan dan berhasil mengalahkan pasukan Ternate. Beberapa tentara Ternate dipenggal kepalanya untuk dijadikan bukti yang menguatkan aliansi antara Ullath dan Portugis.[22]
Portugis dan Ullath menyerang Ihamahu, salah satu musuh bebuyutan Ullath yang terletak di Hatawano.[23] Meskipun Ihamahu adalah keturunan dari Kerajaan Iha yang merupakan saudara dari Negeri Ullath dan sama-sama beragama Kristen, hal itu tidak menyurutkan ketegangan di antara mereka. Penyerangan terhadap Ihamahu dilakukan dua kali. Semuanya tidak berhasil. Bahkan dalam usaha penyerangan kedua, Ullath dan Portugis dipukul mundur. Ihamahu mendapat dukungan dari Booi dan Sirisori Amalatu. Koalisi ketiga negeri kemudian berhasil mengepung Ullath dan memaksa terjadi kapitulasi, yang berujung pada mundurnya Portugis dari Saparua ke Ambon.[24]
Jazirah tenggara Pulau Saparua, khususnya Ouw dan Ullath, adalah salah satu front tempur terpenting dalam Perang Pattimura.[25] Martha Christina Tiahahu bersama penduduk setempat memberikan perlawanan sengit terhadap pasukan Belanda. Namun, kekuatan yang tidak seimbang menyebabkan pasukan Belanda mengambil alih jalannya perang. Akibatnya Ouw dan Ullath diporak-porandakan oleh Belanda pada 12 Oktober 1817.[25]
Beberapa nama penduduk Ullath yang tercatat sebagai penjahat dan pemberontak oleh Belanda dalam Perang Pattimura, antara lain sebagai berikut:[26]
Dalam kerusuhan Maluku 1999-2000, Ullath bersama Sirisori Amalatu dan Ouw yang beragama Kristen terlibat bentrokan bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) dengan Sirisori Islam. Salah satu bentrokan yang cukup besar terjadi pada 24 Oktober 2000 pada pukul 03.00 WIT. Penduduk negeri yang saling berperang menggunakan bom rakitan, senjata rakitan, granat, dan mortir.[27]
Bentrokan antara Ullath, Ouw, dan Sirisori Amalatu di satu sisi melawan Sirisori Islam di sisi yang lain telah terjadi sejak tahun 1999. Salah satu penyebab pertikaian antarnegeri tersebut adalah isu perusakan dan penebangan pohon cengkih. Baik penduduk Ullath maupun Sirisori Islam sama-sama mengaku bahwa kebun cengkih mereka dirusak.
Pada 2 Maret 2014 negeri ini memulai proyek pengerjaan gereja darurat sebagai tempat ibadah alternatif. Hal ini berkaitan dengan agenda reniovasi GPM Ullath yang diselenggarakan mulai 3 Maret 2014. Pada 9 Mei, penduduk keturunan Ullath di perantauan pulang kampung untuk mengadakan upacara Tutup Baileu.[28]
Tim penari cakalele dari Ullath juga akan memimpin iring-iringan yang pembawa obor peringatan hari Pattimura tahun 2014. Posisi ini biasanya dipegang oleh tim cakalele dari Tuhaha.[28]
Masyarakat Ullath pada awalnya tidak mendiami daerah pesisir melainkan membangun permukiman-permukiman di pegunungan. Permukiman tersebut yang dikenal dengan sebutan amano, uku, atau hena yang sering diterjemahkan sebagai negeri lama.
Ullath memiliki enam negeri lama, yakni sebagai berikut.
Italili adalah satu dari negeri lama Ullath dan berperan sebagai negeri induk atau negeri utama. Nama Italili menurut adat orang Ullath bermakna guntur kilat karena pada masa awal pendiriannya dilakukan saat terjadi guntur dan kilat. Italili berbatasan dengan tanah petuanan dari Tuhaha dan Itawaka. Pada masa lalu juga berbatasan dengan petuanan Kerajaan Iha yang runtuh dan tanahnya dibagi-bagi pasca kekalahan dalam Perang Iha. Fam yang mendiami Italili adalah Pattipeilohy atau raja Beilohy (Ullath) yang berkedudukan sebagai raja di gunung.
Amahatu secara bahasa bermakna negeri yang didirikan di tempat berbatu. Fam yang mendiami Amahatu adalah Sapulette. Fam ini sampai sekarang memiliki tanah dati atau dusun yang luas dibanding fam-fam lain. Selain itu, Abdullah Nekaulu yang merupakan moyang fam Nikijuluw bergabung dengan fam Sapulette dan tinggal di Amahatu. Amahatu adalah negeri lama yang paling tua dan paling luas wilayahnya. Posisi Amahatu berada di ketinggian dan dikelilingi oleh jurang-jurang sehingga menyulitkan serangan dari pihak musuh.
Soupake adalah salah satu negeri lama Ullath dan dianggap yang sebagai yang paling keramat. Nama Soupake bermakna tempat berpakaian. Tempat berpakaian ini kemudian diartikan sebagai negeri yang didiami oleh orang-orang besar dengan jubah atau pakaian kebesaran seperti kapitan dan malesi-nya serta mauweng. Soupake tidak terlalu luas. Negeri ini didiami oleh fam Pattimanuwae (Patty)
Yalesi adalah salah satu negeri lama Ullath dan wilayahnya sangat kecil. Diduga sebagai negeri lama yang paling muda dan paling akhir dibangun. Yalesi secara bahasa berarti sisa.
Nama Nokau berasal dari kata no yang berarti enam dan kaul yang berarti ipar. Nokau diduga didirikan oleh orang-orang yang masih berkeluarga dan beripar satu sama lain.
Putimahu adalah salah satu negeri lama Ullath. Tanahnya berupa kapur dan bekas karang sehingga tampak memutih. Putimahu disebut kurang subur dibanding negeri-negeri lama yang lain.
Negeri Ullath dialiri beberapa sungai kecil. Salah satunya adalah Air Hoktoini yang dimanfaatkan untuk MCK.
Ullath adalah negeri pesisir.[31] Wilayah permukiman negeri menghadap langsung ke Teluk Saparua.[32] Pesisir Negeri Ullath kaya dengan bia lola, sejenis kerang yang menjadi sumber protein hewani andalan di Saparua. Negeri ini terletak pada ketinggian yang bervariasi antara 0-400 meter di atas permukaan laut.
Negeri Ullath memiliki sistem pemerintahan sendiri sebagaimana halnya negeri-negeri adat lain di wilayah Maluku. Sistem pemerintahan di Ullath adalah dualisme antara pemerintahan sipil Republik Indonesia dan pemerintahan adat. Keduanya terkoneksi pada sosok raja yang berperan sebagai kepala negeri dan setingkat dengan kepala desa. Berikut ini adalah susunan pemerintahan di negeri Ullath:
Fam atau marga pemangku jabatan raja atau kepala negeri (semacam kepala desa) di negeri Ullath adalah Latu Nekaulu yang dikenal sebagai fam Nikijuluw. Fam Nikijuluw mengambil alih jabatan raja atau kepala negeri dari tangan fam Pattipeilohy pada tahun 1670 dikarenakan sebuah masalah yaitu perjanjian damai Ullath dengan VOC.
Fam Nikijuluw berkuasa sejak orang Ullath turun ke Nual atau negeri baru di pantai dan meninggalkan negeri lama di gunung. Fam ini dijuluki sebagai raja pantai. Raja Ullath saat ini adalah Raja Abraham Willem Nikijuluw. Sebelum pemangku jabatan raja diserahkan pada fam Nikijuluw(Latu Nekaulu), pemangku jabatan raja adalah fam Pattipeilohy. Fam Pattipeilohy adalah raja di gunung karena memerintah negeri-negeri lama yang berada di pegunungan. Pattipeilohy menolak perintah Belanda untuk membangun negeri di pesisir pantai. Untuk mencegah perpecahan, Pattipeilohy membiarkan masyarakat Ullath turun ke pantai dan menyerahkan jabatan raja kepada Nikijuluw, fam yang merupakan keturunan langsung dari Abdullah Nekaulu, salah satu orang yang masyhur namanya di Ullath.
Nama Pattipeilohy sendiri berarti raja Beilohy atau raja Ullath. Patti berarti Patih atau raja, Beilohy berarti Ullath. Bila raja pantai merupakan julukan fam Nikijuluw, maka julukan fam Pattipeilohy adalah kebalikannya yaitu raja gunung.
Di Ullath terdapat jabatan adat yang bernama Marinyo. Asal kata marinyo adalah mourinho yang diserap dari Bahasa Portugis. Marinyo berkedudukan sebagai juru bicara raja. Sebagai juru bicara, marinyo menyampaikan pesan dan titah raja kepada rakyatnya dan pun menyambungkan lidah raja kepada raja negeri lain. Tugas maeinyo antara lain mengumpulkan warga atau anak negeri ketika akan diadakan acara adat dan atau keadaan darurat. Marinyo mengumpulkan anak negeri dengan membunyikan kentongan besar di baileu dan meniup tahuri alias kulit kerang yang mirip terompet. Istilah bagi panggilan berkumpul disebut sebagai tabaos. Pemangku jabatan marinyo di Ullath adalah fam Telehala.
Kewang bertugas sebagai polisi adat yang secara khusus bertugas untuk melakukan perlindungan dan konservasi terhadap sumber daya alam di suatu negeri, baik di petuanan darat maupun di petuanan laut, melalui tradisi yang disebut sasi. Jabatan kepala kewang di Ullath dipegang oleh fam Pattipeilohy.[33]
Seperti negeri-negeri lain di Maluku pada umumnya dan negeri-negeri lain di Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut dan Seram khususnya, Ullath mempunyai badan legislatif semacam parlemennya tersendiri yang mengurusi perkara pemerintahan sekaligus adat dalam negeri. Badan legislatif negeri ini dikenal sebagai Saniri Negeri. Saniri negeri memiliki anggota berupa 1 orang perwakilan dari setiap fam-fam atau marga-marga asli di negeri yang bersangkutan (dalam hal ini Ullath) atau perwakllan dari fam-fam menetap (pendatang) yang sudah memiliki dan memakan hak fam atau marga asli seperti fam Matheos, Matulessy dan Picauli.
Soa adalah sebuah kelompok dengan asas persekutuan genealogis-teritorial, yang di dalamnya terdapat beberapa matarumah. Matarumah dalam sebuah soa memiliki kesamaan dan pertalian sejarah. Berikut soa yang ada di Ullath serta fam yang memegang jabatan sebagai kepala soa.
Catatan mengenai jumlah penduduk di Ullath pertama kali muncul pada masa kolonial. Pada tahun 1854, dilaporkan bahwa penduduk Negeri Ullath berjumlah 698 jiwa. Data tahun 1985 menunjukkan penduduk negeri ini terdiri dari 979 jiwa penduduk laki-laki dan 944 jiwa penduduk perempuan, sehingga total populasi mencapai 1.923 jiwa.[35] Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah tahun 2020, Ullath memiliki populasi sebesar 1.591 jiwa.[3] Data tahun 2020 menunjukkan pengurangan jumlah penduduk yang cukup signifikan dengan data tahun 1985. Antara 1985 dan 2020, Ullath mengalami penyusutan penduduk hingga 338 jiwa. Dengan luas sekitar 6,80 km2, negeri ini memiliki kepadatan penduduk sebesar 234/km2.[4]
Sebagian besar masyarakat Ullath bermatapencaharian sebagai petani atau pekebun. Dari 395 KK yang ada, 356 di antaranya merupakan keluarga petani. Jumlah ini mencakup 11,22% keluarga petani di Kecamatan Saparua Timur. Tanaman yang menjadi primadona adalah cengkih dan kelapa. Saat ini tidak diketahui berapa banyak pohon cengkih dan kelapa yang tumbuh di Negeri Ullath. Namun, catatan tahun 1854 menunjukkan bahwa di negeri ini terdapat 6.894 pohon cengkih dan 3.517 pohon kelapa. Sebagian kecil masyarakat Ullath berprofesi sebagai nelayan, buruh, pekerjaan serabutan, dan PNS.
Terdapat tiga SD di Ullath yang meliputi SD Inpres Ullath, SD Negeri 1 Ullath, dan SD Negeri 2 Ullath.[36] Di negeri ini belum ada SMP dan SMA/SMK.
Ullath digolongkan sebagai negeri Kristen.[37][38] Penduduk aslinya memeluk Kristen Protestan dengan Gereja Protestan Maluku sebagai gerejanya. Gereja yang ada di negeri Ullath yaitu GPM Ullath Taman Hoea.
Negeri ini dikenal dalam catatan sejarah kekristenan di Maluku sebagai negeri pertama di Pulau Saparua yang menerima Injil. Penduduk Ullath mulai memeluk Katolik pada tahun 1564.[21] Walaupun beberapa laporan menyebut bahwa Ullath sudah dikristenkan sejak 1546 oleh Fransiskus Xaverius. Jemaat Katolik di negeri ini pada akhirnya beralih menjadi jemaat Protestan sebelum pecah Perang Iha tahun 1653.[20] Perang tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda. Terbentuknya jemaat Protestan di Ullath diikuti dengan pembentukan jemaat di Tuhaha dan Booi.
Matarumah atau fam yang berdiam di Ullath terdiri dari matarumah-matarumah asli maupun pendatang. Matarumah asli negeri dikenal dengan istilah ana negeri, sedangkan matarumah yang datang dari negeri yang lain dan turun temurun menetap di Ullath disebut orang dagang.
Matarumah asli atau disebut pula ana negeri, adalah matarumah yang merupakan keturunan para penghuni negeri lama Ullath sebelum turun ke pantai. Mereka terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok maatita dan tomanusa.[39] Berikut matarumah asli dari Ullath.
Dari 23 matarumah asli Ullath, ada enam yang telah punah atau dinyatakan hilang. Matarumah yang dimaksud adalah Hakamoly (Hakamoli), Lekasila, Lilihua, Sahetapy, Soulisabessy, dan Tulalesia.[34] Meskipun dinyatakan punah dan hilang di Ullath, fam Sahetapy masih ada dan bermukim di negeri-negeri lain seperti Itawaka, Makariki, atau Ouw.[40][41] Khususnya di Itawaka, matarumah Sahetapy adalah pemegang jabatan kepala Soa Iha.[42] Fam Sahetapy di Makariki berasal dari Ullath.[43]
Matarumah pendatang di Ullath disebut pula sebagai orang dagang. Mereka adalah keturunan dari matarumah dari negeri lain yang sudah lama tinggal menetap di Ullath. Berikut matarumah pendatang di Ullath.
Ullath memiliki bahasa daerah yang sama dengan negeri-negeri lain di jazirah Lease yang meliputi Saparua, Haruku, Nusalaut dan Ambon. Bahasa daerah itu disebut sebagai bahasa tana. Bahasa tana bisa diartikan sebagai 'bahasa tanah', karena bahasa tana adalah bahasa yang telah berakar ribuan tahun di tanah Maluku terutama Lease.
Tiap-tiap negeri di Lease pastinya mengenal bahasa Tana namun memiliki perbedaan dialek yang tidak begitu kentara. Bahasa Tana dialek Ullath adalah satu di antara berpuluh-puluh jenis dialek bahasa Tana yang ada di Lease. Bahasa Tana dialek Ullath dikenal luas sebagai bahasa Sou Tuni atau Soa Tuni.
Ullath bertetangga dekat sekali dengan Ouw. Kedua negeri sama-sama beragama Kristen Protestan. Namun, sepanjang sejarah, keduanya kerap bersengketa mengenai tanah, yang disebabkan oleh penyerobotan. Ada kalanya anak Negeri Ullath yang menyerobot tanah orang Ouw, atau sebaliknya. Persengketaan tanah memunculkan konflik antarnegeri bertetangga yang cukup sengit, dan terjadi secara berkepanjangan selama puluhan tahun.[45][46] Namun, secara umum saat ini hubungan antara orang Ullath dengan Ouw berlangsung harmonis dan cukup baik.
Sejak kerusuhan Maluku 1999-2000 selesai, Ullath memperbaiki hubungan dengan Sirisori Islam, negeri Islam satu-satunya di jazirah tenggara Saparua sekaligus salah satu musuh terbesar selama kerusuhan berlangsung. Ullath juga terlibat dalam mendorong perdamaian di antara dua negeri basudara, Sirisori Amalatu dan Sirisori Islam. Salah satunya negeri ini menyumbangkan dua ekor sapi untuk hari raya kurban. Dagingnya dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan.[47]
Negeri Ullath mengikat hubungan pela dengan Wassu (Erihatu Samasuru).[48] Baik Ullath maupun Wassu merupakan pela pertama bagi masing-masing negeri. Menurut tuturan di Negeri Wassu, salah seorang kapitan mereka yang bernama Kapitan Supele bertunangan dengan putri dari Sirisori Amalatu.[49] Ketika sang kapitan berada di Sirisori yang merupakan musuh bebuyutan Ullath, ia mendengar bahwa negeri itu sedang mempersiapkan serangan ke Ullath. Kapitan Supele kemudian berangkat ke Ullath dan berjumpa dengan seorang laki-laki yang nanti menjadi moyang fam Supusepa, yang ia minta untuk mengantarkan dirinya berjumpa dengan Raja Ullath.[49]
Alkisah bertemulah ia dengan sang raja dan ia memberitahukan mengenai rencana penyerangan Sirisori. Dengan bocoran tersebut, pihak Ullath mempersiapkan diri dan mampu memukul mundur Sirisori.[49] Raja Ullath berterima kasih atas kebaikan hati dari Kapitan Supele. Sang raja bersama rakyat Negeri Ullath mengajak Kapitan Supele ke atas gunung di Amelhatu. Dipotonglah seekor ayam yang darahnya ditaruh dalam belanga yang berisi sageru. Sang Raja mewakili Ullath dan kapitan mewakili Wassu pun meminum campuran tersebut. Raja Ullath menyebutkan bahwa selama Gunung Amelhatu dan Gunung Amanhuhui di Wassu masih ada, makan persaudaraan Ullath dan Wassu akan terus ada. Pada kesempatan itu pula Raja Ullath mengangkat pela kepada pihak Wassu.[49]
Angkat pela oleh Negeri Ullath diterima oleh Kapitan Supele sebagai wakil dari Negeri Wassu. Sekembalinya ke Wassu, peristiwa-peristiwa yang menyebabkan orang Ullath mengangkat pela dengan Wassu pun diceritakan oleh sang kapitan. Ternyata masyarakat Wassu semuanya setuju, dikarenakan memang mereka belum memiliki pela sama sekali. Jadilah Ullath dan Wassu adalah pela yang pertama-tama bagi masing-masing negeri.[49]
Ada lima negeri yang tergolong sebagai negeri gandong bagi masyarakat Ullath. Kelimanya meliputi Buano (baik Buano Utara maupun Buano Selatan) dan Oma yang terbentuk dari kisah tiga moyang adik kakak Latukurandjina-Latuputty-Latuaren;[50] Iha dan Tuhaha yang terbentuk dari kisah tiga moyang Kasim-Tasim-Abdullah Nekaulu yang masing-masing menurunkan fam Amahoru, Aipassa, dan Nikijuluw;[51] serta Itawaka yang sebagian masyarakatnya merupakan orang-orang Ullath yang diperintahkan (tita) untuk menjaga wilayah bekas Kerajaan Iha di Hatawano (waka). Itawaka dalam hubungan dengan Iha, Tuhaha, dan Ullath dianggap sebagai bongso dan Ihamahu sejatinya masih memiliki hubungan darah dengan Iha, Tuhaha, Ullath.[20]
Ullath memiliki beberapa acara kegiatan yang masuk dalam agenda tahunan negeri sepertiTradisi Upu Latu[52] yang dilaksanakan oleh keluarga atau fam atau marga atau matarumah Pical sebagai bentuk pembayaran diyat (denda) atas kepemimpinan mereka di negeri Ullath entah sebagai kepala soa Raja ataupun sebagai pejabat sementara raja negeri.
Tradisi lain yang di lakukan di negeri Ullath yaitu tradisi makang kalapa sisi.[53] Memang makang kelapa sisi ("makan kelapa mentah" yaitu hanya di lepaskan dari tempurungnya tanpa di parut, dan di iris jadi potong-potongan kecil itulah yang di maksud dengan "kalapa sisi") semua orang juga pernah melakukan hal yang sama. Namun di negeri Ullath justru menjadi suatu tradisi.
Yang terlihat unik dari kebiasaan lainnya, di negeri Ullath hampir semua keluarga kalau makan di haruskan ada kalapa sisi di meja makan, walaupun jenis-jenis makanan yang tersedia sudah mengandung santan (dari kelapa), misalkan di sayur dan kuanya, atau masakan daging ikan jenis kare, dll. Dan menurut mereka makan dengan kelapa sisi telah menjadi kebutuhan, dan bukan sebatas keinginan saja sebagai pelengkap rasa. Memang, tradisi ini sangat mungkin ada juga di negeri-negeri lain di Maluku baru di buktikan bahwa cuma di negeri Ullath tradisi makang kalapa sisi ini benar-benar ada dan jadi tradisi.
Negeri Ullath melakukan sebuah gebrakan dengan acara yang besar pada 2009 dalam rangka merayakan Natal ACBAS Ullath Se-dunia 2009[54][55][56][57] yang bertemakan Kumpul Ana Cucu Beilohy Amalatu 2009
Keturunan Ullath yang hidup di Belanda memiliki perkumpulan yang bernama sebagai PABAN, singkatan dari Persatuan Anak-Cucu Beilohy Amalatu di Nederland.[58] Selain PABAN, keturunan Ullath di perantauan seperti Kota Ambon juga memiliki organisasi perkumpulan yang bernama PERWABA, singkatan dari Persekutuan Warga Beilohy Amalatu[59]
In de streektaal van Makariki, heet het sluiten van een pela=keras verbond HUWAË PELA en dat is wat ze precies drie keer hebben gedaan.
Ullath is pela met Boano, Oma en Wassu