Umat Allah (bahasa Ibrani: עם האלהים, am ha'Elohim) adalah istilah yang dipakai di dalam Alkitab Ibrani sebagai sebutan bagi umat Israel, dan di dalam Kekristenan sebagai sebutan bagi umat Kristen.
Dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama, umat Israel disebut "umat Allah", tepatnya di dalam nas Hakim–Hakim 20:2 dan 2 Samuel 14:13. Frasa "umat TUHAN"[1] dan "umat TUHAN Allahmu" juga digunakan.[2] Diriwayatkan di dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama bahwa Allah pun menyebut umat Israel dengan perkataan "umat-Ku".[3] Umat Allah adalah istilah pertama yang dipakai Allah di dalam Kitab Keluaran, yang berkaitan erat dengan syarat perjanjian di antara manusia dengan Allah (Keluaran 6:7).
Dalam Perjanjian Baru, ungkapan "umat Allah" terdapat di dalam nas Ibrani 4:9 dan Ibrani 11:25, sementara ungkapan "umat-Nya" terdapat di dalam nas Wahyu 21:3. Nas 2 korintus 6:16 menyebutkan janji-janji yang sama kepada umat beriman Perjanjian Baru, yaitu "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku", yang paralel dengan nas Yehezkiel 37:27.
Nas Roma 9:25–26 juga mengutip atau merujuk kepada nas Hosea 1:10 dan Hosea 2:23.
Seperti yang difirmankan-Nya juga dalam kitab nabi Hosea: "Yang bukan umat-Ku akan Kusebut: umat-Ku dan yang bukan kekasih: kekasih." Dan di tempat, di mana akan dikatakan kepada mereka: "Kamu ini bukanlah umat-Ku," di sana akan dikatakan kepada mereka: "Anak-anak Allah yang hidup."
Kesinambungan pemakaian ungkapan "umat Allah" (bahasa Latin: populus Dei) dalam khazanah karya tulis para Bapa Gereja terdapat pada De civitate Dei karangan Agustinus,[4] dan Khotbah Prapaskah Paus Leo I.[5] Pemakaiannya terus berlanjut sampai ke surat apostolik Paus Yohanes XXIII bertajuk Singulari Studio[6] tertanggal 1 Juli 1960, dua tahun menjelang penyelenggaraan Konsili Vatikan II.
Dalam bahasa Gael, frasa Latin populus Dei berubah bunyi menjadi pobal Dé dan selama berabad-abad menjadi ungkapan sehari-hari bagi Gereja di tingkat paroki, keuskupan, maupun dunia.[7][8]
Frasa ini kian mengemuka di lingkungan Gereja Katolik karena digunakan di dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.
Konstitusi dogmatis Lumen gentium mengkhususkan babnya yang ke-2 bagi pembahasan "Umat Allah yang baru", suatu umat yang terdiri atas orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi, yang sama-sama dipanggil Kristus (bagian 9). Konstitusi dogmatis ini berbicara tentang "umat yang kepadanya diberikan wasiat dan janji-janji, dan yang darinya Kristus dilahirkan secara jasmani" sebagai umat yang termasuk golongan orang-orang yang "terhubung dalam satu dan lain cara dengan umat Allah" (bagian 16). Sifat-sifat Umat Allah ini dijabarkan dengan kalimat "dimaksudkan bagi awam, religius, maupun rohaniwan" (bagian 30). Dokumen ini juga menjabarkan tugas-tugas dan fungsi-fungsi khusus dari berbagai jabatan yang menjadi unsur pembentuk Umat Allah, misalnya tugas dan fungsi khusus dari "orang-orang yang menjalankan pelayanan kudus demi kemaslahatan saudara-saudari mereka" (bagian 13).
Pada tahun 2001, Kardinal Joseph Ratzinger, yang terpilih menjadi Paus Benediktus XVI pada tahun 2005, menegaskan bahwa pemilihan istilah ini oleh Konsili Vatikan II mencerminkan tiga perspektif. Yang pertama adalah memperkenalkan suatu istilah yang dapat dijadikan jembatan oikumenis, mengakui taraf-taraf antara dari kewargaan Gereja. Yang kedua adalah kian menampakkan unsur insani Gereja, yang juga merupakan bagian dari hakikat Gereja. Yang ketiga adalah mengingat kembali bahwa Gereja belum sampai kepada keadaannya yang paripurna, dan bahwa Gereja "tidak menjadi Gereja yang seutuhnya sampai kelak jalan waktu tuntas dilalui dan mekar di tangan Allah".[9]
Kardinal Joseph Ratzinger juga menyatakan bahwa istilah tersebut tidak boleh dipahami dengan cara yang menyempitkannya "menjadi semata-mata suatu pandangan teologis dan murni sosiologis" mengenai Gereja.[10] Michael Hesemann mengemukakan dalam bukunya sebagai berikut:
Selepas Konsili, ungkapan tersebut disambut dengan penuh semangat, tetapi dengan cara yang tidak dimaksudkan oleh Ratzinger maupun para Bapa Konsili. Mendadak muncul slogan "kamilah Umat!" Berkembanglah gagasan tentang suatu "Gereja dari bawah". Para penganjurnya hendak berpolemik melawan pihak-pihak yang mengemban jabatan dan memperjuangkan agenda mereka lewat pungutan suara terbanyak yang demokratis. Kendati konsep teologis alkitabiah mengenai umat masih merupakan gagasan tentang suatu hierarki alamiah, tentang sebuah keluarga besar, mendadak konsep itu ditafsir ulang di dalam lingkup pemahaman Marxis, yang di dalamnya "umat" senantiasa dipandang sebagai antitetis dari golongan-golongan penguasa. Kendati demikian, yang dapat menjadi pusat iman Kristen hanyalah wahyu Allah, yang tidak dapat diuji melalui pemungutan suara. Gereja dipanggil oleh Allah. Kata Joseph Ratzinger, 'krisis terkait Gereja, sebagaimana tercermin dalam krisis terkait konsep "Umat Allah", adalah "krisis tentang Allah"; krisis ini adalah akibat dari meninggalkan perkara yang paling pokok.[11]
Meskipun Konsili Vatikan II membedakan umat Yahudi dari "umat Allah yang baru", Carl E. Braaten mengemukakan bahwa, lantaran sedikit banyak dapat disamakan dengan ungkapan "umat pilihan", istilah "Umat Allah" mengisyaratkan kecenderungan supersesionisme yang terus bertahan di dalam Gereja, dan bahwasanya ungkapan "Umat Allah" menyiratkan bahwa Gereja adalah umat yang sama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub di dalam Alkitab Ibrani.[12]
Paus Paulus VI memakai frasa ini dalam pernyataan imannya yang dikenal dengan sebutan Syahadat Umat Allah. Paus Yohanes Paulus II memakai frasa ini di dalam arahan-arahan kateketisnya, mengajarkan bahwa Gereja adalah umat Allah yang baru.[13] Paus Benediktus XVI pernah mengutarakan bahwa "Gereja, yakni umat Allah di seluruh dunia, dipersatukan dalam iman dan kasih, dan diberdayakan Sang Roh untuk bersaksi tentang Kristus yang bangkit sampai ke ujung dunia".[14] Pada tanggal 20 Agustus 2018, Paus Fransiskus menerbitkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada "Umat Allah" sebagai tanggapan terhadap maraknya pengungkapan berbagai kasus pelecehan seksual di dalam Gereja akhir-akhir ini, dengan mengutip perkataan Santo Paulus bahwasanya "jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita" (1 Korintus 12:26).[15]
Pesan penutup setiap Sidang Umum Sinode Para Uskup ditujukan kepada "umat Allah."[16]
Katekismus Gereja Katolik memuat satu bagian khusus yang menyifatkan Gereja dengan frasa ini,[17] dan menjabarkan ciri-ciri "yang membedakan umat Allah dari semua kelompok keagamaan, etnis, politis, maupun kebudayaan lain yang pernah hadir dalam sejarah", sehingga umat Allah tidak tergolong kepada satu pun dari kelompok-kelompok tersebut. Menurut Katekismus Gereja Katolik, seseorang menjadi umat Allah bukan lantaran terlahir secara jasmani menjadi anggota umat Allah melainkan melalui keimanan kepada Kristus dan pembaptisan.