Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Upasaka (maskulin; Pali dan Sanskerta: upāsaka) dan upasika (feminin; Pali dan Sanskerta: upāsikā), juga disebut sebagai umat perumah tangga (Pali: gharāvāsa) atau umat awam, adalah sebutan untuk pengikut Buddhisme (atau, dalam sejarahnya, Buddha Gotama) yang bukan merupakan biksu, biksuni, samanera, atau samaneri di sebuah wihara; berlindung pada Triratna; dan bertekad untuk mengamalkan Pancasila.[1] Dalam konteks pemaknaan modern, kedua kata ini memiliki konotasi seseorang yang bersungguh-sungguh, dan dapat diartikan sebagai "umat awam yang taat" atau "pengikut awam yang taat".[2]
Secara harfiah, upāsaka-upāsikā berarti "yang duduknya dekat, yang datang mendekat, yang melayani".[3][4]
Dalam Jīvaka Sutta (MN 55) di Tripitaka Pali,[5] Sang Buddha ditanya, "Yang Mulia, apa yang menjadikan seseorang disebut sebagai umat awam (upāsako)?"[6] Sang Buddha menjawab bahwa seseorang berlindung pada Triratna.[7] Ketika ditanya bagaimana seseorang menjadi "umat awam yang berbudi luhur" (upāsako sīlavā), Sang Buddha menjawab bahwa seseorang harus menjalankan Pancasila. Ketika ditanya bagaimana seseorang menjadi umat awam yang "untuk kebaikannya sendiri dan kebaikan orang lain," Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang harus menyempurnakan dirinya sendiri dan mendorong orang lain untuk menyempurnakan: keyakinan (saddhā); sila (sīla); kemurahan hati (cāga); mengunjungi Sangha; dan mendengar, mengingat, menganalisis, memahami, dan mempraktikkan Dhamma.[8]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring, "upasaka" didefinisikan sebagai "perumah tangga laki-laki (tentang umat Buddha laki-laki yang tidak meninggalkan kehidupan duniawi)"; dan "upasika" didefinisikan sebagai "perumah tangga perempuan (tentang umat Buddha perempuan yang tidak meninggalkan kehidupan duniawi)".[9][10]
Seseorang yang mengambil perlindungan kepada Triratna ("Tiga Permata"), yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha, secara definitif disebut sebagai seorang upasaka-upasika.[5][7] Praktik ini disebut sebagai "Tiga Perlindungan" (Pali: tisaraṇa; Hanzi: 三皈依; Pinyin: sān guīyī).
Dalam aliran Theravāda, pengambilan perlindungan biasa dilakukan dengan pembacaan syair Saraṇattaya atau Saraṇagamana Pāṭha:[11][12]
Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Aku berlindung kepada Buddha.
Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Aku berlindung kepada Dhamma.
Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Aku berlindung kepada Saṅgha.
Dutiyampi Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Untuk kedua kalinya, aku berlindung kepada Buddha.
Dutiyampi Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Untuk kedua kalinya, aku berlindung kepada Dhamma.
Dutiyampi Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Untuk kedua kalinya, aku berlindung kepada Saṅgha.
Tatiyampi Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Untuk ketiga kalinya, aku berlindung kepada Buddha.
Tatiyampi Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Untuk ketiga kalinya, aku berlindung kepada Dhamma.
Tatiyampi Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Untuk ketiga kalinya, aku berlindung kepada Saṅgha.— Syair Saraṇattaya, Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya
Untuk memohon pengambilan Tisarana kepada seorang biksu, dibacakan kalimat berikut:[13]
Mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma. Dutiyampi mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma. Tatiyampi mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma.
(Bhante, kami memohon Tisarana dan Pancasila. Untuk kedua kalinya Bhante, kami memohon Tisarana dan Pancasila. Untuk ketiga kalinya Bhante, kami memohon Tisarana dan Pancasila.)[13]
Kemudian, seorang biksu akan menjawab sebagai berikut:
Yam-ahaṁ vadāmi taṁ bhaveta.
(Ikutilah apa yang saya ucapkan.)[13]
Setelah itu, umat menjawab dengan kalimat "Āma, Bhante" (Baik, Bhante). Kemudian, biksu tersebut membacakan kalimat Vandana sebanyak tiga kali yang kemudian diikuti oleh umat:
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa.
(Terpujilah Sang Begawan, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna).[13]
Sesudah itu, biksu tersebut membacakan ayat-ayat Tisarana per kalimatnya yang kemudian diikuti oleh umat per kalimatnya. Seusai pembacaan Tisarana terlengkapi, biksu tersebut akan berkata sebagai berikut:
Tisaraṇa gamanaṁ paripuṇṇaṁ.
(Tisarana telah diambil dengan lengkap)[13]
Kemudian, umat menjawabnya kalimat "Āma, Bhante" (Baik, Bhante).
Dalam aliran Mahāyāna, pengambilan perlindungan biasa dilakukan dengan pembacaan syair 三皈依 (Pinyin: sān guīyī):[14][15]
自皈依佛当愿众生
(Zì guīyī fó dāng yuàn zhòngshēng)
Saya berlindung kepada Buddha, semoga semua makhluk hidup
体解大道发无上心
(Tǐ jiě dàdào fā wú shàng xīn)
dapat memahami Dharma Yang Maha Sempurna, dan berniat untuk mencapai tingkat Buddha.
自皈依法当愿众生
(Zì guīyī fǎ dāng yuàn zhòngshēng)
Saya berlindung kepada Dharma, semoga semua makhluk hidup
深入经藏智慧如海
(Shēnrù jīng zàng zhìhuì rú hǎi)
mendalami Sūtra Piṭaka, dan memiliki kebijaksanaan yang luas bagaikan samudra.
自皈依僧当愿众生
(Zì guīyī sēng dāng yuàn zhòngshēng)
Saya berlindung kepada Sangha, semoga semua makhluk hidup,
统理大众一切无碍和南圣众
(Tǒng lǐ dàzhòng yīqiè wú ài hé nán shèng zhòng)
bersama-sama dengan para makhluk suci, membimbing para umat menuju pintu Buddha. Semoga semua niat suci ini tidak ada halangan.— Syair 三皈依
Kelima sila dasar (dalam bahasa Pali: pañcasīla) yang diamalkan oleh seorang upasaka-upasika adalah:
Dalam aliran Theravāda, pada hari-hari uposatha, pengikut awam yang taat dapat meminta Astasila dari para biksu atau biksuni (Pali: uposathaṁ samādiyati).[16] Pengamalan Astasila juga umum di kalangan komunitas Buddhisme Tionghoa (salah satu cabang Mahāyāna),[17] dan masih diamalkan hingga zaman modern.[18]
Astasila merupakan daftar sila yang harus dijalankan oleh upasaka-upasika pada hari raya dan hari peringatan religius. Astasila mencakup sila-sila umum seperti tidak membunuh, tetapi juga sila-sila yang lebih spesifik, seperti tidak menggunakan kosmetik, makan setelah tengah hari (berpuasa), dan menghindari tontonan hiburan.[19] Sila-sila ini mungkin didasarkan pada praktik samaṇa yang juga sudah ada sejak masa pra-Buddhisme.[20] Oleh karena Astasila sering diamalkan pada hari-hari uposatha, maka Astasila juga disebut sebagai "sila uposatha"[21] atau sila sehari penuh dalam konteks seperti itu.[22] Astasila dianggap mendukung praktik meditasi,[23] dan sering diamalkan ketika seseorang menetap di wihara.[24] Pada beberapa periode dan tempat, seperti di Tiongkok pada abad ke-7 hingga ke-10, sila-sila tersebut dipatuhi secara luas.[25] Pada zaman modern, ada gerakan-gerakan kebangkitan dan tokoh-tokoh politik penting yang mengamalkan sila secara berkesinambungan.[26][27][28]
Dalam aliran Theravāda tradisional, seorang nonbuddhis dapat menjadi seorang upasaka-upasika dengan menyatakan perlindungan kepada Triratna dan bertekad melatih Pancasila sebagai jawaban dalam sebuah upacara khusus kepada seorang biksu-biksuni,[29] atau oleh dirinya sendiri di depan sebuah cetiya atau representasi Buddha.[30][31][32][33][34] Bayi yang lahir dari orang tua yang merupakan seorang pengikut Buddhisme, secara tradisional juga dianggap sebagai penganut Buddhisme setelah dikenalkan dengan Triratna ketika mendatangi sebuah wihara sewaktu bulan purnama atau pada hari raya.
Para upasaka-upasika melakukan praktik pengambilan sila setelah pengambilan perlindungan dalam sesi puja bakti. Setelah pembacaan syair Pancasila oleh seorang biksu yang diikuti oleh upasaka-upasika, biksu tersebut akan melanjutkan dengan pembacaan:
Imāni pañca sikkhā-padāni. Sīlena sugatiṁ yanti. Sīlena bhoga-sampadā. Sīlena nibbutiṁ yanti. Tasmā sīlaṁ visodhaye.
(Itulah yang dinamakan Pancasila. Dengan melaksanakan Sila akan berakibat terlahir di alam bahagia. Dengan melaksanakan Sila akan berakibat memperoleh kekayaan (dunia dan dhamma). Dengan melaksanakan Sila akan berakibat tercapainya Nibbāna. Sebab itu Anda harus melaksanakan Sila dengan sempurna.)[13]
Kemudian, para upasaka-upasika akan mengakhirinya dengan pembacaan syair:
Āma bhante. Sādhu sādhu, sādhu!
(Baik, Bhante. Sādhu, sādhu, sādhu!)[13]
Dalam aliran Ch'an di Tiongkok atau Zen di Jepang, pengambilan sila upasaka-upasika dilakukan dengan sebuah upacara yang menyatakan mencari keselamatan dalam Triratna dan menerima pancasila (受戒 Hanyu Pinyin: shòujiè; Jepang: jukai).
Upacara ordinasi untuk menerima Pancasila, dalam aliran-aliran Buddhisme Tionghoa, dituliskan dalam bab ke-14 dalam Sutra Prinsip Upasaka (優婆塞戒經受戒品第十四).[35][36]
Orang yang hendak menerima Pancasila pertama-tama memberi penghormatan pada enam arah, yang mewakili orang tua, guru, suami/istri, teman, Sangha, dan karyawan (awalnya pelayan). Menghormati keenam arah tersebut adalah "sebuah cara untuk mewakilkan hubungan timbal balik dalam tiap-tiap hubungan tersebut".[37]
Seseorang yang telah menghormati hubungan-hubungan ini dan memberi penghormatan pada keenam arah kemudian harus meminta izin kepada orang tuanya untuk menerima sila-sila dalam Pancasila. Jika mereka setuju, ia akan memberi tahu pasangan dan karyawannya. Orang ini kemudian perlu meminta izin dari raja, meskipun tentunya untuk alasan yang jelas, hari ini izin terakhir ini sudah jarang diminta.
Orang itu, setelah memberi penghormatan kepada enam arah dan mendapat izin yang cocok, kini boleh meminta kepada biksu-biksuni untuk diberikan sila Pancasila. Di zaman modern, upacara ini biasanya diadakan secara teratur dan diketuai oleh seorang kepala wihara atau perwakilannya; dan seseorang mungkin tak bisa begitu saja meminta kepada seorang biksu-biksuni untuk menjalankan upacara.
Sangha dan orang itu kemudian akan berdialog. Sangha akan bertanya dan orang itu harus menjawab. Ia akan bertanya apakah orang itu telah memberi penghormatan kepada enam arah dan apakah ia telah mendapatkan izin yang sesuai. Ia kemudian akan bertanya pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk memastikan bahwa orang itu belum pernah melakukan kesalahan serius, dan kuat baik secara fisik atau mental untuk menerima sila.
Sangha kemudian akan menjelaskan manfaat sila Pancasila, serta konsekuensi negatif untuk melanggar sila-sila tersebut; setelah itu orang yang meminta akan ditanyakan apakah sudah siap dan akan tetap berdedikasi pada Triratna. Kemudian, sangha akan bertanya apakah orang itu akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan tertentu untuk menghindari melanggar sila, akan menghindarkan orang lain dari pelanggaran sila, dan menghindari ketergantungan pada khandha. Apabila orang tersebut sudah siap, biksu-biksuni kemudian akan meminta orang itu untuk mengikuti seluruh sarannya selama enam bulan selama berada di bawah supervisi teratur sang pendeta.
Jika setelah enam bulan sang murid telah menjalankan sila dengan baik, ia boleh meminta kepada sangha untuk mengambil sila secara formal. Murid itu kemudian akan meminta perlindungan kepada Triratna, dan sangha akan memastikan bahwa sang murid telah siap untuk mengambil seluruh sila (dan bukan hanya beberapa). Apabila sang murid berkomitmen untuk menjalankan semua sila, dan mengikutinya dengan si biksu-biksuni, maka ia telah menyelesaikan ordinasinya menjadi kaum awam.
Bab itu kemudian berakhir dengan penjelasan mengenai konsekuensi melanggar sila dan kewajiban yang harus dijalani setelah mendapatkan sila.
Untuk menjadi upasaka-upasika yang baik, Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang harus menyempurnakan dirinya sendiri dan mendorong orang lain untuk menyempurnakan: keyakinan (saddhā); sila (sīla); kemurahan hati (cāga); mengunjungi Sangha; dan mendengar, mengingat, menganalisis, memahami, dan mempraktikkan Dhamma.[8]
Menurut penafsiran aliran Theravāda, peneguhan keyakinan merujuk pada keyakinan yang dipusatkan pada keyakinan terhadap kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, kepada Tiga Permata (ratanattaya-saddhā):[38][39][40][41][42]
Pada jenis klasifikasi di atas, keyakinan terhadap hukum karma merupakan bagian dari keyakinan terhadap Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan keyakinan terhadap kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:
Secara tradisional, di India, pakaian tradisional upāsaka adalah pakaian serbaputih atau jubah putih yang menunjukkan suatu tingkatan yang membedakan antara umat awam dan sangha. Untuk alasan ini, teks-teks tradisional tertentu menyebut "kaum awam yang berbaju putih" (avadāta-vassana). Praktik ini masih dapat ditemukan di wihara Theravāda modern, terutama saat seorang nonbuddhis masuk dalam agama Buddha atau ketika seseorang sedang mengamalkan delapan sila dalam hari uposatha.
Dalam aliran-aliran Buddhisme Tionghoa, kaum upāsaka dan upāsikā diperbolehkan mengenakan jubah putih untuk upacara wihara dan acara lain, begitu pun di rumah. Kaum upāsaka dan upāsikā mengenakan jubah hitam berlengan panjang yang disebut haiqing (海青) yang menunjukkan pencarian keselamatan mereka dalam Triratna. Kasaya cokelat yang disebut manyi (缦衣) yang dikenakan sebagai pengganti jubah hitam, mewakili komitmen mereka dalam menjaga sila Buddhis. Tidak seperti kaum biksu-biksuni, mereka tidak diperbolehkan memakai jubah di luar upacara keagamaan di wihara.
Umat awam Jepang juga dapat mengenakan rakusu, yaitu sebuah kain pendek yang dikenakan di leher. Bentuk lain adalah wagesa, sebuah kain pendek yang dikenakan di leher, dengan mon wihara yang bersangkutan dituliskan pada kain tersebut. Wagesa juga dapat berlaku sebagai kasaya yang sederhana.
Dalam Kitab Buddhis Awal (SN 17:23), Sang Buddha berkata bahwa seorang upasaka yang berbakti harus menumbuhkan keinginan untuk menjadi seperti Citta dan Hatthaka, sementara para biksu yang berbakti harus bercita-cita untuk menyamai Sāriputta dan Mahāmoggallāna. Mereka adalah standar model yang ditetapkan untuk para upasaka dan para biksu. Dari sepuluh diskursus instruktif yang terkandung dalam Citta Saṃyutta, tiga dari diskursus tersebut membahas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Citta kepada para biksu, tiga di antaranya adalah pertanyaan yang diajukan kepada Citta oleh para biksu, dan empat lainnya mengacu pada peristiwa-peristiwa pribadi.[43] Upasaka terkenal lainnya adalah Anathapindika. Untuk upasika, tokoh yang paling penting adalah Khujjuttarā (yang terdepan dalam mengajarkan Dhamma) dan Visakha (yang terdepan dalam kedermawanan).
Dalam aliran Vajrayāna, upasaka yang terkenal adalah Upasaka Dharmatala yang bertugas sebagai pelayan 16 arahat. Ia dipandang sebagai emanasi Avalokitesvara.