Kerajaan Salakanagara

Kerajaan Salakanagara atau Kerajaan Rajatapura atau (Kota Perak) tercantum dalam Naskhah Wangsakerta buatan tahun 1800 M ,sebagai kota tertua di Pulau Jawa. Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang (Pada masa kini ia terletak di bagian barat propinsi Banten). Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).

Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Di kemudian hari setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Salakanagara tidak meninggalkan arca, prasasti, maupun Candi-candi sebagaimana juga Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sangat kontroversial karena berbeda dengan tulisan-tulisan buku sejarah resmi, karya tulis ilmiah, artikel, opini publik yang menyatakan bahwa Sunda-Pajajaran beraliran Hindu.


Kontroversial

Tidak didukung bukti fisik temuan artefak berupa arca dan Candi abad 2 hingga awal 4 masehi zaman Salakanagara, juga pada abad 12 - 17 masehi masa Kerajaan Sunda Pajajaran tidak ada Candi yang dibangun. Maka tulisan sejarah yang beredar selama ini menjadi sangat kontroversial.

Sehingga penulisan dari dalam Indonesia (Tatar Sunda) tentang Salakanagara bahkan Pajajaran pun dianggap sebagai cerita tanpa bukti, fiksi, mitos, atau hanya sebatas legenda.

Keterbatasan literasi para penulis serta minimnya kunjungan ke berbagai perpustakaan pada masa orde lama hingga awal Orde baru, karena faktor ketidakamanan dalam negeri, pendidikan masih terbatas, transportasi belum merata, perseteruan politik bernuansa SARA, hegemoni budaya, feodalisme cenderung fasisme, hingga kemampuan ekonomi dalam ambang batas minimum berefek pada kesimpulan singkat tersebut.


Salakanagara

Kerajaan Salakanagara adalah kerajaan di Nusantara yang berdiri antara 130-362 masehi. Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, karena wilayah peradaban keduanya sama persis, Jika benar, hal ini membuat adanya kemungkinan bahwa suku sunda merupakan suku pertama di pulau jawa yang membangun peradaban besar.

Pendiri dan raja Kerajaan Salakanagara bernama Dewawarman I, yang memerintah antara 130-168 masehi dengan gelar Prabu Darmalokapala Haji Raksa Gapura Sagara. Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa bagian barat, termasuk pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa dan laut yang membentang sampai Pulau Sumatera.

Setelah berkuasa selama 232 tahun, Kerajaan Salakanagara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.

Sumber sejarah utamanya adalah Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Menurut naskah tersebut, Kerajaan Salakanagara diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara yang berdiri antara 130-362 M, sebelum Kerajaan Kutai (400-1635 M).

Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (PPBJ) adalah salah satu naskah yang disusun oleh satu tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta. Beliau adalah salah seorang dari tiga putra Panembahan Ratu Carbon dari istrinya yang berasal dari Mataram.

Kelompok naskah PPJB yang sudah ditemukan hingga saat ini terdiri dari empat buah, semuanya dari parwa pertama. Tiga naskah pertama (sarga 1-3) merupakan kisah atau uraian mengenai sejumlah negara yang perneh berperan terutama di Pulau Jawa, sedangkan sarga keempat merupakan naskah panyangkep (pelengkap) dan isinya berupa keterangan mengenai sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun kisah itu.

Secara umum, seluruh naskah karya tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta dituliskan pada jenis kertas yang sama. Dari puluhan naskah yang telah terkumpul, hingga saat ini baru sebuah naskah yang telah diuji fisiknya secara kimiawi.

Pengujian yang dilakukan di Arsip Nasional itu menyimpulkan bahwa kertas yang digunakan untuk menuliskan naskah umurnya sekitar 100 tahun (laporan tahun 1988). Mengingat bahwa titimangsa naskah-naskah itu berkisar antara 1677 - 1698 Masehi, maka hampir dapat dipastikan bahwa naskah-naskah yang sudah terkumpul itu merupakan salinan dari naskah lain yang lebih tua.

Seperti halnya naskah-naskah Pangeran Wangsakerta lainnya, naskah PPJB 1.1 ini ditulis dengan menggunakan aksara Jawa yang jenis aksaranya mirip dengan yang disebut oleh Drewes (1969:3) quadrat script. Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang banyak mengandung kosakata bahasa Jawa kuna dan bahasa Cirebon.

Karangannya berbntuk prosa, campuran antara paparan dan kisah. Cara penyajiannya memiliki ciri-ciri karangan ilmiah, yakni berupa keteranga secara tersurat mengenai sumber karangan yang digunakan dan dikemukakan apabila di antara sumber-sumber yang digunakan terdapat perbedaan informasi.

Salakanagara minim meninggalkan bukti fisik karena bencana perang untuk memperebutkan Tanah Sunda. Demikian juga bencana alam yang tidak mustahil menghilangkan peninggalan kerajaan awal di Pulau Jawa tersebut.

Sehingga dalam artikel, tulisan ilmiah maupun buku sejarah formal lebih banyak menulis Kerajaan Kutai sebagai kerajaan pertama di nusantara.

Dengan adanya naskah Wangsakerta, generasi sesudah sangat tertolong untuk mendeskripsikan dan menarasikan abad-abad awal masehi Nusantara dan persentuhan budaya dengan berbagai bangsa besar dunia.

Karena satu naskah Wangsakerta berjudul Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 menuturkan peristiwa sejarah masa lampau tentang raja dan kerajaan yang terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Uraiannya banyak tertumpu pada karya mahakawi (pujangga besar) Mpu Khanakamuni dari Majapahit, beliau menjabat sbagai dharmadhyaksa (pejabat tinggi keagamaan) urusan agama Buddha. Selain itu kitab ini mencontoh beberapa karya pujangga besar yang telah menggubah kisah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.

Selain itu dilengkapi pula uraian tentang kerajaan Mataram, Banten, raja-raja daerah Parahyangan, serta para penguasa daerah lainnya. Penyusun kitab ini terdiri dari 12 orang, yaitu tujuh orang menteri (jaksa pepitu) kerajaan Carbon, seorang pujangga dari Banten, Sunda, Arab, dan seorang lagi.

Mereka semua dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta.Kitab ini mulai dikerjakan pada tahun Saka sruti-sirna-ewahing-bhumi (1604 Saka = 1682 Masehi), ditulis di keraton Carbon oleh Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Carbon Tohpati bergelar Abdul Kamil Mohammad Nasarudin.

Menurut Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, sejarah berdirinya Kerajaan Salakanagara bermula ketika seorang pedagang dari India yang bernama Dewawarman menetap di Jawa, lebih tepatnya di Teluk Lada, Pandeglang.

Dewawarman kemudian menikahi putri dari Aki Tirem, kepala daerah setempat. Pada 130 masehi, Dewawarman mendirikan Kerajaan Salakanagara dengan ibu kota di Rajatapura. Setelah menjadi raja dengan gelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara, ia melakukan ekspansi untuk memperluas daerah kekuasaan.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa bagian barat, termasuk pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa dan laut yang membentang sampai Pulau Sumatera. Letaknya yang strategis, membuat perahu yang melintas terpaksa harus singgah dan memberi upeti kepada Dewawarman.

Raja Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun, antara 130-168 masehi. Setelah itu, takhta kerajaan diteruskan oleh putranya, Dewawarman II yang bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman.


Rajatapura

Teluk Lada Rajatapura disebutkan dalam Naskah Wangsakerta sebagai pusat pemerintahan Salakanagara yang terletak di Teluk Lada (Pandeglang, Banten). Dalam naskah tersebut, Rajatapura disebut sebagai kota.

Dari sinilah kedelapan Raja Dewawarman memerintah dan menguasai perdagangan di seluruh Jawa. Condet Condet terletak di Jakarta Timur, yang berjarak 30 kilometer dari pelabuhan Sunda Kelapa.

Daerah ini dipercaya sebagai ibu kota Kerajaan Salakanagara karena memiliki aliran sungai bernama Sungai Tiram. Kata "Tiram" berasal dari nama Aki Tirem, mertua Dewawarman I, pendiri Salakanagara.

Gunung Salak Gunung Salak di Bogor adalah gunung yang ketika siang berwarna keperak-perakan karena tersinari oleh terangnya matahari. Dalam Bahasa Sunda, Salakanagara berarti Kerajaan Perak.

Selain itu, pendapat ini juga dilandasi oleh kemiripan nama antara Salaka dan Salak.

Salakanagara Selama 232 tahun berdiri, diyakini ada 11 raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara.

Berikut nama raja-raja yang pernah berkuasa :

1.      Dewawarman I atau Prabu Darmalokapala Haji Raksa Gapura Sagara (130-168 M)

2.      Dewawarman II atau Prabu Digwijayaksa Dewawarmanputra (168-195 M)

3.      Dewawarman III atau Prabu Singasagara Bimayasawirya (195-238 M)

4.      Dewawarman IV (238-252 M)

5.      Dewawarman V (252-276 M) Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289 M)

6.      Dewawarman VI (289-308 M)

7.      Dewawarman VII (308-340 M) Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M)

8.      Dewawarman VIII (348-362 M)

9.      Dewawarman IX (362 M)


Setelah pemerintahan Dewawarman VIII, Kerajaan Salakanagara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.

Raja Jayasinghawarman, pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu dari Raja Dewawarman VIII.

Meski hanya berdiri selama dua abad, garis turunan penguasa Salakanagara dipercaya melahirkan raja-raja Pajajaran, Sriwijaya, dan Majapahit.  

Dengan rinci Teks naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 memulai uraiannya dengan keadaan di Pulau Jawa sejak sudah adanya pemukiman manusia. Dikemukakan pula tentang kesuburan tanah dan kemakmuran di Pulau Jawa, disusul uraian mengenai kedatangan orang-orang dari luar Nusantara yang kemudian menyebar dan menetap di Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara.

Para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi Bharatanagari. Mereka datang menaiki beberapa puluh perahu yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa.

Sang Dewawarman sudah bersahabat dengan penduduk daerah pesisir Jawa Barat, Nusa Apuy, dan Pulau Sumatra bagian selatan. Sang Dewawarman bersahabat pula dengan penghulu penduduk setempat, akhirnya bermukim di sini dan lamakelamaan menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat.

Sang Dewawarman kemudian beristrikan anak penghulu penduduk wilayah desa itu. Sang penghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepada menantunya. Pada tahun 52 Saka (= 130 Masehi) Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja. Kerajaannya diberi nama Salakanagara, ibukotanya diberi nama Rajatapura.

Ia bergelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarma Haji Raksagapurasagara, dan menjadi raja sampai dengan tahun 90 Saka (= 168 Masehi). Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Sang Prabhu Dhigwijayakasa Dewawarmanputra, yang menjadi Dewawarman II. Ia menjadi raja Salakanagara pada tahun 90 – 117 Saka (168 – 195 Masehi).

Dewawarman II beristrikan seorang putri dari keluarga Maharaja Singhalanagari. Dari pernikahannya ini lahir di antaranya seorang yuwaraja. Ia menggantikan ayahnya menjadi raja di Salakanagara pada tahun 117 Saka (= 195 Masehi), dengan gelar Prabhu Singhanagara Bhimayasawirya dan menjadi Dewawarman III. Ia menjadi raja sampai dengan tahun 160 Saka (= 238 Masehi).

Pada masa pemerintahannya Salakanagara diserang perompak, namun dapat dibinasakan olehnya. Dewawarman III kemudian digantikan oleh menantunya ialah Sang Prabhu Dharmastyanagara yang menjadi Dewawarman IV. Ia memerintah pada tahun 160 – 174 Saka (= 238-252 Masehi). Dewawarman IV digantikan oleh anak perempuannya , yaitu Rani Mahisasuramardini Warmandewi. Ia memerintah bersama suaminya, Sang Prabhu Amatyasarwajala Dharmasatyajaya Warunadewa.

Sang Rani memerintah pada tahun 174 – 211 Saka (= 252-289 Masehi), tetapi suaminya hanya memerintah selama 24 tahun, karena gugur di tengah laut ketika berperang melawan perompak. Kemudian yang menjadi raja di Salakanagara adalah putranya, Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabhumi yang menjadi Dewawarman VI. Ia memerintah pada tahun 211 – 230 Saka (= 289-308 Masehi).

Ia menikah denga putri dari Bharatanagari. Dari perkawinannya itu lahir beberapa orang anak, di antaranya yang tertua ialah Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati yang menjadi Dewawarman VII. Ia memerintah pada tahun 230 – 262 Saka (= 308 – 340 Masehi). Dewawarman VII gugur pada tahun 262 Saka karena serangan balatentara yang dipimpin oleh seorang panglima bernama Khrodamaruta, yang masih bersaudara dengan Sang Prabhu.

Kemudian Sang Khrodamaruta menjadi raja di Salakanagara. Ia tidak disukai oleh penduduk dan keluarga keraton. Ia tidak lama menjadi raja, hanya tiga bulan, karena ketika ia berburu di tengah hutan, ia tertimpa batu dari puncak gunung. Sang Prabhu Khrodamaruta tewas. Kemudian permaisuri Dewawarman VII, Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi raja Salakanagara. Ia memerintah selama tujuh tahun sampai dengan tahun 270 Saka (= 348 Msehi).

Pada tahun 270 Saka itu, Sang Rani menikah dengan Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Sang Rani dan suaminya adalah saudara sepupu satu kakek. Selanjutnya Sang Prabhu Dharmawirya menjadi raja Salakanagara, menjadi Dewawarman VIII. Ia memerintah tahun 270 – 285 Saka (= 348- 363 Masehi). Selanjutnya teks naskah ini menguraikan pula keadaan politik di Bharatanagari dan peperangan antara wangsa Maurya dengan wangsa Pallawa dan Salankayana.

Akhirnya kerajaan wangsa Pallawa dan Salankayana dikalahkan oleh kerajaan wangsa Maurya. Banyak penduduk dan keluarga raja dari kerajaan mengungsi menyeberangi lautan. Salah satu kelompok wangsa Pallawa yang mengungsi ke Pulau Jawa dipimpin oleh seorang yang kemudian menjadi Dewawarman VIII, yaitu Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Diceritakan pula bahwa pada tahun 270 Saka (= 348 Masehi), ada seorang Maharesi dari Salankayana disertai para pengikutnya, penduduk dan balatentara, datang mengungsi ke Nusantara dan sampailah di Jawa Barat.

Ia bersama pengikutnya berjumlah beberapa ratus orang. Kedatangannya disambut oleh penduduk pribumidengan senang hati, karena Sang Maharesi adalah seorang dang accarya (guru) dan seorang mahapurusa (orang penting). Selanjutnya, mereka semuanya bermukim di tepi sungai dan membuat desa.

Karena ia disetujui oleh para penghulu dari desa-desa di sekitarnya, kemudian ia mendirikan sebuah kerajaan di situ dan diberi nama Tarumanagara. Desa yang didirikan Sang Maharesi itu kemudian menjadi sebuah kota yang besar dan diberi nama Jayasinghapura. Sang Maharesi kemudian terkenal dengan nama Sang Jayasinghawarman Ghurudharmapurusa dan Rajadhirajaghuru, yaitu raja Tarumanagara dan guru agama.

Ia kemudian menikah dengan putri Dewawarman VIII, yaitu Sang Parameswari Iswari Tunggalprethiwi Warmandewi atau Dewi Minawati namanya. Selanjutnya diceritakan pula anak Dewawarman yang lainnya yang menjadi putra mahkota. Setelah Sang Dewarman mangkat, putra mahkota menggantikannya menjadi raja. Tetapi desa-desa wilayahnya ada di bawah perintah kerajaan Tarumanagara.

Ada pula anak Dewawarman yang lainnya lagi, seorang laki-laki yang bermukim di Bakulapura. Ia terkenal dengan nama Aswawarman. Ia menikah dengan anak sang penghulu penduduk Bakulapura, yaitu Sang Kudungga namanya.

Masa pemerintahan Sang Maharesi Rajadhirajaghuru lamanya 24 tahun, dari tahun 280 Saka (= 358 Masehi) sampai dengan tahun 304 Saka (= 382 Masehi). Ia mangkat pada usia 60 tahun. Ia terkenal sebagai Sang Lumah ri Ghomati. Selanjutnya ia digantikan oleh putranya yang terkenal dengan nama Rajaresi Dharmayawarmanghuru.


Referensi:

Ayatrohaedi. (2017). Sundakala: Cuplikan Sejaraj Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya

Transliterasi Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (PPBJ), Museum Sri Baduga. Bandung

Kerajaan di Jawa