Priyayi (bahasa Jawa: ꦥꦿꦶꦪꦪꦶ priyayi) atau berdarah biru dalam kebudayaan suku Jawa merupakan istilah untuk menerangkan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan; ia merupakan golongan bertingkat tertinggi antara tiga kelas utama yang ada dalam masyarakat tersebut (selain santri dan abangan) karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kata priyayi berasal dari dua kata bahasa Jawa ꦥꦫ para dan ꦪꦪꦶ yayi "adik" - yakni "para adik raja" iaitu orang-orang dinaung sultan yang memerintah termasuk para bangsawan, pegawai, pentadbir dan ketua serata kerajaan.[1]
S. O. Robson dalam penulisannya tahun 1971 pula berpendapat kata ini bisa pula berasal dari kata bahasa Sanskrit priyā प्रिय yang bererti kekasih.
Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (ꦥꦿꦶꦪꦪꦶ ꦲꦒꦺꦁ, "bangsawan tinggi"). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja iaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.
Gelaran priyayi atau "para yayi" ini bermula dengan keberadaan Kesultanan Mataram di selatan tengah Pulau Jawa yang membentuk keraton sendiri yang kuat memengaruh secara bebas[2] di kawasan-kawasan timur dan tengah pulau tersebut.[3]
Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan: kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama, Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri.
Namun, penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi dan bukan priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri-abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mentakrifkan priyayi sebagai orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, misalnya golongan pegawai negeri.[4]