Tanda sembah merupakan suatu gestur menandakan tanda hormat terhadap orang yang ditujukan yang lazim dalam rantau kepulauan Nusantara di Asia Tenggara. Ia melibatkan perapatan kesemua jari kedua-dua belah tangan secara tersusun - menyusun jari sepuluh - lalu dibawa ke depan dada, menaik atas ke arah dagu atau setinggi dahi dengan kedua-dua ibu jari menyentuh hujung hidung, sambil membongkok sedikit.[1][2][3]:takrifan kedua Ketiga-tiga bentuk sembahan hormat ini dipakai bergantung kepada status orang yang disambut.[1]
Ia didasarkan kepada tanda Añjali Mudrā dalam namaste yang lazim dalam budaya Hindu India.
Dalam bahasa Melayu dipakai baik dalam baku-baku Indonesia atau Malaysia, istilah sembah diertikan kepada pertunjukan atau laku dengan tujuan untuk menghormati, hormat, penghormatan atau penyembahan. Perkataan ini tidak sahaja diperhatikan seasal dalam bahasa Jawa iaitu sesembahan,[4] malah serumpun dengan sampeah dalam bahasa Khmer lalu boleh disimpulkan menunjukkan asal-usul atau hubungan yang sama.
Pranāma atau Namaste, iaitu suatu cara dari budaya India kuno telah menyebar ke Asia tenggara melalui penyebaran agama Hindu dan Buddha dari India. Sembah berasal dari ucapan penghormatan kuno yang dilakukan untuk menunjukkan antara sujud, atau menempelkan kedua tangan telapak tangan bersama-sama dan membungkuk ke tanah. Gerakan ini pertama kali muncul 4000 tahun yang lalu pada segel tanah liat dari Peradaban Lembah Indus.[5] Hal ini kemudian dinamakan sebagai Añjali Mudra, dan budaya dharma endemik dari peradaban Hindu-Buddha di benua India.
Pada awal abad pertama, peradaban Hindu-Buddha mulai menyebar pengaruh mereka di Indonesia, dan pada awal abad ke-4 pemerintahan Hindu telah mendirikan kekuasaan mereka di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, contoh nya seperti kerajaan Tarumanagara dan Kutai. Pada abad ke-6 sampai ke-9, peradaban Hindu-Buddha berdiri kokoh di pulau Jawa, Bali dan Sumatera, bersamaan dengan naiknya kerajaan Sriwijaya dan Medang Mataram. Gambar sembah atau añjali mudra muncul dalam bas-relief candi-candi tua di Jawa, seperti di candi Borobudur dan Prambanan pada abad ke-9. Dari itulah, gerakan sembah ini menjadi endemik di wilayah tersebut, terutama di Jawa dan Bali.
Sembah adalah iktikad yang ditetapkan dan gestur yang lazim di keraton atau kerajaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta, di mana sangat penting untuk menyapa seorang raja (Sultan atau Sunan), pangeran dan bangsawan Jawa dengan gerakan ini. Sembah diwajibkan di kalangan ningrat dan priyayi, di mana ketinggian mengangkat genggaman tangan sesuai dengan tinggi status sosial dari seseorang yang bersangkutan. Semakin tinggi sembahan diangkat, semakin rendah tubuh dibungkukkan, semakin tinggi status seseorang yang dihormati dengan gerakan ini.
Ia turut menjadi dilazimkan dalam kalangan kerajaan-kerajaan Melayu itu sendiri. Ia masih terus dipakai seperti yang ada di Malaysia (seperti dalam protokol menyembah Yang di-Pertuan Agong)[6] dan Brunei untuk menyapa kerabat diraja setempat.[1]
Dalam Adat Istiadat Diraja Brunei, hanya mereka yang dikurniakan gelaran Wazir, Cheteria dan Manteri sahaja yang boleh mengangkat sembah kepada mereka yang layak diangkat sembah. Di dalam sesuatu majlis, sembah ini akan ditujukan kepada seseorang yang paling tinggi tarafnya di antara yang hadir. Kedudukan tangan itu juga akan berubah mengikut taraf orang yang ditujukan sembah itu:
Jika orang yang ditujukan sembah itu: | Kedudukan tangan bagi orang yang mengangkat sembah | |
---|---|---|
Sultan | di atas kepala (di tengah-tengah bumbunan) | |
Putera Sultan yang gahara | di atas dahi | |
Wazir | di atas kening | |
Cheteria | Putera Sultan yang tidak gahara | di antara hidung dan kening |
Orang yang ditujukan sembah juga akan membalas sembah, mengikut taraf yang mengangkat sembah itu:
Jika orang yang mengangkat sembah itu: | Kedudukan tangan bagi orang yang membalas sembah |
---|---|
Duli Wazir (yang terdiri dari putera Sultan yang gahara) | di atas kening |
Wazir (yang bukan terdiri dari putera Sultan yang gahara) | di bawah kening |
Kepala Cheteria | di atas bibir |
Cheteria | di bawah bibir |
Ketua Kepala Manteri / Kepala Manteri Empat / Manteri Empat | di atas dada |
Manteri di bawah Manteri Empat | di bawah dada |
Terdapat beberapa pengecualian:
Orang Minangkabau mengenalnya sebagai salam sembah[7] Sastera tradisi lisan masyarakat ini iaitu kaba turut menjelaskan cara ini berbunyi: "disusun jari nan sapuluah, ditakuakkan kapalo nan satu" ("disusun jari sepuluh, ditukikkan [diturunkan] kepala satu); ia adakala ditambahan juga dengan dihunjamkan lutuik nan duo ("dihunjaman lutut dua")[8]
Masyarakat Jambi menggelar ia seloko atau seloko salam sembah.[9]
Sembah juga adalah gestur sosial yang umum di Bali, di mana warisan etiket dan kebiasaan Hindu, masih dilakukan dan diwariskan sampai saat ini. Namun, dalam tradisi Bali sembah sebagai gestur sapaan biasanya dilakukan dengan menempelkan kedua telapak tangan dan menaruhnya lebih rendah dari dagu, sedangkan sembah dengan kedua tangan ditempel dan ditaruh di atas dahi, biasanya dilakukan hanya untuk Dewa-Dewa sebagai bentuk pemujaan, seperti sembahyang, atau dikenal sebagai kramaning sembah.
Dalam tradisi Sunda Jawa Barat, sembah sering mengganti jabat tangan modern yang dilakukan secara timbal balik; dengan hampir menyentuhkan hujung jari satu sama lain, kemudian mengangkatnya ke depan wajah sampai ibu jari menyentuh hujung hidung sendiri.
Hari ini, gestur sembah telah digunapakai terutama di parawisata di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh pramugara-pramugari Garuda Indonesia untuk menyapa penumpang sebelum dan setelah penerbangan,[10] dan Sembah juga biasa dilakukan sebagai ucapan selamat datang oleh staf di hotel, resor, dan spa di seluruh Indonesia.
Gestur sembah ini sering dilakukan dalam berbagai tarian dan persembahan serata Nusantara termasuk:
Dalam budaya Jawa dan Sunda, biasanya tidak ada kata-kata yang diucapkan selama melakukan sembah. Namun, dalam budaya Bali kata yang sering diucapkan dengan sembah saat menyapa seseorang adalah om swastiastu[11] yang seasal dengan kata bahasa Thai sawatdee yang sendirinya berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam bahasa Sansekerta, kata svasti bermakna yang aman, bahagia dan sejahtera manakala astu bererti "mudah-mudahan". Dengan demikian, Om Swastiastu berarti: "Ya Tuhan, aku berharap semua kebaikan (keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan) datang dari segala arah."[12]
Namun, pada zaman Nusantara kuno, tampaknya bahwa kata "swasti" adalah kata yang diucapkan saat sembah, dengan bukti yang terlutis dalam beberapa prasasti batu yang ditemukan di Jawa dan Sumatera yang dimulai dengan rumus svasti di awal; seperti abad ke-7 Prasasti kedukan Bukit yang mulai dengan: svasti! kesalehan kuat sri śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha.
|deadurl=
ignored (bantuan)
|dead-url=
ignored (bantuan)