Ali Alatas | |
---|---|
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden ke-1 | |
Masa jabatan 10 April 2007 – 11 Desember 2008 | |
Presiden | Susilo Bambang Yudhoyono |
Menteri Luar Negeri Indonesia ke-13 | |
Masa jabatan 21 Maret 1988 – 20 Oktober 1999 | |
Presiden | Soeharto B. J. Habibie |
Informasi pribadi | |
Lahir | Batavia, Hindia Belanda | 4 November 1932
Meninggal | 11 Desember 2008 Singapura | (umur 76)
Suami/istri | Junisa Wolff Alatas[1][2] |
Anak | 3 |
Profesi | Diplomat |
Penghargaan
| |
Sunting kotak info • L • B |
Dr. (H.C.) Ali Alatas, S.H. (4 November 1932 – 11 Desember 2008) adalah seorang diplomat Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tahun 1988–1999 di bawah Presiden Soeharto dan BJ Habibie. Hingga kematiannya, ia menjabat sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar, Utusan Khusus Presiden RI untuk masalah Timur Tengah, dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Ali Alatas lahir dari keluarga yang cukup berpengaruh di lingkungannya. Beberapa teman masa kanak-kanaknya mengatakan bahwa kakek Ali Alatas adalah orang terpandang sehingga mencium tangan orang tua itu dinilai sebagai sebuah berkah. Namun Ali Alatas sendiri lebih menyukai bermain dengan teman sebayanya. Ia suka bermain di tepian Sungai Ciliwung di dekat Gedung Kumidi (Gedung Kesenian Pasar Baru), dan terkadang juga suka menyusuri sungai yang membelah kota Jakarta itu dengan menggunakan rakit dari batang pisang. Pada masa kecilnya ini juga ia dikenal suka bermain bola di sebuah lapangan di Cikini. "Tidak sulit mencari Ali, cari saja lapangan bola seperti di Cikini sana, cari yang paling jangkung itulah si Ali," ujar salah seorang temannya semasa SD dalam wawancara pada tahun 1988.[3]
Pendidikan dasar kediplomatan diperoleh di Akademi Dinas Luar Negeri Jakarta (lulus 1954) dan di Fakultas Hukum UI (lulus 1956). Selanjutnya ia menggeluti dunia pers hingga awal 1950, kemudian ia masuk Direktorat Ekonomi Antarnegara departemen Luar Negeri. Karier sebagai diplomat dijalaninya di berbagai perwakilan Indonesia, seperti Thailand, Amerika Serikat, dan PBB. Ia pernah juga menjadi seketaris Adam Malik ketika Adam Malik menjadi Menteri Luar Negeri (1970–1976) dan Wakil Presiden RI (1978–1982).
Kariernya mulai berkembang sewaktu menjabat sebagai staf perwakilan Indonesia di PBB. Di sana ia aktif dalam menggalang suara G77, kelompok negara-negara berkembang di lembaga dunia tersebut.
Namanya mulai dikenal luas setelah ia aktif sebagai fasilitator perundingan perdamaian terhadap pihak-pihak yang bertikai dalam Perang Kamboja–Vietnam, melalui pertemuan-pertemuan informal yang dikenal sebagai Jakarta Informal Meeting (JIM) hingga beberapa kali. Kegiatan diplomatis ini berakhir dengan sukses setelah tercapainya Perjanjian Perdamaian Kamboja Komprehensif yang ditandatangani di Paris pada tahun 1991. The Guardian menyebut bahwa perjanjian perdamaian ini merupakan keberhasilan terbesar Ali Alatas.[4]
Sumbangsih lain yang tidak terlalu diamati luas oleh pers tetapi signifikan adalah sebagai mediator atau penengah dalam perundingan pemerintah Filipina dengan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Jakarta pada tahun 1996.[5]
Ali Alatas adalah orang terdepan dalam kepemimpinan Indonesia di Gerakan Non-Blok (NAM) pada tahun 1992–1995. Lewat usahanya, Indonesia dapat ikut melobi G7 yang merupakan kelompok negara-negara maju dengan perekonomian terbesar, untuk bersedia menghapus hutang beberapa negara berkembang dan bekerja sama dengan mempertimbangkan kesetaraan. Namun, sebagai diplomat ia harus menghadapi ujian berat membela kebijakan yang ditempuh Indonesia terhadap permasalahan Timor Timur.
Pada 2003, Alatas diangkat sebagai utusan khusus Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia berkunjung selama tiga hari ke Myanmar pada 18 Agustus 2005 untuk mendesak pembebasan Aung San Suu Kyi. Ia merupakan utusan khusus pertama yang diijinkan berkunjung ke negara itu sejak 2004. Sumbangsihnya yang terakhir bagi Asia Tenggara adalah dalam merumuskan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang berlaku mulai Januari 2009. Ia adalah anggota dari dewan perumus dokumen tersebut.
Penghargaan yang diterimanya, di antaranya, adalah Bintang Mahaputera Utama dan beberapa penghargaan dari luar negeri dan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro pada tahun 1996.
Ali Alatas merupakan keturunan blasteran dari Arab Hadhrami (Yaman) dan Sunda. Ia memiliki kakek yang merupakan pedagang pada era Hindia Belanda, yakni Abdullah bin Alwi Alatas. Alex, begitu ia akrab dipanggil, menikah dengan Junisa dan pasangan ini dikaruniai tiga orang anak. Sebagai diplomat, ia dikenal akrab kepada semua kalangan, baik pejabat maupun petugas keamanan. Ia dilaporkan biasa mengobrol dengan petugas keamanan di PBB sewaktu merokok di luar gedung.
Ia wafat di Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura pada tanggal 11 Desember 2008 pukul 07.30 waktu setempat setelah mendapat serangan jantung pada tanggal 20 November 2008. Ia dibawa ke Singapura setelah beberapa hari dirawat di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya di TMP Kalibata dengan upacara militer dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.[6]
Negara | Tanggal | Tanda Kehormatan | Pita Harian | Post Nominal |
---|---|---|---|---|
Indonesia | 6 Agustus 1998 | Bintang Republik Indonesia Utama[7] | ||
12 Agustus 1992 | Bintang Mahaputera Adipradana[8] | |||
27 Juli 1982 | Bintang Mahaputera Utama[8] | |||
Thailand | 16 Juni 2000 | Knight Grand Cordon (Special Class) of the Most Exalted Order of the White Elephant[9] | GCE | |
2 Agustus 1994 | Knight Grand Cordon (Special Class) of the Most Noble Order of the Crown of Thailand[10] | KGCT | ||
16 Juli 1988 | Knight Grand Cross (First Class) of the Most Exalted Order of the White Elephant[11] | KCE | ||
Australia | 30 Maret 1995 | Honorary Officer (Civil Division) of the Order of Australia[12] | AO | |
Austria | 1996 | Grand Decoration of Honour in Silver with Star of the Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria[13] | ||
Kamboja | 1 Mei 1999 | Grand Cross of the Royal Order of Sahametrei[14] [15] | ||
Filipina | 9 Agustus 1999 | Grand Collar of the Order of Sikatuna, Rank of Raja[16][17][18] | GCS | |
Perancis | 19 Desember 2003 | Commandeur of the National Order of the Legion of Honour[19] | ||
Jepang | 25 Juni 2007 | Grand Cordon of the Order of the Rising Sun [20] |
Jabatan pemerintahan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Achmad Tirtosudiro (sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung) |
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2007–2008 |
Diteruskan oleh: T.B. Silalahi |
Didahului oleh: Mochtar Kusumaatmadja |
Menteri Luar Negeri Indonesia 1988–1999 |
Diteruskan oleh: Alwi Shihab |
Jabatan diplomatik | ||
Didahului oleh: Abdullah Kamil |
Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982–1988 |
Diteruskan oleh: Nana Sutresna |
Didahului oleh: Ismail Thayeb |
Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa 1976–1978 |
Diteruskan oleh: Atmono Suryo |