Sejumlah alternatif kompensasi hak cipta telah diusulkan untuk pendistribusian dan penggandaan ciptaan digital yang dilindungi dengan tetap membayar royalti kepada pencipta. Artikel ini hanya membahas alternatif yang melibatkan campur tangan pemerintah. Model lain, seperti protokol pengamen atau lisensi kolektif sukarela, dapat sebagai "alternatif lisensi", meski sangat berbeda dan umumnya kurang efektif dalam memecahkan masalah "penumpang gratis".
Masalah yang menjadi fokus adalah berkembangnya berbagi berkas secara peer-to-peer. Sejumlah pencipta ciptaan menganggap bahwa alternatif hak cipta menjadi satu-satunya respons terbaik terhadap situasi tersebut.[1] Namun sebagian besar pendukung alternatif ini melangkah lebih jauh, serta berpendapat bahwa berbagi berkas secara peer-to-peer sangat bermanfaat, dan sistem yang didanai pajak atau retribusi tampak sebagai sebuah alat yang diinginkan pemerintah untuk membayar artis daripada penjualan yang dipadu teknologi pencegahan penggandaan seperti DRM.
Proposal voucher kebebasan artistik (artistic freedom voucher/AFV) menganggap bahwa hak cipta merupakan monopoli dikontrol negara yang menimbulkan "inefisiensi yang sangat besar dan menciptakan masalah penegakan yang substansial". Dalam sistem AFV, setiap orang dapat membayar kredit pajak yang dapat dikembalikan sebesar kira-kira $100 kepada "pekerja seni"; kontribusi ini dapat bertindak sebagai bea yang dapat digunakan untuk mendukung para artis untuk terus berkarya.
Penerima AFV kemudian akan diminta mendaftar ke pemerintah dengan cara yang sama dengan organisasi amal dan keagamaan untuk mendapatkan status bebas pajak. Tujuannya adalah untuk mencegah penipuan, dengan minim evaluasi terhadap kualitas atau ciptaan yang dihasilkan. Selain itu, artis kemudian tidak akan mendapatkan pelindungan eksklusif ciptaannya secara otomatis dalam jangka waktu tertentu (5 tahun misalnya) karena ciptaan tersebut dikontribusikan ke domain publik dan diizinkan untuk digandakan secara bebas. Bea ini tak akan mempengaruhi kemampuan artis untuk menerima dana melalui pertunjukan langsung.
Para pendukung sistem ini mengeklaim bahwa AFV akan menghasilkan $20 miliar per tahun untuk membayar artis, yang jauh lebih besar daripada menggunakan sistem hak cipta biasa. Dengan $100 untuk satu orang dewasa, lebih dari 500.000 penulis, musisi, penyanyi, aktor, atau pekerja kreatif lainnya dapat dibayar sekitar $40.000 per tahun. Penulis D. Baker bahkan menyatakan cukup realistis untuk mengasumsikan bahwa tabungan dari pengeluaran yang dikurangi untuk karya berhak cipta akan jauh melebihi biaya AFV. Sebagian besar tabungan ini berasal dari individu yang memilih untuk menggunakan ciptaan yang mendapatkan AFV sebagai pengganti hak cipta serta menghemat iklan karena materi AFV akan menjadi domain publik. Dengan meningkatnya minat AFV, penegakan hak cipta semakin berkurang. Asumsinya, untuk ciptaan kelas bawah, biaya pengumuman materi berhak cipta akan berkurang sekitar 20 persen sementara di kelas atas hingga 60 persen. Seiring waktu, kemungkinan penghematan juga akan meningkat karena sistem ini murah dan cukup prospektif.[2]
Dalam artikel yang kritis terhadap AFV tahun 2010, perancang grafis Mark Stanley menulis:
"Seperti halnya voucher pendidikan, pajak tarif flat, dan angan-angan lainnya, AFV mengasumsikan perlunya kehadiran negara, dan mencoba membatasi kebebasan. Kebebasan tidak begitu mengampuni manipulasi semacam itu."[3]
Meski restrukturisasi UU hak cipta dengan metode AFV masih terkesan jauh, konsep membayar artis dengan penggalangan dana telah diuji, dengan banyak kesuksesan. Pada tahun 2006, musisi Jeff Rosenstock mendirikan Quote Unquote Records, yang memantapkan dirinya sebagai label rekaman berbasis donasi pertama. Setiap artis yang dikontrak menyediakan karya mereka diunduh gratis dan mengundang pendengarnya untuk menggalang dana. Dengan menggalang dana dan menjual karcis konser, Quote Unquote Records sukses merekam musik dan memperluas grup-grup di label mereka selama dua belas tahun terakhir.
Proposal telah menyertakan pungutan yang disasar dari koneksi internet, CD kosong, pemutar media digital, dll. (banyak barang-barang ini dipungut dengan skema penggandaan pribadi yang ada di berbagai negara); pajak penghasilan; atau pembayaran sukarela oleh pengguna.
Dalam teori ekonomi, rezim "kesertaan" konsumen berbeda dari rezim universal, tetapi bergantung pada cara menjalankan skemanya, dan perbedaannya mungkin tidak terlalu besar. Misalnya, jika pilihan bawaan bagi pelanggan ISP adalah membayar biaya tambahan hak cipta alternatif, yang dapat dihindari dengan menandatangani komitmen untuk tidak melakukan unduhan ilegal dari jaringan peer-to-peer, efeknya mungkin mirip. Namun skema ini tidak cocok untuk pemilik bisnis yang mempertahankan koneksi internet gratis sebagai insentif bagi pelanggan. Pemilik bisnis bertanggung jawab untuk memantau penggunaan internet pelanggannya.
Banyak proposal diajukan untuk mendasarkan distribusi royalti berdasarkan ukuran pengunduhan, penggunaan, atau dengan voting.
Masalah keamanan komputer yang perlu ditangani dalam mengumpulkan data ini sangat besar. Persoalan privasi dan verifikasi mirip dengan halnya pemungutan suara Internet; persoalan ini bisa dipecahkan, tetapi dengan bantuan perangkat keras yang saat ini tidak tersedia pada komputer biasa. Cara paling praktis untuk mengimplementasikan alternatif hak cipta dalam jangka pendek adalah dengan mengumpulkan sampel populasi yang kecil.
Distribusi royalti yang umum biasanya dilakukan oleh lembaga manajemen kolektif.
Sistem alternatif ini memiliki keunggulan daripada hak cipta digital. Tidak ada pemaksaan "kelangkaan yang dibuat-buat" pada ciptaan: setiap orang boleh mengunduh lagu, buku elektronik, dan film sebanyak mungkin (sehingga menghilangkan kerugian bobot mati dari hak cipta yang cenderung monopolistik). Bahkan dapat mencegah pembengkakan biaya penegakan hak cipta baik secara teknologi maupun sosial.
Ada dua kelemahan besar dalam sistem ini, yaitu kelebihan beban pajak, dan perlunya keputusan atas tarif pajak/bea/retribusi yang akan digunakan untuk sistem (walaupun metode seperti penilaian kontingen dapat membantu sedikit).
Retribusi penggandaan pribadi di Kanada memiliki hasil tak terduga dalam pelaksanaan alternatif hak cipta sementara untuk beberapa jenis pengunduhan peer-to-peer.[4] Dalam BMG v. Doe, ada diktum yang mengingatkan bahwa sistem ini wajib berlaku pula dalam pengunggahan; tetapi dikritik di tingkat banding.
Di Prancis, perubahan DADVSI Desember 2005 yang disahkan Senat akan menciptakan alternatif yang disebut "lisensi global". Perubahan ini dihapus sebelum RUU itu disahkan sebagai undang-undang.
Pada tahun 2009, Partai Demokrat Sosial Jerman menambah proposal untuk varian alternatif hak cipta yang disebut "cultural flat-rate" ke platform partainya.[5]