Bahasa Badui[7] atau bahasa Sunda dialek Badui[8][9] adalah nama yang diberikan bagi sebuah bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang umumnya dituturkan oleh suku Badui di sebagian wilayah Banten, Indonesia. Penuturnya tersebar di wilayah sekitar Gunung Kendeng, Kabupaten Lebak. Bahasa Badui memiliki sekitar 11.620 penutur jati pada tahun 2015.[2]
Sama seperti bahasa Sunda baku, bahasa Badui berdasarkan tipologi linguistiknya adalah bahasa yang urutan unsur struktur kalimatnya berjenis subjek-predikat-objek. Sebagai bahasa aglutinatif, bahasa Badui memiliki beragam afiks yang masih produktif. Verba dapat dibedakan menjadi bentuk transitif dan intransitif, serta bentuk aktif dan pasif.
Dari segi linguistik, bahasa Badui masih termasuk ke dalam bahasa Sunda,[10] sehingga terkadang dianggap sebagai sebuah dialek atau dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Sunda-Badui,[11] yang posisinya masih diperdebatkan antara Melayu-Sumbawa dan Kalimantan Utara Raya yang keduanya berada pada cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.[b][Verifikasi gagal]
Beberapa sumber rujukan menggolongkan bahasa Badui sebagai bagian dari bahasa Sunda dialek Banten.[13] Akan tetapi, tidak seperti beberapa dialek Sunda lainnya di wilayah Banten yang sudah banyak tercampur dengan unsur bahasa non-Sunda, bahasa Badui hanya mendapatkan sedikit pengaruh dari bahasa lainnya dan masih mempertahankan beberapa unsur-unsur kebahasaan dari bahasa Sunda kuno sebagai pendahulunya,[14] hal ini kontras bila dibandingkan dengan beberapa dialek Sunda lainnya yang dianggap lebih modern.[15]
Bahasa Badui termasuk salah satu bahasa daerah di Indonesia dan cukup dilestarikan keberadaannya oleh pemerintah setempat, meskipun penelitian linguistik mengenai bahasa ini masih tergolong sedikit. Penggunaan bahasa Badui dianggap sebagai penanda identitas kesukuan yang paling penting bagi masyarakat Badui. Meskipun masyarakat Badui sendiri merupakan masyarakat yang terisolasi, nyatanya sebagian dari mereka mempunyai kemampuan bilingual, yang artinya mereka juga dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya, terutama ketika sedang bertutur kata dengan masyarakat lain dari luar Badui yang datang ke wilayah mereka.
Ethnologue menggolongkan bahasa Badui sebagai bahasa dengan tingkat 6a yang berkategori vigorous (kuat) dalam skala EGIDS,[c] dan perkembangannya menunjukkan sikap yang positif.[16]
Tidak terdapat perbedaan antara bahasa Badui dan bahasa Sunda baku beserta beberapa dialek lainnya dalam hal fonologi.[17] Fonem dalam kedua bahasa tersebut menunjukkan jumlah yang sama, yakni sebanyak 25 fonem dengan 7 di antaranya berupa fonem vokal, sedangkan 18 fonem lainnya merupakan konsonan. Akan tetapi, untuk fonem-fonem /ə/, /o/, /ɨ/, dan /i/ dalam bahasa Badui ada variasi pemakaian, seperti pada kata tolu, teulu dan tilu 'tiga', euweuh dan oweuh 'tidak ada', serta enya dan onya 'iya'.[17]
Fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Badui yaitu /ɛ/ ⟨é⟩, /a/, /ɨ/ ⟨eu⟩, /ə/ ⟨e⟩, /i/, /ɔ/ ⟨o⟩ dan /u/.
Depan | Madya | Belakang | |
---|---|---|---|
Tertutup | i | ɨ | u |
Tengah | ɛ | ə | ɔ |
Terbuka | a |
18 fonem konsonan dalam bahasa Badui dapat dijabarkan dalam tabel berikut.
Dwi-bibir | Gigi | Langit-langit keras |
Langit-langit lunak |
Celah suara | |
---|---|---|---|---|---|
Sengau | m | n | ɲ | ŋ | |
Letup/Gesek | p b | t d | tʃ dʒ | k ɡ | ʔ |
Desis/Geser | s | h | |||
Kepak/Hampiran | r l | ||||
Semivokal | w | j |
Dalam hal aksen atau tekanan kata dan intonasi, bahasa Badui menunjukkan ciri khas yang sangat menonjol. Kata-kata dengan dua suku kata pada umumnya mendapatkan stress naik pada suku kata pertama, kemudian menurun pada suku kata kedua, seperti héjo menjadi héj'jo (hijau), dukun menjadi duk'kun (dukun), iheung menjadi ih'heung (tidak tahu) dan lain-lain.[18]
Intonasi dalam kalimat memang merupakan ciri tersendiri yang terdapat dalam bahasa Badui. Adakalanya dalam kalimat berakhir dengan nada turunnya suara, atau dengan nada datar. Demikian pula, kalimat interogatif tidak selalu diakhiri dengan naiknya suara, tetapi adakalanya berakhir dengan turunnya suara.[19]
Masyarakat Badui (terutama Badui Dalam) pada umumnya merupakan masyarakat yang terisolasi dari dunia luar sehingga bahasa yang mereka gunakan tidak banyak terpengaruh oleh bahasa yang ada di luar wilayah mereka seperti bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda dialek lainnya. Pada umumnya, pengaruh bahasa dari luar seperti ini hanya terdapat pada masyarakat Badui Panamping atau Badui Luar.[8]
Dalam tataran leksikon, misalnya kosakata, terdapat beberapa kosakata khas bahasa Badui yang tidak ditemukan atau tidak lazim digunakan dalam beberapa dialek bahasa Sunda lainnya, terutama bahasa Sunda Priangan (baku). Perbandingan beberapa perbedaan leksikon Badui dengan bahasa Sunda baku dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Leksikon khas lainnya dapat dilihat di sini.
Bahasa Badui | Pengucapan (dalam IPA) | Bahasa Sunda baku | Pengucapan (dalam IPA) | Pengertian | Ref. |
---|---|---|---|---|---|
ambu kolot | [ambu kolɔt] | nini | [nini] | nenek | [20][21] |
acéng | [at͡ʃɛŋ] | ujang | [ud͡ʒaŋ] | sapaan kepada anak laki-laki | [22] |
babarahmu | [babarahmu] | susuguh | [susugʊh] | hidangan, jamuan | [23] |
bangu | [baŋu] | awi | [awi] | bambu | |
conggah | [t͡ʃɔŋgah] | sanggup | [saŋgʊp] | sanggup | [23] |
gungguman | [gʊŋguman] | lingkungan | [lɪŋkuŋan] | lingkungan, wilayah | [24] |
hawon, dihawon | [hawɔn], [dihawɔn] | lawan, dilawan | [lawan], [dilawan] | lawan, dilawan | [23] |
heulan | [hɤlan] | heula | [hɤla] | terlebih dahulu, di depan | |
iget, kaiget | [igət], [kaigət] | teureuy, kateureuy | [tɤrɤj], [katɤrɤj] | telan, tertelan | [25] |
ja | [d͡ʒa] | da | [da] | fatis untuk menyatakan sebab | |
kolényér | [kolɛɲer] | konéng | [konɛŋ] | warna kuning | [26] |
lojor | [lod͡ʒɔr] | panjang | [pand͡ʒaŋ] | panjang | [27] |
megat elos | [məgat əlɔs] | ngahalangan jalan | [ŋahalaŋan d͡ʒalan] | menghalangi jalan | [24] |
ngawadang | [ŋawadaŋ] | dahar beurang | [dahar bɤraŋ] | makan siang | [28] |
oweuh | [owɤh] | euweuh | [ɤwɤh] | tiada | [17] |
paul | [pawʊl] | biru | [biru] | biru | [26] |
rayoh | [rajɔh] | kawali | [kawali] | kuali | [29] |
tundun | [tʊndʊn] | rambutan | [rambʊtan] | Nephelium lappaceum | [30] |
ucut | [ucʊt] | ragrag | [ragrag] | jatuh | [31] |
Perubahan leksikal yang ditemukan antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku dapat dianalisis dan dikelompokkan menjadi beberapa jenis proses, beberapa di antaranya berupa kosakata yang dapat ditemukan di antara kedua bahasa seperti contohnya beurat [bɤrat] 'berat' dengan variasinya yang berlainan seperti abot [abot] dalam bahasa Sunda baku dan badot [badot] 'berat' dalam bahasa Badui.[32] Jenis perubahan leksikal yang kedua berupa kosakata yang dapat ditemukan di antara kedua bahasa tetapi variasinya hanya ditemukan dalam bahasa Badui, seperti contohnya beulah [bɤlah] 'belah' dan bareuh [barɤh] 'bengkak' dengan variasi khas bahasa Badui bencar [bəncar] 'belah' dan kembung [kəmbʊŋ] 'bengkak' yang tidak ditemukan dalam bahasa Sunda baku.[32] Jenis perubahan leksikal selanjutnya dapat berupa kosakata yang tidak saling berhubungan di antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku, seperti contohnya nyaring [ɲarɪŋ] 'berbaring' dalam bahasa Badui dengan ngagolér [ŋagolεr] 'berbaring' dalam bahasa Sunda baku.[33] Tipe perubahan leksikal yang lainnya berupa kosakata yang pelafalannya berbeda antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku dengan variasi yang hanya ditemukan dalam bahasa Badui, seperti contohnya enteu [əntɤ] 'tidak' dalam bahasa Badui dengan henteu [həntɤ] 'tidak' dalam bahasa Sunda baku dengan variasi khas Badui moan [mowan] 'tidak'.[34]
Bahasa Badui sering dianggap sebagai bahasa yang egaliter karena tidak mengenal tatakrama basa Sunda (sistem tingkatan berbahasa yang didasarkan kepada status sosial antara pembicara dengan lawan bicara),[35] serta menunjukkan ciri-ciri sebagai bahasa yang demokratis,[8] hal ini tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan beberapa dialek bahasa Sunda lainnya yang memiliki sistem yang cukup kompleks tersebut. Namun, pada kenyataannya, masyarakat Badui yang dikenal memiliki kelas sosial dalam sistem pemerintahannya, implikasinya terhadap bahasa merupakan suatu hal yang tak dapat terelakkan, selain itu, karena faktor kedekatan wilayah dan seringnya interaksi antara suku Badui dengan masyarakat Sunda umum dan masyarakat lainnya, mengakibatkan dalam hal linguistik terjadi interferensi bahasa yang merasuk ke dalam tubuh bahasa Badui, yang pada akhirnya memunculkan gejala penjenjangan bahasa.[36] Sebuah penelitian mengungkapkan, interferensi bahasa dalam hal leksikon muncul dari bahasa Indonesia dan konsep tingkatan berbahasa muncul dari bahasa Sunda baku. Interferensi ini tidak dipahami sebagai kesalahan berbahasa, melainkan bagaimana cara sebuah diksi diperlakukan.[37] Contoh interferensi bahasa dapat ditemui pada masyarakat Badui Dalam yang tidak menggunakan kata cangkéng untuk menyatakan pinggang melainkan menggunakan pinggang (sama seperti bahasa Indonesia) sebagai kata yang sopan untuk orang tua atau orang yang lebih tua atau dihormati. Contoh lainnya, kata pundak 'bahu' sudah sangat akrab di kalangan orang Badui daripada taktak yang digunakan masyarakat Sunda umum.[36]
Dalam perkembangannya, beberapa kosakata yang memiliki variasi, penggunaannya dibedakan berdasarkan kepada siapa kosakata tersebut diucapkan. Contohnya kata nginum 'minum' tidak dapat digunakan terhadap seseorang yang sangat dihormati, seperti orang tua, jaro, apalagi puun. Untuk orang yang dihormati, digunakan kata papairan.[38]
Dalam tingkatan sintaksis atau tata kalimat, secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku, hanya saja untuk beberapa partikel terdapat suatu kekhasan tersendiri yang dipakai dalam bahasa Badui. Partikel ari dan baé cenderung dipakai berulang-ulang oleh para penutur bahasa ini, berbeda dengan penutur bahasa Sunda lainnya yang hanya memakai partikel tersebut sekali saja.[39] Di bawah ini adalah contoh perbandingan kalimat antara bahasa Badui dan bahasa Sunda baku.
Catatan: pada contoh di bawah, partikel yang dimaksud dicetak tebal dan digarisbawahi.
Bahasa Badui
ari
adapun
urang
orang
Cicakal
Cicakal
Girang
Girang
mah
FOC
ari
COMP
asal
PST
=na
=3
gé
juga
ari
COMP
islam
Islam
mah
FOC
Islam
Islam
'Adapun orang Cicakal Girang kalau asalnya kalau Islam tetap Islam'[39]
atuh
mohon
ari
bila
ngajual
AV-jual
mah
FOC
saaya
seada
=na
=NMLZ
baé,
LIM
sakilo
sekilo
dijual
PV-jual
baé,
LIM,
sapuluh
sepuluh
kilo
kilo
dijual
PV-jual
baé
LIM
'Mohon bila menjual seadanya saja, sekilo dijual saja, sepuluh kilo dijual saja'[39]
Bahasa Sunda baku
Dalam bahasa Badui, partikel boro dari bahasa Sunda baku mengalami reduplikasi (perulangan) menjadi boro-boro. Beberapa penggunaan preposisi dina 'pada' dalam bahasa Badui terhitung setara dengan di 'di' dalam bahasa Sunda baku. Penggunaan partikel-partikel lainnya seperti cenah, deuk, éta, ieu, jeung, kitu, tah dan si, tidak sama penggunaannya dengan bahasa Sunda baku. Selain itu, ada beberapa partikel yang tidak lazim ditemukan atau dipakai dalam bahasa Sunda baku, tetapi cukup umum dalam bahasa Badui, seperti contohnya: doang, laju dan ja.[18]
Dalam bidang morfologi atau bentuk-bentuk kata terdapat perbedaan dan persamaan. Prefiks sa- dalam bahasa Badui tidak selalu menunjukkan bentuk terikat yang memiliki fungsi gramatikal yang mirip dengan prefiks se- dalam bahasa Indonesia. Seperti pada kalimat ngalaksa sajumaah dalam bahasa Badui yang maknanya setara dengan kalimat ngalaksa dina poé jumaah dalam bahasa Sunda baku. Perbedaan lain yang sangat tampak yaitu pada penggunaan sufiks -an dan -na, kata di tengahna 'di tengahnya' dalam bahasa Sunda baku berubah menjadi di tengahan 'di tengahnya' dalam bahasa Badui. Kata kabéh (semua) dalam bahasa Badui cukup hanya mendapatkan sufiks -an saja sehingga menjadi kabéhan (semuanya). Sementara dalam bahasa Sunda baku: kabéhanana (semuanya).[18] Selain itu, kata berimbuhan di-/-an pada kata dibéjaan 'diberitahu' dalam bahasa Sunda baku, dalam bahasa Badui berubah menjadi dibéja-béja. Untuk prefiks di- pada kata dikira dalam bahasa Badui bisa menggantikan reduplikasi kira-kira 'kira-kira' dalam bahasa Sunda baku. Dan untuk prefiks per- dalam bahasa Indonesia, berpadanan dengan prefiks para- dalam bahasa Badui, contohnya pada kata perkawinan 'pernikahan' berubah menjadi parakawinan 'pernikahan'.[17]
Struktur dan tata bahasa Badui tidak jauh berbeda dengan struktur bahasa Sunda secara umum, sehingga struktur bahasanya masih dapat dipelajari dan dipahami secara baik oleh para penutur dialek bahasa Sunda lainnya.[40]
Bahasa Badui umumnya hanya mengenal pronomina atau kata ganti persona dalam bentuk bebas, bentuk terikat yang berupa proklitik dan enklitik hanya terdapat dalam persona ketiga tunggal atau jamak yang juga berfungsi sebagai pemarkah kepunyaan (khususnya bentuk sufiks -na). Selain itu, terdapat bentuk terikat berupa enklitik untuk persona pertama tunggal -ing dari bahasa Sunda kuno yang bersifat arkais dan kini sudah tidak digunakan lagi dalam bahasa Sunda modern termasuk bahasa Badui, umumnya, unsur gramatikal yang dibubuhi bentuk enklitik seperti ini kini dianggap sebagai monomorfemik, contohnya ambuing 'ibuku', anaking 'anakku' dan awaking 'badanku'.
Beberapa bentuk pronomina persona jamak dibentuk dengan cara menyisipkan infiks -ar- ke dalam pronomina persona tunggal, misal, untuk menyatakan pronomina persona kedua jamak, diciptakan dengan menyisipkan infiks -ar- ke dalam pronomina bebas dia menjadi daria. Hal ini berlaku bagi pronomina persona yang fonem awalnya berupa konsonan, sedangkan untuk pronomina persona yang diawali dengan fonem vokal, maka infiks -ar- akan berubah menjadi sufiks ar-, seperti contohnya pada pronomina persona ketiga jamak yang dibentuk dengan cara menambahkan sufiks ar- ke dalam pronomina bebas inyana menjadi arinyana.
Glos | Pronomina bebas
(PRO) |
Proklitik
(ERG) |
Enklitik
(ABS) |
Pemarkah kepunyaan
(POSS) |
---|---|---|---|---|
1SG 'saya' |
aing, ngaing | – | †-ing[d] | |
1SG 1PL.EXCL 'saya, kami' |
kami | – | – | – |
1PL.INCL 'kita' |
urang | – | – | – |
2SG 'Anda' |
sia, dia | na- | – | – |
2PL 'kalian' |
daria, dararia | – | – | |
3SG 'dia' |
diana, inyana | di- | -na | |
3PL 'mereka' |
darariana, arinyana |
Bentuk aing 'saya' yang mengalami nasalisasi (diucapkan secara sengau pada fonem pertama) menjadi ngaing adalah bentuk pronomina persona pertama tunggal yang biasanya digunakan untuk menunjukkan superioritas sang penutur, sementara bentuk persona kedua jamak dararia 'kalian' yang merupakan variasi dari daria (akar kata: dia 'Anda') adalah bentuk penegasan dengan cara menggandakan infiks -ar- menjadi -arar-.
Masyarakat Badui secara tradisional tidak mengamalkan budaya tulis, sehingga dalam pewarisan tradisi dilakukan secara oral atau lisan melalui tuturan dari generasi ke generasi, termasuk dalam hal kesusasteraan.[41] Sastra lisan Badui di kemudian hari banyak didokumentasikan oleh pihak luar.
Di bawah ini disajikan sebuah contoh teks berbahasa Badui yang berisi empat ungkapan atau idiom yang menggambarkan posisi bintang kidang (Orion) dalam penyusunan kalender pertanian Badui (pananggalan).[42][43]
Tanggal kidang turun kujang
apabila bintang kidang berada di ufuk timur, masyarakat harus memulai menebang semak-semak belukar dengan kujang (perkakas seperti parang)
Kidang ngarangsang kudu ngahuru
apabila posisi bintang kidang ngarangsang (seperti posisi matahari yang meninggi), masyarakat harus membakar sisa-sisa tebangan dan persiapan berladang
Kidang nyuhun atawa condong ka barat kudu ngaseuk
apabila bintang kidang diatas kepala atau sudah miring ke barat harus tanam padi
Kidang marem turun kungkang, ulah melak paré
apabila bintang kidang tidak lagi terlihat maka pantang untuk bertanam karena banyak hama serangga
Pada contoh di bawah ini ada sebuah cerita rakyat mengenai kisah permulaan keberadaan masyarakat Badui berjudul Mula Nagara Baduy (Ejaan asli/Van Ophuijsen: Moela Nagara Badoej) yang pernah diteliti dan kemudian ditranskripsikan oleh C.M. Pleyte, seorang kurator museum asal Belanda.[44]
Berikut sepenggal kisah Mula Nagara Baduy yang telah disesuaikan ejaannya ke dalam Ejaan Bahasa Sunda modern:[45]
Laju baé ngalayang noongan pitempateun. Ana nepi ka Banten, nya éta ka nagara Cibaduy téa, manggih leuweung suni serta batuna réa taréngtong, keusik-keusik aralus; jeung éta leuweung lega jasa. Tilok aya anu ngeusian kajaba satoa berhala leuweung kayaning maung, badak, bagong jeung réa-réa deui oray-oray anu galedé nu laleutik sapangeusining leuweung. Di dinya ratu deuk ngalereb jeung dulurna anu ngaranna Pucuk Umun. Teu kebel, ana ngalongok ka béh lebak, aya walungan gedé, caina beresih jasa. Laju diana mandi di dinya. Ana mandi ratu leungit jamangna nu rupa béo téh, gilig deui rupa manusa. Laju éta cai dingaranan Cibéo nepi ka kiwari, Sanggeusna mandi, laju pulang deui kana tempat nu réa batu jeung keusik téa. Di dinya ku ratu dingaranan Cikeusik, serta taretep Ratu jeung dulurna mabakan. Mana ngaran Cikeusik nepi ka kiwari, nya ti mangsa harita tatkala ratu mabakan. Ari éta ratu, caritana, turunan ti sawarga loka, ngaraton di Pajajaran. Kebel-kebel ratu téh baranakan pirang-pirang nya mabakan deui dina leuweung béh hilir, dingaranan Cikertawana nepi ka ayeuna. Anu matak dingaranan kitu, sabab mimitina ramé di dinya nya éta hartina: kerta ramé; wana leuweung. Ti dinya terus tumuluy nepi ka kiwari, tapi dina hiji-hiji tempat ngan diwidian opat puluh kuren. Demi paonamanana urang dinya, lamun aya satoa galak, maung, bagong, banténg, atawa oray, teu ilok diperegasa ku bedil, ngan dibeberik baé.
Terjemahan bebas:
Lantas melayang meninjau banyak tempat. Tatkala tiba di Banten, tiba di Negara Cibaduy, ditemukanlah hutan sunyi berbatu yang tidak rata, pasir-pasir yang lembut, dan luas sekali. Tiada yang menghuninya selain binatang liar seperti harimau, badak, babi hutan, dan masih banyak lagi ular-ular yang beraneka ragam ukurannya yang menempati keseluruhan hutan. Di sana sang ratu hendak bermalam bersama saudaranya yang bernama Pucuk Umun. Tak berselang lama, ketika ia menengok ke arah dataran rendah, terdapat sebuah bengawan, airnya jernih sekali. Kemudian ia mandi di sana. Saat sedang mandi, sang ratu kehilangan bajunya yang bercorak burung beo, tak ragu lagi rupa manusia. Lantas sungai tersebut diberi nama Cibeo hingga kini. Selepas mandi, pulanglah ia ke tempat yang berbatu dan pasir tadi. Di sana ratu memberi nama daerah tersebut Cikeusik, dan ratu menetap di sana membuatnya sebagai pemukiman baru. Demikianlah nama Cikeusik masih dipakai sampai sekarang, sejak namanya diberikan oleh ratu ketika meninggalinya. Sementara itu, ratu sendiri diceritakan merupakan turunan dari kahyangan, berkuasa di Pajajaran. Lama-lama ratu beranak banyak sehingga kolonisasinya terus berlanjut di daerah hilir, yang dinamakan Cikertawana hingga kini. Alasan dinamakan demikian, karena keramaian bermula di sana, kerta artinya ramai, wana artinya hutan. Dari sana terus berlanjut sampai sekarang, tetapi untuk setiap tempat hanya diperbolehkan untuk ditinggali empat puluh keluarga saja. Hal yang mendasarinya adalah, jikalau ada binatang buas, seperti harimau, babi hutan, banteng, atau ular, tak perlu dihalau menggunakan senjata, cukup dikejar saja.
— Cornelis M. Pleyte (1912), Badoejsche geesteskinderen
Dari penggalan teks di atas terdapat kata-kata bercetak tebal yang merupakan lema khas dialek Badui yang bentuknya berbeda dengan bahasa Sunda di daerah Parahyangan. Berikut senarainya:
Bahasa Badui | Bahasa Sunda baku | Arti | Ref. |
---|---|---|---|
jasa | pisan | sangat | [46] |
tilok, teu ilok | tara | jarang | [47] |
satoa | sato | binatang | [46] |
deuk | arék | hendak | [48] |
ngalereb | ngarereb | bermalam | [49] |
kebel | lila | lama | [50] |
diana | manéhna | dirinya | [50] |
jamangna | bajuna | bajunya | [51] |