Maninjau | |
---|---|
Danau Maninjau (Indonesia) دانااو مانينجاو (Jawi) | |
Letak | Sumatera Barat, Indonesia |
Koordinat | 0°19′S 100°12′E / 0.317°S 100.200°E |
Jenis perairan | Danau kaldera |
Bagian dari | Cekungan Antokan |
Aliran keluar utama | Sungai Batang Antokan |
Terletak di negara | Indonesia |
Panjang maksimal | 16 km (9,9 mi) |
Lebar maksimal | 7 km (4,3 mi) |
Area permukaan | 99,5 km2 (38,4 sq mi) |
Kedalaman rata-rata | 105 m (344 ft) |
Kedalaman maksimal | 165 m (541 ft) |
Volume air | 10,4 km3 (2,5 cu mi) |
Keliling1 | 52,68 km (32,73 mi) |
Ketinggian permukaan | 459 m (1.506 ft) |
1 Perkiraan. |
Danau Maninjau (berarti "pemandangan" atau "peninjauan" dalam bahasa Minangkabau) adalah sebuah danau kaldera di Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer (87 mi) sebelah utara Padang, ibu kota Sumatera Barat, 36 kilometer (22 mi) dari Bukittinggi, 27 kilometer (17 mi) dari Lubuk Basung, ibu kota Kabupaten Agam.
Kaldera Maninjau terbentuk dari letusan gunung berapi yang diperkirakan terjadi sekitar 52.000 tahun yang lalu.[1] Endapan dari letusan telah ditemukan dalam distribusi radial di sekitar Maninjau memanjang hingga 50 kilometer (31 mi) ke timur, 75 kilometer (47 mi) ke tenggara, dan barat ke garis pantai saat ini. Endapan tersebut diperkirakan tersebar di lebih dari 8,500 kilometer persegi (3,282 sq mi) dan memiliki volume 220–250 kilometer kubik (53–60 cu mi).[2] Kaldera memiliki panjang 20 kilometer (12 mi) dan lebar 8 kilometer (5,0 mi).[1]
Danau Maninjau merupakan sebuah danau berbentuk kaldera dengan ketinggian 459 meter di atas permukaan laut.[3] Danau Maninjau merupakan danau vulkanik karena terbentuk dari letusan besar gunung api yang menghamburkan kurang lebih 220–250 km3 material piroklastik. Kaldera tersebut terbentuk karena letusan gunung api strato komposit yang berkembang di zona tektonik sistem Sesar Besar Sumatra yang bernama Gunung Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Kaldera Maninjau (34,5 km x 12 km) ditempati oleh sebuah danau yang berukuran 8 km x 16,5 km (132 km2). Dinding kaldera Maninjau mempunyai 459 m dari permukaan danau yang mempunyai kedalaman mencapai 157 m (Verbeek, 1883 dalam Pribadi, A. dkk., 2007).[4]
Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan.[5][butuh rujukan]
Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Sri Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Sri Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.[butuh rujukan]
Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km² yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Di sekitar Danau Maninjau terdapat fasilitas wisata, seperti Hotel(Maninjau Indah Hotel, Pasir Panjang Permai) serta penginapan dan restoran.[butuh rujukan]
Danau Maninjau memiliki luas 99,5 kilometer persegi (38,4 sq mi), dengan panjang sekitar 16 kilometer (9,9 mi) dan lebar 7 kilometer (4,3 mi). Kedalaman rata-rata adalah 105 meter (344 ft), dengan kedalaman maksimum 165 meter (541 ft). Outlet alami untuk kelebihan air adalah sungai Antokan, yang terletak di sisi barat danau. Ini adalah satu-satunya danau di Sumatera yang memiliki outlet alami ke pantai barat. Sejak tahun 1983, air danau ini telah digunakan untuk menghasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Air Maninjau untuk Sumatera Barat, yang dihasilkan sekitar 68 MW pada beban maksimum.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Maninjau beretnis Minangkabau. Desa-desa di tepi danau antara lain Maninjau dan Bayur.
Maninjau adalah tujuan wisata terkenal di wilayah ini karena keindahan pemandangan dan iklimnya yang sejuk. Ini juga merupakan situs untuk paralayang.
Dua spesies endemik yang dikumpulkan dari danau untuk konsumsi lokal dan untuk ekspor ke pasar di luar kawah adalah pensi, sejenis kerang kecil, dan palai rinuak, sejenis ikan kecil. Salah satu cara menyiapkan palai rinuak adalah dengan memanggang campuran ikan bersama kelapa dan bumbu, dibungkus dengan daun pisang.
Danau ini digunakan untuk akuakultur, menggunakan keramba jaring apung karamba. Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1992 dan, pada tahun 1997, ada lebih dari 2.000 unit kurungan dengan lebih dari 600 rumah tangga yang terlibat. Setiap kandang dapat memiliki 3-4 siklus produksi setiap tahun. Ada bukti pencemaran di sekitar beberapa area karamba.
Di tepi danau, penggunaan lahan meliputi sawah di rawa-rawa dan lereng yang lebih rendah. Desa-desa tersebut dibatasi menanjak oleh sabuk besar taman pohon seperti hutan, yang larut ke hutan pegunungan atas di bagian lereng yang paling curam hingga ke punggungan kaldera.[6]
Kebun pohon mencakup tiga komponen khas:[6]
Presiden pertama Indonesia, Sukarno, mengunjungi daerah itu pada awal Juni 1948. Sebuah pantun yang dia tulis tentang danau berbunyi:[7]
Jangan dimakan arai pinang,
Kalau tidak dengan sirih hijau.
Jangan datang ke Ranah Minang,
Kalau tidak singgah ke Maninjau.