Daun berlangkas
| |
---|---|
Polyscias fruticosa | |
Taksonomi | |
Superkerajaan | Eukaryota |
Kerajaan | Plantae |
Divisi | Tracheophytes |
Ordo | Apiales |
Famili | Araliaceae |
Genus | Polyscias |
Spesies | Polyscias fruticosa Harms, 1894 |
Tata nama | |
Basionim | Panax fruticosus (en) |
Sinonim takson | Referensi:[1]
|
Species |
Daun berlangkas (Polyscias fruticosa) adalah tumbuhan sayur-sayuran yang dimanfaatkan sebagai lalapan. Ia berbentuk perdu, dan daunnya menyerupai kedondong (Spondias pinnata (L.f.)). Oleh sebab itu, tumbuhan ini juga disebut dengan kedondong laut. Daun berlangkas dikenal dengan nama-nama seperti daun papéda papua (Amb.), kadondong laut, kadondong cina (Sund.), kědondong laut (Jw.), kadundung patedhan (Mad.), bombu, puding (Melayu dan Mak.), keudem rintèk (Minh.), gurabati, tampusong (Tern.), dan déwu papua.[2][3]
Di luar negeri, daun berlangkas dikenal dengan nama kuku garuda, pokok teh (Mly.), ming aralia, aralia (Ing.), dan bani, makan, juga papua (Fil.).[4]
Daun berlangkas, mapun daun kedondong ini adalah perdu tegak[2] atau pohon kecil yang tingginya mencapai 2-3 m. Batangnya ini tegak, berkayu, bulat, dan hijau kekuningan. Daunnya bulat telur, rata atau keriting, tepinya bergerigi halus tersusun ganda. Pertulangan daun menyirip, berukuran 8–15 cm × 3–7 cm.[3][4] Bunganya berjumlah 5-8 kuntum yang tersusun dalam payung, dan perhiasan bunganya berwarna hijau dan berukuran kecil.[5] Tumbuh di ketiak daun, kelopaknya berbentuk mangkuk, bertaju, kelopak bunga berbentuk mangkuk, mahkota bunga berbentuk bulat telur, halus, benang sari silindris, dan berwarna kuning. Buahnya tergolong buah buni, bulat, dan berwarna hijau keunguan. Bijinya bulat pipih berwarna hitam. Sedangkan akarnya tergolong akar tunggang berwarna coklat.[3]
Daun berlangkas berasal dari daerah Pasifik, dan sudah menyebar hingga ke Eropa. Di Indonesia, banyak ditanam di kebun, halaman, sepanjang jalan, dan batas-batas pekarangan. Bertumbuh baik di pekarangan.[5] Di Jawa, daun berlangkas sering ditanam sebagai tanaman pembatas. Di Vietnam, daun berlangkas ditanam sebagai tanaman obat.[1] Menurut Heyne mengutip Rumphius bahwa tumbuhan ini langsung dimasukkan ke kota Ternate, Kota Ambon sebagai tanaman hias. Yang unik, daun berlangkas ini dipergunakan sebagai tanaman hias di dalam gedung pengadilan pada masa penjajahan Kolonial Belanda di Ambon. Selain itu pula, tumbuhan ini juga diperkenalkan sebagai tanaman obat.[2]
Semak ini dipergunakan sebagai lalaban. Diperjualbelikan terutama di pasar-pasar di Jawa Barat. Penduduk mengambil daunnya dari hasil menanam di sekitar rumah mereka, dan acap kali dpergunakan sebagai tanaman pagar. Karena daunnya indah berwarna-warni, spesies ini sering dijadikan sebagai hiasan.[5] Selain itu, daun, pucuk muda, dan akar dikonsumsi mentah-mentah atau dimasak terlebih dahulu. Dahulu, di Ternate, masyarakat memasak daun berlangkas dengan ikan dan daging sebagai campuran sayur. Rumphius mengataan bahwa rasa seluruh bagian daripada daun berlangkas adalah tajam. Sementara itu, W.G. Boorsma sebagaimana dikutip oleh Heyne, mengatakan kalau akar daun berlangkas rasanya tawar. Akar dan daun dilumat dan direbus dan disaring, dapat dipergunakan sebagai peluruh air seni.[2] Tumbuhan ini juga dipergunakans sebagai obat di Vietnam, Jawa, Fiji, dan Kamboja sebagai analgesik, obat penurun panas, dan pelancar air seni. Tangkainya dipergunakan sebagai dupa oleh pendeta Buddha di Kamboja.[1]
Tumbuhan ini juga bernilai ekonomi, di mana sejak tahun 1970 petani di daerah Kabupaten Sukabumi menanam daun kedondong sebagai tanaman hias yang dijual ke Korea dan Jepang dengan harga sebatang pohon harganya 10 ribu Rupiah untuk tanaman berumur 18 bulan.[6]