Gadung | |
---|---|
Daun dan batang gadung, Dioscorea hispida dari Prembun, Tambak, Banyumas | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | Plantae |
Klad: | Tracheophyta |
Klad: | Angiospermae |
Klad: | Monokotil |
Ordo: | Dioscoreales |
Famili: | Dioscoreaceae |
Genus: | Dioscorea |
Spesies: | D. hispida
|
Nama binomial | |
Dioscorea hispida | |
Sinonim | |
Referensi:[2] |
Gadung (Dioscorea hispida) adalah sejenis tumbuhan berumbi dari suku uwi-uwian (Dioscoreaceae) yang umumnya dipakai sebagai tanaman pangan. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, tetapi mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya.[5] Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Umbinya dapat pula dijadikan arak (difermentasi) sehingga di Malaysia dikenal pula sebagai ubi arak, selain taring pelandok.
Di Indonesia, tumbuhan ini memiliki nama seperti janèng (Ac.),[6] janiang (Min.), bitule (Gor.), gadu (Bm.), gadung (Bl., Jw., Btw., Sd.), ghâddhung (Mdr.) iwi (Smb.), kapak (Sas.), salapa (Bgs.) dan sikapa (Mak.).[7]
Untuk membedakan antar-spesies dalam suku uwi-uwian, dapat dibedakan berdasarkan arah lilitan batang, bentuk batang, ada tidaknya duri pada batang, bentuk dan jumlah helaian daun, ada tidaknya buah di atas atau biasa disebut “katak” atau “aerial bulbil”.[8]
Tumbuhan gadung berbatang merambat dan memanjat, panjang 5–20 m. Arah rambatannya selalu berputar ke kiri (melawan arah jarum jam, jika dilihat dari atas). Ciri khas ini penting untuk membedakannya dari gembili (D. aculeata) yang memiliki penampilan mirip namun batangnya berputar ke kanan. Gadung merambat pada tumbuhan berbatang keras.[8]
Batangnya kurus ramping, setebal 0,5–1 cm, ditumbuhi duri atau tidak, hijau keabu-abuan. Daun-daunnya terletak berseling, dengan tiga anak daun menjari, bentuk bundar telur atau bundar telur sungsang, tipis bagai kertas. Bunga jantan terkumpul dalam tandan di ketiak; bunga betina majemuk berbentuk bulir. Mahkota bunganya berwarna kuning, benang sarinya berjumlah enam, dan berwarna kuning juga.[7] Umbinya terbentuk dalam tanah, berjumlah banyak dan tak beraturan bentuknya, menggerombol dalam kumpulan hingga selebar 25 cm.[9] Sementara buahnya, berbentuk elips, berdaging, berdiameter ± 1 cm, dan berwarna cokelat.[7]
Ada beberapa varietasnya, di antaranya yang berumbi putih; yang besar dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan (Jw.) sementara yang kecil berlekuk-lekuk disebut gadung suntil dan yang berumbi kuning, antara lain; gadung kuning, gadung kunyit, atau gadung padi (Mly.).[9]
Umbi gadung dikenal sangat beracun. Umbi ini digunakan sebagai racun ikan atau mata panah. Sepotong umbi sebesar apel cukup untuk membunuh seorang pria dalam waktu 6 jam. Efek pertama berupa rasa tidak nyaman di tenggorokan, yang berangsur menjadi rasa terbakar, diikuti oleh pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.[10]
Meski demikian di Indonesia dan Cina, parutan umbi gadung ini digunakan untuk mengobati penyakit kusta tahap awal, kutil, kapalan dan mata ikan. Bersama dengan gadung cina (Smilax china L.), umbi gadung dipakai untuk mengobati luka-luka akibat sifilis. Di Thailand, irisan dari umbi gadung dioleskan untuk mengurangi kejang perut dan kolik, dan untuk menghilangkan nanah dari luka-luka. Di Filipina dan Cina, umbi ini digunakan untuk meringankan arthritis dan reumatik,[7] dan untuk membersihkan luka binatang yang dipenuhi belatung.[10]
Umbi Dioscorea (genus uwi-uwian) mengandung lendir kental terdiri atas glikoprotein dan polisakarida yang larut pada air. Glikoprotein dan polisakarida merupakan bahan bioaktif yang berfungsi sebagai serat pangan larut air dan bersifat hidrokoloid yang bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar total kolesterol, terutama kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein).[8] Di luar itu, ia juga mengandung diosgenin yang telah lama dipergunakan sebagai bahan baku pil pencegah kehamilan.[11]
Umbi gadung dipergunakan sebagai makanan pokok.[12] Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1628, di saat Batavia (sekarang Jakarta) dikepung, masyarakat memakan singkong dan gadung.[13] Pada masa Rumphius, beberapa jenis Dioscorea juga ikut dimakan. Ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat yang memakan singkong hutan liar di Priangan dan sebagian Jawa Timur pada 1830. Kebiasaan ini diperkuat bahwa di Jawa Tengah pun, memakan nasi adalah kebiasaan yang belum umum di sana. Ini diperkuat dengan kebiasaan makan nasi yang mulai menjalar pada 1800 Masehi. Pada masa itu, serdadu VOC yang sering bertugas ke kampung-kampung sering membawa nasi untuk makanan mereka. Ini memberi kejelasan bagi kita bahwa nasi belum umum hingga bagian pertama abad ke-19 dan umbi-umbian semacam gadung umum dimakan pada masa penjajahan Kolonial Belanda.[13]
Gadung terkenal beracun dan mengandung alkaloid dioskorina (dioscorine) yang menyebabkan pusing-pusing.[12] Di Nusa Tenggara dan Maluku, biasa digunakan sebagai makanan pokok sebagai pengganti jagung dan sagu terutama di wilayah-wilayah kering.[14] Pada tahun 80-an, gadung dapat ditemui di pasar-pasar Indonesia -terutama di Pulau Jawa- sebagai keripik gadung.[12] Di zaman sekarang ini, hanya keripiknyalah yang dimakan.[8] Keripik gadung banyak dijual di Kuningan, Jawa Barat dan rasanya gurih.[15] Pengolahan serupa juga terjadi di Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul di Yogyakarta. Tanaman ini banyak didapati di daerah setempat. Namun begitu, pemasarannya masih di pasar tradisional dan toko-toko kecil.[16] Di luar negeri, di Baling, Kedah, Malaysia, ubi gadung ini juga dijadikan sebagai makanan yang dikukus, setelah melalui berbagai proses. Di sana, ubi dimakan bersama campuran sedikit kelapa parut, garam, dan gula.[17] Sampai kini, gadung masih dianggap sebagai makanan orang miskin. Potensinya begitu tinggi, meski masih hanya diolah sebagai makanan ringan saja. Padahal ianya memiliki potensi yang tak kalah dengan tanaman lainnya. Menurut sebuah penelitian, sehektare tanaman gadung dapat menghasilkan 40 ton tepung gadung. Tepung gadung bisa diolah sebagai nasi gadung, roti gadung, kek, hingga brownies berbahan dasar gadung.[11]
Berikut adalah cara menghilangkan racun dari gadung:[12]
Selain itu pula, ada alternatif pembersihan yang dikerjakan masyarakat Baling, Malaysia. Setelah dikupas, gadung mesti direndam dan dibasuh dengan cermat. Tujuannya adalah agar getah berbisa yang ada pada umbinya hilang. Pembersihannya lebih kurang ialah selama 3–4 hari, dan umbinya itu harus diiris tipis. Ini terus dilakukan sampai umbi kuningnya berubah warna jadi putih. Bahkan setelah menjadi putih pun, umbinya masih harus dilapisi garam untuk membuang segala sisa-sisa racun yang masih terkandung di dalamnya.[17]
Apabila pengolahannya tidak betul, maka akan menimbulkan rasa sakit seperti memakan talas (mentah). Keracunan gadung dapat diobati dengan air kelapa muda.[12]
Sisa pengolahan tepung gadung bisa digunakan untuk insektisida. Bunga gadung yang berwarna kuning tersebut dapat mewangikan pakaian dan bisa dipakai untuk hiasan rambut.[14] Oleh sebab itu, orang Bali menggunakan ini untuk mewangikan pakaian, rambut, dan kepala. Getahnya digunakan dalam proses pembuatan tali rami serta untuk memutihkan pakaian.[15] Sementara, untuk pembuatan etanol, kandungan metabolit primer gadung menjadi sumber bahan baku pembuatan etanol atau bahan bakar nabati.[11]
Di Baling, Malaysia, ubi gadung ini dipakai pula oleh masyarakatnya sebagai pelicin wajah. Amalan ini telah dilaksanakan sejak daripada orang-orang zaman dahulu.[17]
Untuk menanam gadung, maka pertama-tama buatlah lubang seukuran 50 × 50 cm. Hendaknya ditanam pada awal musim hujan. Tanah yang diinginkan gadung haruslah gembur. Karena batangnya merambat, bisa ditanam sepanjang pagar.[15] Setelah itu, campurlah sampah kebun -sebagai kompos- ke dalam tanah tersebut. Usahakan agar umbi kelak terbentuk tidak akan keluar dari tanah dengan warna hijau, karena itu pertanda kalau racunnya sudah pekat. Akibatnya, gadung yang kita tanam tersebut tidak bisa dimakan karena racunnya yang sudah pekat.[12][14] Racun ini larut dalam air.[15] Adapun, umbi yang telah bertunas itulah yang digunakan untuk bibit. Hendaknya, ditanam menjelang musim hujan. Setelah berusia 1 tahun, barulah dipanen. Dalam pada itu, sebatang umbi yang berusia berusia satu tahun dapat menghasilkan umbi yang bisa mencapai 5 kg beratnya.[11] Panen dilakukan dengan tanjau atau garpu tanah.[14]
Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 800 mdpl, walau bisa ditemui pada ketinggian 1200 mdpl. Umumnya tidak dapat tumbuh pada daerah dengan suhu rata-rata di bawah 20 °C. Kebutuhan curah hujan paling rendah 1000 mm/tahun dengan musim kemarau tidak lebih dari 2-4 bulan.[15]
Dari nama gadung muncul istilah "gadungan" (yang berarti: palsu, tiruan), karena gadung serupa dengan ubi gembili tetapi umbinya beracun, sehingga "membohongi" orang yang mengonsumsinya. Di Jakarta Timur, ada daerah yang bernama Pulo Gadung, yang asal katanya mengacu kepada nama tanaman ini.[18] Sedangkan ular gadung (Ahaetulla prasina) dinamai demikian karena warna dan bentuk tubuhnya menyerupai pucuk tanaman gadung yang kurus lampai.