Keadaan darurat di Pakistan diumumkan oleh Presiden Jenderal Pervez Musharraf mulai tanggal 3 November 2007[1] dan berakhir pada tanggal 15 Desember 2007.[2] Akibat dari keadaan darurat ini antara lain pembekuan konstitusi Pakistan,[3] pemecatan Ketua Mahkamah Agung Pakistan yang akan segera memutuskan sah tidaknya pencalonan kepresidenan Musharraf,[4] pemutusan komunikasi di seluruh kota besar,[5] serta pengepungan kantor Mahkamah Agung beserta Hakim-hakim Agung yang ada di dalamnya.[1][5] Musharraf juga memberlakukan undang-undang baru di Pakistan.[3] Para hakim agung menolak memberlakukan undang-undang ini,[3] sehingga 11 hakim agung dikenakan tahanan rumah.[1] Pemerintah Pakistan juga melarang seluruh stasiun televisi swasta untuk mengudara.[6] Setidaknya 2.000 orang telah ditahan, terdiri pengacara, hakim, aktivis politik, pekerja HAM, dan wartawan.[7] Di antara yang ditahan adalah petugas PBB Asma Jahangir, pemimpin partai oposisi Imran Khan serta tokoh oposisi dan mantan perdana menteri Benazir Bhutto.[7][8][9]
Pada tanggal 4 November, Musharraf memberikan pidato kenegaraan di televisi negara, PTV. Ia menyebutkan alasan keadaan darurat ini adalah terorisme dan ekstremisme yang mengancam masa depan Pakistan.[10]
Pemerintah Amerika Serikat menyatakan "amat terganggu" dengan adanya perkembangan ini, dan menganggap pemberlakuan ini merupakan "upaya di luar undang-undang".[4] Hal senada juga dinyatakan negara-negara lain, yang menganggap pemberlakuan keadaan darurat ini bertentangan dengan kebebasan dan demokrasi. Louise Arbour, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai situasi ini. Seorang petugas PBB, Asma Jahangir ikut ditahan oleh pemerintah Pakistan. Arbour juga menekankan PBB melarang tindak penyiksaan tahanan serta penangkapan secara sembarangan, termasuk selama adanya keadaan darurat.[11]
Pemberlakuan ini terjadi menjelang keputusan Mahkamah Agung mengenai sah tidaknya kemenangan Musharraf dalam pemilu pada bulan Oktober 2007, dan BBC melaporkan kemungkinan Mahkamah Agung hendak memutuskan bahwa pencalonan Musharraf tidak sah.[1]