Kelangkaan buatan

Kelangkaan buatan adalah kelangkaan yang terjadi meski produksi atau tingkat berbaginya sudah mencukupi. Penyebabnya adalah perdagangan monopoli, misalnya struktur harga yang dimungkinkan oleh undang-undang yang membatasi persaingan atau biaya tetap yang tinggi di pasar tertentu. Inefisiensi yang terkait dengan kelangkaan buatan secara formal dikenal sebagai kerugian bobot mati.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]
Kurva kemungkinan produksi yang menunjukkan trade-off

Dalam sistem kapitalis, perusahaan akan dianggap sukses jika meraup untung. Untuk meraup keuntungan maksimal, produsen mungkin membatasi produksi daripada memastikan pemanfaatan sumber daya secara maksimal. Strategi membatasi produksi oleh perusahaan untuk meraup untung dalam sistem kapitalis atau campuran disebut menciptakan kelangkaan buatan.[1]

Kelangkaan buatan pada dasarnya menggambarkan situasi ketika produsen atau pemilik barang membatasi ketersediaan barang tersebut kepada pihak lain melebihi apa yang benar-benar dibutuhkan. Gagasan dan informasi adalah contoh utama dari buah kelangkaan yang tidak perlu dari "kelangkan buatan" seperti yang diilustrasikan dalam kutipan berikut:

Jika kamu punya apel, dan aku juga punya apel, dan kita bertukar apel, maka kamu dan aku masing-masing memiliki satu apel. Namun jika kamu punya gagasan dan aku punya gagasan, dan kita bertukar gagasan, maka kita akan memiliki dua gagasan.

Meskipun gagasan seperti yang diilustrasikan di atas dapat dibagikan secara mudah daripada barang fisik, gagasan tersebut sering kali diperlakukan sebagai karya yang kreatif, khas, langka, atau bahkan penemuan baru, dan oleh karena itu diberikan perlindungankekayaan intelektual agar pencipta dapat memperoleh keuntungan dari ide mereka sendiri.[3]

Penyebab kelangkaan buatan

[sunting | sunting sumber]

Persaingan ketat antarpemasok cenderung membuat harga jual mendekati biaya produksi marginal, ditambah keuntungan yang membuat masuk pasar lebih berharga dibandingkan dengan peluang lainnya. Kompetisi yang tidak memadai dapat menyebabkan pemasok menggunakan kekuatan pasar yang cukup untuk membatasi pasokan. Misalnya monopoli dagang, dengan satu produsen memiliki kendali penuh atas pasokan dan dapat memperoleh harga monopoli. Oligopoli – beberapa produsen – juga dapat mempertahankan kekurangan pasokan jika tidak ada produsen yang berupaya memperoleh pangsa pasar dengan harga lebih rendah dan volume lebih tinggi.

Kurangnya persaingan pasokan dapat timbul dalam berbagai cara:

  • Kartel - kelompok yang secara eksplisit setuju untuk membatasi pasokan. Hal ini biasanya ilegal berdasarkan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, tetapi beberapa kartel disetujui oleh pemerintah.
  • Hambatan masuk menyulitkan produsen baru memasuki pasar. Dapat melekat pada penyelenggaraan bisnis baru (seperti biaya pembangunan pabrik baru), peraturan pemerintah, atau sengaja dibuat (terkadang secara ilegal) oleh pemasok lama untuk mengurangi persaingan.
  • Produsen tidak tertarik pada pasar karena ekspektasi margin keuntungan yang rendah dibandingkan peluang lainnya
  • Monopoli dagang yang diamanatkan undang-undang untuk mendorong inovasi dan membuat bisnis tertentu bermanfaat
    • Hak cipta yang melarang penggandaan atau akses ke sumber. Perangkat lunak komersial adalah contohnya. Perangkat lunak copyleft adalah upaya untuk melawan hak cipta, yang pendukungnya menggunakan lisensi hak cipta untuk menjamin hak menggandakan, mengakses, melihat, dan mengubah kode sumber, dan mengizinkan orang lain melakukan hal yang sama terhadap turunan kode tersebut.[4] Produsen berupaya untuk memaksakan untuk membayar perangkat lunak komersial dan mempersulit pelanggaran hak cipta, termasuk mengendalikan akses fisik terhadap salinan, perlindungan salinan dan teknologi manajemen hak digital (DRM), paywall,[5] dan gangguan terhadap pasar ilegal (misalnya surat somasi, peracunan torrent).
    • Paten untuk barang bermanfaat

Ada produk (misalnya karya seni, token yang tidak dapat dipertukarkan, mobil mewah) yang diproduksi khusus (misal "edisi terbatas"), dan dapat memperoleh harga monopoli. Hal ini dapat berhasil jika barang substitusi tidak ada maupun kurang diinginkan atau identitas produsen dianggap penting. Semisal, lukisan Mona Lisa yang asli tentu hanya satu padahal karya tersebut sudah lepas dari hak cipta sehingga tersedia salinan yang lebih murah, bahkan gratis. Sebuah mobil super mewah mungkin diproduksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk memanfaatkan reputasi merek dan sulit ditiru desain tersebut, sekalipun tidak dilindungi oleh hak kekayaan intelektual.

Nonprodusen dapat menciptakan kelangkaan buatan dan mengambil harga monopoli (setidaknya untuk sementara) dengan menimbun barang atau memojokkan pasar pada komoditas tertentu.

Pemerintah menggunakan berbagai jenis dukungan harga yang dapat memicu kelangkaan buatan, termasuk pembayaran nonproduksi, pembelian oleh pemerintah dengan harga terjangkau, dan bahkan pemusnahan. Hal ini biasanya dilakukan di pasar pertanian untuk membantu petani. Contoh:

  • Undang-Undang Penyesuaian Pertanian tahun 1933 di Amerika Serikat selama Depresi Besar
  • Pemusnahan kopi oleh Dewan Kopi Nasional Brasil.[6][7]
  • Konversi anggur oleh pemerintah Prancis menjadi etanol industri
  • Uni Eropa menjamin pembelian komoditas pertanian tertentu dengan harga di bawah harga intervensi, sehingga kadang-kadang terjadi surplus mentega.
  • Commodity Credit Corporation, BUMN milik pemerintah AS, membeli produk susu sejak masa Perang Dunia II hingga tahun 1990-an, untuk memproduksi keju
  • Kuota produksi pertanian, dimana melampaui batas produksi dapat didenda
  • Kuota impor

Pembatasan imigrasi secara buatan mengurangi pasokan tenaga kerja .

Argumentasi

[sunting | sunting sumber]

Pembelaan

[sunting | sunting sumber]

Kelangkaan buatan dianggap perlu untuk mendorong pengembangan barang serta mencegah menipisnya sumber daya. Misalnya dalam informasi digital, menyalin informasi secara tak terbatas mungkin tidak memakan banyak biaya, namun mungkin diperlukan investasi besar untuk mengembangkannya. Pada industri farmasi, produksi sebagian besar obat dalam skala besar tidaklah mahal, tetapi mengembangkan obat yang aman dan ampuh bisa sangat mahal. Biasanya, perusahaan obat memiliki margin keuntungan yang menghasilkan kelebihan keuntungan jauh lebih banyak daripada yang diperlukan untuk membayar kembali investasi awal mereka. Ada pendapat bahwa imbalan tinggi ini menarik lebih banyak investasi dan tenaga kerja berbakat, sehingga meningkatkan laju pengembangan obat-obatan . Paten akan memberi hak eksklusif untuk menjual obat baru dalam jangka waktu tertentu. Setelah mengambil keuntungan dari kelangkaan buatan yang ditegakkan secara hukum, paten tersebut akan habis masa berlakunya, dan perusahaan lain dapat membuat versi generik, dan ikut bersaing di pasar bebas.[butuh rujukan]

Tentangan

[sunting | sunting sumber]
Copying is Not Theft karya Nina Paley
Ada pendapat bahwa hak cipta tidak sah karena, tak seperti kekayaan fisik, kekayaan intelektual tidaklah selangka itu dan dianggap sebuah fiksi hukum yang dibuat oleh negara. Klaimnya, pelanggaran hak cipta, tidaklah seperti pencurian, karena tak menghilangkan korban atas barang aslinya.[8][9][10]

Sayap kanan

[sunting | sunting sumber]

Kelompok liberal dan libertarian klasik menentang kelangkaan buatan dengan alasan bahwa tiadanya kelangkaan fisik berarti mereka tidak tunduk pada alasan yang sama di balik bentuk materiil kepemilikan pribadi, dan bahwa sebagian besar contoh kelangkaan buatan , seperti kekayaan intelektual, adalah perbuatan mengada-ada oleh negara yang membatasi hak-hak individu.[11]

Argumen liberalisme ekonomi yang menentang kelangkaan buatan adalah, jika tidak ada kelangkaan buatan, individu dan badan usaha dapat bebas membuat dan mengembangkan alat berdasarkan kebutuhan mereka sendiri. Misalnya, jika perusahaan membutuhkan sebuah sistem pengenalan wajah, mereka membayar agar program tersebut bisa diubah atau dikembangkan sesuai kebutuhan. Di sini, perusahaan tidak akan meraup untung dari sistemnya, tetapi dengan peningkatan efisiensi yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Melimpahnya program yang digunakan untuk sistem tersebut bisa menekan biaya operasional bagi pengembang serta bisnis lain yang menggunakan program baru tersebut. Biaya lebih rendah bagi sebuah bisnis akan menghasilkan harga yang tetap terjangkau di pasar bebas yang kompetitif. Harga rendah dari pemasok juga akan meningkatkan keuntungan bagi pengembang aslinya. Dalam jumlah besar, bisnis akan terus membayar untuk meningkatkannya sesuai kebutuhan, dengan meningkatkan keuntungan. Seiring waktu, usaha rintisan akan lebih cepat menghasilkan laba atas investasi, dan konsumen hilir dapat merasakan manfaat program yang sesuai dengan kebutuhan mereka lebih baik daripada yang dapat diprediksi oleh pengembang program mana pun. Ini adalah alasan umum di balik perangkat lunak sumber terbuka.[12] :20

Sayap kiri

[sunting | sunting sumber]

Kaum sosial liberalis, sosialis, dan anarkis menganggap bahwa kelangkaan buatan hanya menguntungkan satu pihak yakni pemilik dan kurang menguntungkan konsumen, karena memungkinkan pemilik mengkapitalisasi gagasan dan produk yang bukan merupakan "properti" fisik.

Kaum sosialis juga mengkritik keras "produksi yang dianggap boros secara sosial" atau "produksi barang mewah" (misalnya berlian atau mobil mewah). Produksi semacam ini mengarah pada kelangkaan barang-barang yang berguna secara sosial karena sumber daya alam dan manusia dieksploitasi untuk memproduksi barang-barang tersebut. Misalnya, saat kapitalisme menyebabkan tumbuhnya aktivitas berbasis uang seperti layanan perbankan dan ritel, upaya remediasi untuk menangani masalah serikat buruh, dan aktivitas serupa lainnya untuk melindungi kapitalisme seperti penelitian senjata dan perusahaan keamanan; kaum sosialis berpendapat bahwa alokasi sumber daya untuk kegiatan-kegiatan ini tidak bermanfaat secara sosial.[1]

Kaum sosialis juga berpendapat bahwa bukan hanya kelangkaan buatan tetapi makna "kelangkaan" itu sendiri merupakan ciptaan kapitalis karena segala jenis kekayaan dianggap sebagai buah dari gaya hidup nomaden ketika peradaban manusia prasejarah masih dalam tahap pemburu-pengumpul.[1] Bersama dengan beberapa libertarian pasar bebas dan anarkis, mereka terus mendukung ekonomi berbagi dan ekonomi pasca-kelangkaan, yang sama-sama mempertanyakan makna sesungguhnya "kelangkaan" barang fisik dan intelektual seperti yang saat ini disebabkan oleh budaya, birokrasi, atau ekonomi.

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Cox, Robin (April 1998). "Artificial Scarcity". The Socialist Standard. 93 (1124).  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "worldsocialism" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ Phi Kappa Phi (1952). Phi Kappa Phi journal. 32–34. Honor Society of Phi Kappa Phi. hlm. 45. 
  3. ^ Lévêque, F., Shelanski, H. A., & Elgar, E., Antitrust, Patents, and Copyright: EU and US Perspectives (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2005), p. 165.
  4. ^ "What is Copyleft?". Free Software Foundation, Inc. Diakses tanggal 2022-09-28. 
  5. ^ Sullivan, John L. (20 June 2016). "Software and Artificial Scarcity in Digital Media". The Political Economy of Communication (dalam bahasa Inggris). 4 (1). Diakses tanggal 3 May 2017. 
  6. ^ "Brazil: Destroy! Destroy!". 6 June 1932. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 February 2020. Diakses tanggal 17 August 2021. Ruthlessly resolved to force coffee prices up, Brazil's National Coffee Council continues to burn coffee 
  7. ^ "$30,000,000 of Coffee Destroyed by Brazil In Year Under a Price-Stabilization Plan". The New York Times. 12 June 1932. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 August 2021. Diakses tanggal 17 August 2021. Brazil's program of destruction of coffee to support the price of that commodity 
  8. ^ Kinsella, Stephan Against Intellectual Property (2008) Ludwig von Mises Institute.
  9. ^ Green, Stuart P. When Stealing Isn’t Stealing (2012) The New York Times
  10. ^ Paley, Nina Copying Is Not Theft (2010) Techdirt
  11. ^ Palmer, T. G. (1990). "Are Patents and Copyrights Morally Justified? The Philosophy of Property Rights and Ideal Objects" (PDF). Harvard Journal of Law and Public Policy. 13 (3). 
  12. ^ Stalder, F., Open Cultures and the Nature of Networks (Frankfurt am Main: Revolver—Archiv für aktuelle Kunst, 2005), p. 20.