Keraton Kasepuhan | |
---|---|
Informasi umum | |
Jenis | Istana/keraton |
Alamat | Jalan Kasepuhan 43, Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon |
Kota | Kota Cirebon |
Negara | indonesia |
Koordinat | 6°43′35″S 108°34′15″E / 6.726290847074585°S 108.57091691627097°E |
Diresmikan | 1430–1529 M |
Keraton Kasepuhan adalah keraton yang terletak di kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya.[1]
Keraton Kasepuhan adalah bangunan yang dahulu bernama keraton Pakungwati[2] yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta tersebut saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana[3][4][5][6] dan kompleks keraton Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 M.[7] Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama dia diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.[8]
Unduh peta tata letak keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan merupakan salah satu dari bangunan peninggalan kesultanan Cirebon yang masih terawat dengan baik, seperti halnya keraton-keraton yang ada di wilayah Cirebon, bangunan keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara .
Di depan keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan dan juga sebagai titik pusat tata letak kompleks pemerintahan keraton. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan juga pentas perayaan kesultanan lalu juga sebagai tempat rakyat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman dari Sultan.
Model bentuk keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model tata letak keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Keraton Kasepuhan memiliki dua buah pintu gerbang, pintu gerbang utama keraton Kasepuhan terletak di sebelah utara dan pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks. Gerbang utara disebut Kreteg Pangrawit (bahasa Indonesia: jembatan baik) berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut Lawang sanga (bahasa Indonesia: pintu sembilan). Setelah melewati Kreteg Pangrawit akan sampai di bagian depan keraton, di bagian ini terdapat dua bangunan yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
Bangunan Pancaratna berada di kiri depan kompleks arah barat berdenah persegi panjang dengan ukuran 8 × 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa yang diterima oleh Demang atau Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar terali besi.
Pancaniti berarti jalan atasan, merupakan pendopo sebelah timur yang merupakan tempat para perwira keraton melatih para prajurit ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun dan sebagai tempat pengadilan. Bangunan ini berukuran 8 × 8 m, berantai tegel. Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah mendukung atap sirap. Bangunan ini memiliki pagar terali besi
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh di sekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan tampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi dengan ukuran 3,70 × 1,30 × 5 m sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng dengan ukuran 4,50 × 9 m, pada sisi sebelah timurnya terdapat bentuk banteng. Pada bagian bawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara kompleks Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M.
Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri.
Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang berasal dari budaya Hindu bernama Lingga Yoni yang merupakan lambang dari kesuburan (Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan) dan bangunan Pengada yang berada tepat di depan gerbang Pengada dengan ukuran 17 × 9,5 m yang berfungsi sebagai tempat membagikan berkat dan tempat pemeriksaan sebelum menghadap raja dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
Pada batas antara area siti inggil dengan halaman langgar agung (bahasa Indonesia: mushola agung) dibatasi oleh tembok bata. Pada tembok bata bagian utara terdapat dua gerbang yaitu Regol Pengada dan gapura lonceng.
Regol Pengada merupakan pintu gerbang masuk ke halaman selanjutnya dengan ukuran panjang dasar 5 × 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah timur Gerbang Pangada dengan ukuran panjang dasar 3,10 × 5 × 3 m. Gerbang ini berbenduk kori agung (gapura beratap) menggunakan bahan bata. Area langgar Agung ini terbagi dua yaitu halaman Pengada dan halaman langgar Agung yang keduanya dipisahkan dengan tembok yang rendah.
Bangunan utama Langgar Agung berukuran 6 × 6 m dengan luas teras 8 × 2,5 m. Bagian terasnya berdinding kayu setengah dari permukaan lantai sementara setengah bagiannya lagi diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok, mihrabnya berbentuk melengkung berukuran 5 × 3 × 3 m. Di dalam mihrab terdapat mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90 × 0,70 × 2 m. Atap Langgar Agung adalah atap tumpang dua dengan menggunakan sirap (bahasa Cirebon: Tiritisan). Konstruksi atap disangga 4 tiang utama. Langgar Agung ini berfungsi sebagai tempat ibadah kerabat keraton. Bangunan Langgar Agung dilengkapi pula dengan Pos / tempat bedug Samogiri.
Pos bedug Samogiri yang berada di depan Langgar Agung dan menghadap ke timur ini berdenah bujursangkar berukuran 4 × 4 m yang di dalamnya terdapat bedug. Pos bedug ini dibangun tanpa dinding dan atap berbentuk limas, penutup atap didukung 4 tiang utama dan 5 tiang pendukung.[9]
Area utama keraton Kasepuhan merupakan area yang berisikan bangunan induk keraton Kasepuhan serta bangunan penunjang lainnya, antara area utama keraton dengan area Langgar Agung dibatasi tembok dengan gerbang berukuran 4 × 6,5 × 4 m. Gerbang tersebut dilengkapi dua daun pintu terbuat dari kayu, jika dibuka dan ditutup akan berbunyi maka disebut pintu gledegan (bahasa Indonesia: guntur). Di dalam area utama keraton ini terdapat beberapa bangunan di antaranya ;
Bangunan Induk keraton, Bangunan induk keraton merupakan tempat Sultan melakukan kegiatan kesultanan, di dalam bangunan ini terdapat beberapa ruangan dengan fungsi yang berbeda, di antarannya:
.[12]
Keraton Kasepuhan berserta keraton Kanoman, ditetapkan menjadi objek vital yang harus dilindungi. Penilaian tersebut berdasarkan pertimbangan dari institusi kepolisian, dengan adanya penilaian tersebut maka kepolisian setempat wajib menempatkan personilnya untuk melakukan penjagaan di keraton tersebut, termasuk di antaranya keraton Kasepuhan.
di antara pertimbangannya yakni keraton merupakan situs sekaligus aset bukan hanya kesultanan tetapi juga negara dan masyarakat kota Cirebon, sehingga harus dijaga dan diamankan kelestariannya (Dani Kustoni - Kapolres Cirebon Kota)
.[13]
Sebagai bentuk realisasi pengamanan objek vital, maka keraton harus dijaga oleh personil kepolisian
dijadikannya keraton Kasepuhan sebagai objek vital disambut baik oleh Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, menurut Sultan Sepuh XIV, penetapan keraton sebagai objek vital merupakan sebuah tanda atau pengakuan akan pentingnya keraton itu sendiri.
Selain sebagai aset, keraton juga kan banyak didatangi wisatawan baik lokal maupun mancanegara - (Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat)
Pada masa kepemimpinan Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji, Sultan Sepuh V melakukan banyak perbaikan pada kompleks Taman Sari Gua Sunyaragi yang digunakan sebagai tempat mengkhusukan diri kepada Allah swt sekaligus markas besar prajurit kesultanan dan gudang serta tempat pembuatan senjata, disamping Taman Sari Gua Sunyaragi, kesultanan Kasepuhan memiliki markas prajurit lainnya, yaitu di desa Matangaji yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon. Aktivitas yang ada di Taman Sari Gua Sunyaragi kemudian menarik perhatian Belanda untuk kemudian menyerangnya, Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji pun gugur pada tahun 1786, tidak lama setelah wafatnya Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji, saudara sultan yaitu Pangeran Raja Hasanuddin menggantikan dirinya untuk memimpin kesultanan Kasepuhan, sementara Taman Sari Gua Sunyaragi hanya tinggal puing-puing akibat penyerangan Belanda.
Pada tahun 1852, Pangeran Adiwijaya yang kelak menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria, membangun kembali dan memperkuat Taman air Gua Sunyaragi, dia mempekerjakan seorang aristek beretnis tionghoa, namun kemudian arsitek tersebut ditangkap dan dipaksa mengatakan seluk-beluk Taman Sari Gua Sunyaragi kepada Belanda untuk kemudian dibunuh. Terbongkarnya aktivitas di Taman Sari Gua Sunyaragi membuat Pangeran Adiwijaya memerintahkan kepada para bawahan dan para prajurit untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, akhirnya keputusan diambil untuk mengungsikan seluruh persenjataan dan para prajurit keluar dari Taman Sari Gua Sunyaragi, sehingga penyerangan Belanda yang terjadi kemudian tidak mendapatkan apa-apa.