Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Kesultanan Cirebon | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1430–1677 | |||||||||||||
Bendera Kesultanan Cirebon yang menampilkan gambar macan yang disamarkan (stilsasi) dalam sebuah kaligrafi Arab. Seni stilasi khas ini dikenal dengan nama "Macan Ali".[1] | |||||||||||||
Ibu kota | Cirebon | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bahasa Cirebon Bahasa Sunda Bahasa Jawa | ||||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||||
Pemerintahan | Kerajaan konstitusional (adanya pepakem Cirebon) | ||||||||||||
Tumenggung, Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan | |||||||||||||
Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang | |||||||||||||
• 1479 - 1568 (Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya) | Sultan Cirebon II Sunan Gunung Jati | ||||||||||||
• 1649 - 1666[6] (penguasa terakhir kesultanan Cirebon sebelum dibagi menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman) | Sultan Abdul Karim (Panembahan Girilaya) | ||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||
• Didirikan | 1430 | ||||||||||||
• Pembagian Kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman | 1677 | ||||||||||||
| |||||||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||||||
¹ Pada 1552 Sunan Gunung Jati mengangkat anaknya dari Nyi Kawung Anten (putri Surosowan penguasa Banten Pesisir) yaitu Maulana Hasanuddin (sebelumnya menjabat sebagai Depati (Gubernur) Banten untuk kesultanan Cirebon sebagai Sultan pertama Kesultanan Banten.
| |||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan di daratan utara pulau Jawa bagian barat pada abad ke-15 dan 16, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa
Kesultanan Cirebon didirikan di Dalem Agung Pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan Cirebon, letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi Keraton Kasepuhan.
Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Lampung[8] dan Jawa bagian barat.[9]
Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama 3 abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai Sri Mangana (Penguasa) Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677. Tipu daya Mataram masa Amangkurat I serta dekatnya sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara pribawa (derajat paling tinggi) diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17.
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Jawa: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda dan datang untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Di abad ke-14, seorang pangeran Galuh bernama Bratalegawa memeluk Islam dan memutuskan pindah ke Caruban Girang serta bermukim disana dengan tujuan untuk menyebarkan Islam kepada penduduk sekitar, menjadikan Cirebon sebagai cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.[10]
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.[11]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya.
Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura.[12] Kerajaan ini bertugas mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus takhta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi).[13]
Bratalegawa (Haji Purwa) adalah seorang pangeran dari Kerajaan Galuh anak dari prabu Bunisora.[14] Ia sebelumnya telah memeluk Islam di India dan memutuskan untuk pindah ke Cirebon serta menyebarkan Islam disana, dikarenakan pengaruh Hindu di Kawali, ibukota Galuh saat itu masih sangat kuat. Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa juga berperan dalam memajukan perekonomian Cirebon, dimana Cirebon menjadi pintu utama ekspor dari barang-barang yang dihasilkan oleh Kerajaan Galuh.[15]
Masduqi dalam artikelnya yang berjudul Mengembalikan Perdagangan Islam yang Berkeadilan dalam acara konferensi Islam Internasional AICIS ke 12 di Surabaya menjelaskan bahwa patut diduga penggunaan Dinar (uang meas) Dirham (uang perak) dan Fulus (uang tembaga) telah terjadi pada masa Ki Gedeng Tapa, hal tersebut dikarenakan pada masa itu pelabuhan Muara Jati telah banyak dikunjungi kapal-kapal asing[16]
Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon).[17] Cheng Ho dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping (Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho)[18] kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar (bahasa Cirebon: Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara Jati[19] pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.
Pada masa persinggahan laksamana Cheng Ho tersebut sangat dimungkinkan uang emas dan uang perak dijadikan sebagai alat tukarnya karena uang emas dan uang perak telah menjadi standar internasional pada masa tersebut terutama di pelabuhan-pelabuhan internasional.[16]
Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun di sekitar prasada tunggang prawata (bahasa Indonesia : mercusuar) bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan memelihara mercusuar, ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal,[20] masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah klenteng.[18]
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi.[21] yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman, kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, di sana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, tetapi dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal di sana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah putri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.[22]
Pada masa pemerintahan ki Danusela sebagai kuwu Kebon Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa Indonesia: Mushola) pertama di wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan.[23]
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putra pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertama bernama Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putra mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa,[24] anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.[25]
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman,[25] menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam naskah Sejarah Babad Tanah Sunda, Pangeran Cakrabuana sepulang dari Mesir ia dibekali oleh saudara iparnya (suami Nyimas Rara Santang) yaitu Sultan Hud atau Mahmud Asyar al-Qibthi atau dikenal juga dengan nama Syarief Abdullah dengan Dirham (uang perak) sebanyak seribu keping.[16]
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.[2][3][4][5] Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.[26]
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 M[27] dan dimakamkan di gunung Sembung, Cirebon.[28]
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).[29]
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[30]
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.[29][30] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.[31]
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[32]
Pada abad ke 15 atau sekitar tahun 1400an, kesultanan Cirebon telah memberlakukan Dinar dan Dirham sebagai uang kartal kesultanannya.[16]
Pada masa awal perkembangan kesultanan Cirebon, wilayah Cirebon terkenal sebagai jalur perdagangan, pada masa itu di Cirebon diberlakukan Picis (uang logam) yang terbuat dari timah sebagai mata uangnya.[33]
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 M, dengan penguasanya Ki gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung Jati menjadikan putra Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat Kuningan dikenal dengan nama Sangkuku diangkat sebagai Depati Kuningan (bahasa Indonesia: gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Kuningan).[28]
Pada tahun 1518, Syekh Syarif Hidayatullah mengutus Janapura yang merupakan muridnya yang berasal dari Kudus untuk membuat sebuah pedukuhan di dekat laut di wilayah ujung Karawang yang sekarang berada di sekitar Pisangan - Sedari, Karawang, pedukuhan yang dibangun oleh Janapura kemudian menjadi pos kesultanan Cirebon di wilayah pesisir utara bagian barat[34]
Pedukuhan yang pertama dibuat oleh Janapura adalah pedukuhan Pisangan, setelah 10 tahun menetap di Pisangan, kedua puteri dari Janapura yaitu Dewi Sondari dan Andidari datang berkunjung. Pada tahun 1528 Janapura yang kemudian dikenal sebagai Syekh Janapura mendapatkan misi untuk mengislamkan daerah Tanjung Suwung yang sekarang dikenal dengan nama Sedari. Wilayah Tanjung Suwung pada masa itu banyak dihuni oleh masyarakat pelarian dari kerajaan Telaga, Syekh Janapura kemudian berhasil mengislamkan masyarakat di Tanjung Suwung dan selanjutnya mengembangkan pedukuhan di sana,[34] menurut Zakaria Husein (sejarahwan Karawang) berita keberhasilan Syekh Janapura mengislamkan Tanjung Suwung kemudian tersebar hingga ke Kudus, tidak lama kemudian Raden Imanillah (keluarga Sunan Kudus) meminang Dewi Sondari dan membawanya kembali ke Kudus, untuk memperingati pernikahan puterinya yaitu Dewi Sondari dengan Raden Imanillah, Syekh Janapura kemudian memberikan nama pada pedukuhan di Tanjung Suwung tersebut dengan nama pedukuhan Sondari yang kemudian dikenal oleh masyarakat sekarang dengan nama Sedari.
Menurut data yang dihimpun oleh Zakaria Husein, Syekh Janapura tinggal di Tanjung Suwung hingga akhir hayatnya yakni pada tahun 1567, ia kemudian dimakamkan di dekat pantai.[34]
Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis,[35] Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut "Sukahati" (bahasa Indonesia: kebahagian karena ikhlas) ke wilayah Cirebon dari Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon meyakini bahwa Gong Sukahati (bahasa Indonesia: gong Sekati) adalah alat musik gamelan dakwah pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak.[36] Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang sama, dalam bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari tata bahasa Cirebon Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata benda) sehingga Suka(h)at(ia)n menjadi Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga sekarang kesenian Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum [37](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.[38]
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M.[31] Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.[39]
Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten.[40]
Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[41] sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),[42] aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[43] dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, tetapi upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[39]
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[44] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[45] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [46] Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[47]
Pada tahun 1522,[48] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.[49] Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 M.[50]
Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten.[51] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang.
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.[52]
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional diceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya.[53] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.[54]
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.[55]
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[48] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai kadipaten (setingkat dengan provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[56] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten,[57] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak menahbiskan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten.[58] Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.
Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[55]
Pada tahun 1530, Cirebon berhasil menguasai Lampung dan menempatkannya dibawah kendali Depati Banten[59]
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).[60]
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lancaran, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.[61]
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[44] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Pasai sudah dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Pasai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun,[31] hal ini membuat Fatahilah menjadi menantu Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[45] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[47]
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa.[62]
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon, kesultanan Demak dan kesultanan Banten (pada saat itu Banten masih menjadi kadipaten di bawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati[63] atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.
Pada saat menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527, menurut sejarawan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang ada di sana termasuk perkampungan yang didiami tiga ribu orang muslim Betawi,[47] yang pemukimannya berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta. Fatahilah kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar (terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang rumahnya berada di dekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan,[47] Sunda Kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.
Pada pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa sebuah koloni Portugis di India.[64] Keberangkatan ke kerajaan Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk Benggala,[65] tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Melaka tahun 1527.
Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca: Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge.[65] Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.[65]
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu diubah menuju Pedu di wilayah Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di Afrika yang sekarang menjadi bagian dari negara Ghana.
Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh.
Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah depati (bahasa Indonesia: gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (depati palimanan), rombongan pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam.[66]
Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari Ciwaringin, Gempol, Palimanan serta sebagian dari Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat dengan pantai.
Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah demang Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya, demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu dengan pangeran depati Kuningan (putra Ki gede Luragung yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati)[28] dan pasukannya yang memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk kepada kesultanan Cirebon.
Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya dengan Demang Dipasara kepada Sunan Gunung Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu Ki Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat. Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran Depati Kuningan sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa Palimanan).
Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan kekuatan, prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon ditambah 700 orang pasukan kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di kesultanan Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu sedang berada di Cirebon.[66]
Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju ibu kota Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh.
Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.
Pada tahun 1528 Kawali (ibukota Galuh) berhasil dikuasai oleh Cirebon[67]. Kesultanan Cirebon kemudian menugaskan Pangeran Dungkut untuk menjadi penguasa di Galuh[25]. Pangeran Dungkut dipercaya sebagai putra dari Prabu Langlangbuana dari Kuningan[68].
Pada tahun 1528 m Syarief Hidayatullah menyerahkan (mewakilkan) kekuasaan kesultanan Cirebon kepada putranya yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang merupakan depati Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sementara ia mengkhususkan diri kepada dakwah Islam.[69]
Proses bergabungnya Talaga masuk menjadi bagian dari wilayah kesultanan Cirebon pada awalnya dikarenakan ada kesalahpahaman antara pasukan Cirebon yang sedang mengarak pangeran-pangeran Cirebon dengan Demang dari kerajaan Talaga.
Pada awalnya pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon sedang mengarak para pangeran Cirebon yaitu pangeran Bratakelana dan pangeran Jayakelana yang dikawal dari depan (oleh pasukan dari Jawa (pasukan kesultanan Demak dan juga dari belakang oleh pasukan Cirebon dan Sunan Jati, secara tidak sengaja arak-arakan telah memasuki wilayah kerajaan Talaga dan membuat kehebohan di Talaga, masyarakat kemudian melaporkan ke Istana Kerajaan, Pucuk Umum (bahasa Indonesia: penguasa) Talaga memerintah Demang kerajaan memimpin sejumlah prajurit kerajaan untuk menyelidiki hal tersebut.[36]
Pasukan dari kerajaan Talaga dipimpin oleh Demang kerajaan lantas menemui iring-iringan tersebut menanyakan kepada arak-arakan prajurit paling depan tentang asal usul dan keperluan mereka masuk ke wilayah Talaga, dikarenakan para prajurit Talaga bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda maka para prajurit yang mengawal di depan yang kebetulan suku Jawa dari kerajaan Demak tidak memahami arti pertanyaannya dan hanya diam saja. Sikap diam yang ditunjukkan para barisan prajurit suku Jawa tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada rombongan pasukan kerajaan Talaga, Demang kerajaan Talaga marah dan mengamuk namun dapat segera diatasi oleh barisan prajurit di depan (barisan prajurit kesultanan Demak) tersebut, Demang kerajaan Talaga lantas melaporkan masalah kepada Pangeran Aria Salingsingan (Putra Mahkota Talaga), ketika Pangeran Aria datang ke iring-iringan tersebut untuk membalas perlakuan mereka kepada rombongan prajurit kerajaan Talaga dan Demang kerajaan, terjadi keributan kembali (tanpa Pangeran Aria sempat mencari tahu apa maksud kedatangan para rombongan prajurit tersebut) beberapa prajurit barisan depan tadi kemudian ada yang meninggal, dikatakan setelah melihat sosok Sunan Gunung Jati yang maju kedepan untuk melihat ada keributan apa sehingga iring-iringan tertahan, Pangeran Aria Salingsingan kemudian menghentikan serangannya kepada para prajurit, diyakini kemudian Sunan Gunung Jati menjelaskan tujuan iring-iringan prajurit tersebut yang tidak sengaja memasuki wilayah Talaga, dikarenakan telah membunuh beberapa prajurit barisan depan (prajurit kesultanan Demak) maka Pangeran Aria Salingsingan meminta maaf. Sunan Gunung Jati kemudian memintanya agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan Pangeran Aria Salingsingan dengan sukarela mengikutinya (masuk Islam).
Rombongan iring-iringan para pangeran Cirebon kemudian menuju ke kraton Talaga untuk menemui pucuk umum (penguasa) Talaga (kabar bahwa Pangeran Aria Salingsingan masuk Islam dan menghentikan serangan kemudian sampai ke keraton Talaga) namun ketika mereka sampai raja sudah tidak ada di keraton, begitu pula dengan saudari Pangeran Arya Salingsingan yang bernama Ratu Mas Tanduran Gagang yang juga keluar Istana dan dikabarkan pergi bertapa,[36] dikarenakan tidak adanya raja pada saat itu maka Pangeran Aria Salingsingan menjadi penguasa Talaga dan kemudian menggabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon pada tahun 1529 dan masyakarat Talaga mulai mengenal ajaran Islam.
Latar belakang bergabungnya kerajaan Sumedang Larang menjadi bagian dari kesultanan Cirebon adalah dengan pendekatan dakwah Islam, pada awal 1500an Maulana Muhammad (putra dari Maulana Abdurahman (Pangeran Panjunan) keturunan dari Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nur Jati) melakukan dakwah Islam di wilayah kerajaan Sumedang Larang disekitar wilayah Sindang Kasih (sebelah timur Cilutung / sungai Lutung), di wilayah Sindang Kasih Maulana Muhammad menikah dengan Nyai Armillah[28] (diyakini sebagai kerabat pembesar Sindang Kasih) dan memiliki putra yang diberi nama Soleh (masyarakat lebih mengenalnya dengan nama pangeran Santri karena dia berasal dari pesantren).
Pangeran Soleh ini kemudian menikah dengan Ratu Setyasih (putri Raja Tirtakusuma (Patuakan))[31] yang sedang memerintah di kerajaan Sumedang Larang. Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya dan kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang dengan gelar Kusumahdinata.[70] Tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah timur (Galuh).
Pasca pertempuran di Kalapa (kini: Jakarta) pada tahun 1527 M, para prajurit dari kesultanan Cirebon dan kerajaan Pajajaran masih terlibat pertempuran di pedalaman hingga beberapa tahun, akhirnya ditandatanganilah perjanjian perdamaian di antara keduanya pada tanggal 14 paro terang bulan Asada tahun 1453 saka[31] atau bertepatan pada 12 Juni 1531 M.[71] Pada masa itu yang menjadi raja di kerajaan Pajajaran adalah Prabu Surawisesa (saudara Pangeran Walangsungsang penguasa pertama kesultanan Cirebon) sementara kesultanan Cirebon dipimpin oleh Syarief Hidayatullah yang diwalikan urusan pemerintahannya kepada anaknya yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean).
Isi surat perjanjian damai tersebut di antaranya adalah,[31]
Pada tahun 1543, Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga untuk datang ke kerajaan Demak guna menjadi penasihat Sultan Trenggana[72]
Pada tahun 1546 M sultan Trenggana tidak sengaja terbunuh dalam usaha penyerangan ke Panarukan, pada saat itu Panarukan sudah dikepung selama tiga bulan oleh gabungan prajurit kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon, kesultanan Cirebon mengirimkan sekitar 7.000 prajuritnya yang didatangkan dari wilayah Banten dan Jayakarta serta Cirebon, di antara prajurit yang dikirim dari kesultanan Cirebon ada Fernão Medes Pinto (dibaca: Fernaun Mendes Pinto, penjelajah Portugis yang mencatat ekspedisi penyerangan ke Panarukan dalam catatannya Peregrinação (dibaca: Peregrinasaun (perjalanan)) bersama empat puluh orang temannya yang ikut serta. Fernão Mendes Pinto sebelumnya tiba di Banten pada tanggal 1 Oktober 1545 untuk membeli lada dalam pelayarannya dari Goa menuju Tiongkok, ia terpaksa menunggu berbulan-bulan karena pada saat itu persediaan lada di pelabuhan Banten belum mencukupi.[73] Usai pengepungan selama tiga bulan Sultan Trenggana kemudian mengadakan sebuah rapat bersama para adipati untuk merencanakan penyerangan lanjutan ke Panarukan, pada saat itu putra adipati Surabaya[74] yang berumur sepuluh tahun menjadi pelayannya membawakan tempat sirih, karena tertarik dengan jalannya rapat tersebut putra adipati Surabaya tidak mendengarkan perintah sultan Trenggana sehingga sultan memarahinya dan memukulnya, putra adipati Surabaya itu merasa sangat tersinggung dan tiba-tiba menusukkan pisau kecil yang terselip di ikat pinggangnya ke arah jantung Sultan. Sultan pun tewas seketika dan dibawa pulang ke Demak dari Panarukan.[75]
Selanjutnya terjadi huru-hara perebutan kekuasaan di kesultanan Demak, masa itu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang menjabat sebagai Depati Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sekaligus putra mahkota kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak mewakili sultan Cirebon (oleh Fernão Mendes Pinto disebut sebagai Quiay Ansedaa Pate de Cherbom (Kyai Sang Depati Cirebon)) meninggal dalam peristiwa tersebut.[69] Istrinya Ratu Nyawa yang turut mendampinginya berhasil selamat. Satu tahun setelah peristiwa huru-hara di Demak yang menyebabkan meninggalnya Depati Cirebon Pangeran Muhammad Arifin, Ratu Wanawati (puteri Fadillah Khan dengan Ratu Ayu (janda Yunus Abdul Kadir al-Idrus), istri Pangeran Sawarga melahirkan Pangeran Mas Zainul Arifin[76] pada tahun 1547 M.[77][78] Pada peristiwa huru-hara di kesultanan Demak juga terbunuh Pangeran Hadiri[69] (suami dari Ratu Kalinyamat (Ratna Kencana), putri pertama Sultan Trenggana sekaligus Adipati Jepara.
Kesultanan Cirebon menggelar musyawarah dalam menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin di Demak, Syarief Hidayatullah selaku penguasa kesultanan Cirebon pada saat itu tengah menetap di Banten,[79] hasil dari musyawarah tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putra pertama Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana Hasanuddin yang menjabat sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten) dinaikkan statusnya dari depati (gubernur) menjadi sultan atas wilayah Banten yang kemudian mengembangkan kesultanan Banten sementara untuk mengisi kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi kesultanan Cirebon saat Syarief Hidayatullah tidak berada di tempat diputuskan untuk diisi oleh Fadillah Khan (Fatahilah).[80]
Pada tahun 1552, setelah Maulana Hasanuddin resmi menjadi penguasa kesultanan Banten, Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon[79]
Pasca perjanjian damai Cirebon dengan kerajaan Pajajaran pada tahun 1530 dan setelah kesultanan Banten berdiri pada tahun 1552, maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara dibagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati[81] pada abad ke 15[82] membagi wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama Jayakarta.[41][83]
Pada tahun 1568,[84] Maulana Hasanuddin sebagai penguasa Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat menantunya yaitu Kawis Adimarta (Tubagus Angke) suami dari Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana Hasanuddin)[85] sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak peristiwa penaklukan Kelapa pada tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis Adimarta pada tahun 1568, wilayah ini berada dibawah kekuasaan Fadillah Khan[86]
Pada tahun 1568 M Syarief Hidayatullah meninggal dunia maka kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Syarief Hidayatullah melaksanakan tugas dakwah dijadikan wakilnya sebagai pengurus kesultanan Cirebon, Fadillah Khan (Fatahillah) kemudian naik takhta (sebagai wali kesultanan)[87] dan memerintah Cirebon secara resmi sejak tahun 1568. Fadillah Khan (Fatahillah) mengurusi kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Sepeninggal Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cicit Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau dikenal juga dengan nama Panembahan Ratu I, putra dari Pangeran Sawarga[76] atau cicit Sunan Gunung Jati yang sudah berusia 21 tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.[88]
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin atau Panembahan Ratu I ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun di sekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, tetapi beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan Pajang, Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan.[90] Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya;
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara kesultanan Banten dengan kesultanan Mataram, hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan sunan Gunung Jati sementara dengan kesultanan Mataram hubungan persahabatan yang erat telah dijalin antara Pangeran Mas Zainul Arifin dengan Danang Sutawijaya penguasa Mataram pertama.
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, tetapi hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.[91] Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
Waktu semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih Sinaroja, Adi wuku sakubenge, Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin, Jawa gunung kapurba, Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram pon anglilani, Ing Crebon yen gawea
Tatkala itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh dibangun pagar sekelilingnya, benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti zaman dahulu kala pulau Jawa yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga dengan Cirebon, maka negara agung Mataram pun merestui (membantu) proyek yang sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng Kuta Cirebon)
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[92] dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.
Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram sangat menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya (Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas[93]), hal tersebut tidak lain adalah pesan dari Danang Sutawijaya Sultan Mataram pertama yang berpesan kepada keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Cirebon.
Pada tahun 1614 ketika Gubernur Jendral Pieter Both berkuasa di Hindia Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke Mataram, rombongan dipimpin oleh Jan Piterszoon Coen (yang kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun 1619). Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), kepada utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim sepihak bahwa seluruh wilayah pulau Jawa bagian barat adalah wilayah Mataram kecuali wilayah kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon.[94][95]
Rijckloff Volckertsz van Goens Gubernur Jendral Hindia Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) telah lima kali ditugaskan ke Mataram pada periode sekitar tahun 1648 - 1654. Sejak zaman Danang Sutawijaya (teman Pangeran Mas Zainul Arifin), sudah dipelihara hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (groote correspon-dentie on foede vreede), sebelum Danang Sutawijaya wafat ia telah berpesan pula kepada putranya agar tetap memelihara hubungan baik dengan Cirebon, Rijckloff Volckertsz van Goens berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan karena Cirebon dianggap suci” (guansuis, omdat den Cheribonder voor hem’t geloof hadde aengenoomen ende een heilige man was).[96]
Perdagangan di Cirebon yang semakin ramai membuat Sultan Zainul Airifin memutuskan untuk membuat uang Kepeng (uang logam pecahan lebih kecil) yang terbuat dari besi, tembaga dan perunggu.[16]
Konflik antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Sumedang Larang terjadi dikarenakan adanya peristiwa Harisbaya pada tahun 1585[31] (namun sejarahwan Uka Candrasasmita memperkirakan bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada 1588[63]). Pada masa itu Prabu Geusan Ulun dari kerajaan Sumedang Larang diyakini melarikan Harisbaya, istri Sultan Cirebon Zainul Arifin ke Sumedang, menurut Babad Sumedang, Suriadiwangsa adalah anak Harisbaya dari pernikahannya dengan Sultan Cirebon Zainul Arifin,[97] kelak Suriadiwangsa menjadi penguasa Sumedang yang bersekutu dengan Mataram dalam penyerangan ke Batavia.
Pada tanggal 7 - 12 Mei 1632 kapal-kapal Melayu datang dari Cirebon ke Batavia membawa gula, minyak dan keperluan lainnya.[33]
Pada tanggal 8 Oktober 1632, telah datang di Batavia 20 kapal jung dari Cirebon yang dikomandoi oleh Simkeij dengan membawa minyak kelapa, gula hitam, beras dan buncis putih.[33]
Pada tanggal 28 Maret 1633 telah datang 2 perahu dari Cirebon di wilayah Tiku (Sumatera barat) yang akan membawa sekitar 1.000 hingga 5.000 pikul lada.[33]
Pada tanggal 16 April 1633, dua buah kapal jung milik Sultan Zainul Arifin yang berlayar dari kerajaan Selebar (Bengkulu) rusak karena menabrak karang.[33]
Pada tanggal 19 Desember 1633, kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia dengan membawa gula, asam dan beras.[33]
Pada tanggal 9 Oktober 1634, ada kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras.[33]
Pada tanggal 26 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras serta daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya.[33]
Pada tanggal 30 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya[33]
Pada tahun 1567 kaisar Cina menghapus larangan perdagangan Cina ke wilayah selatan termasuk asia tenggara, akibatnya terjadi arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina. Pada tahun 1596, kelompok Belanda yang pertama datang ke Jawa menyatakan bahwa mata uang ini banyak sekali beredar di wilayah kepulauan-kepulauan sekitar Jawa. Arus keluar mata uang tembaga Cina yang sedemikian besar membuat khawatir para pejabat Cina, hal tersebut dikarenakan kegiatan perdagangan dengan membawa mata uang tembaga tersebut akan semakin menguras sumber bahan baku pembuatnya yakni tembaga yang semakin langka.[98]
Pada tahun 1590 di Guangdong dan Fujian akhirnya dibuat mata uang baru (Picis Cina) yang terbuat dari campurang timah yang murah untuk diedarkan khususnya di kepulauan asia tenggara. Mata uang baru yang terbuat dari timah murah ini membuat khawatir kalangan eropa dikarenakan mata uang tersebut akan rusak sendiri dalam waktu tiga hingga empat tahun.[98]
Pada tahun 1596, Picis yang bermutu rendah akibat logam dasarnya yang buruk ini beredar hingga ke pedalaman pulau Jawa, pedagang Cina membawanya untuk membeli lada di pedalaman Banten dengan nilai Picis yang dihargai seperempat dari uang biasanya (uang Tembaga) yang beredar di pasar Banten.[98]
Pada periode antara tahun 1613 hingga 1618 pernah terjadi kelangkaan Picis di wiayah Banten yang membuat nilai Picis meningkat terhadap perak, akhirnya masuklah perak secara besar-besaran sebagai akat tukar termasuk dalam pembayaran pembelian lada.[98]
Mata uang Picis Cina tersebut memiliki beberapa kekurangan, selain dari bahannya yang mudah rusak karena terbuat dari bahan yang buruk, hal lainnya adalah Picis Cina mudah ditiru, namun kekurangan pasokan timah adalah hambatan untuk membuat Picis Cina secara lokal (dalam artian dibuat sendiri tidak mengimpornya dari Guangdong atau Fujian) sampai orang Inggris dan Belanda menemukan pasokan timah tersebut. Orang Inggris di Banten memesan timah dari 20 ton pada tahun 1608 hingga menjadi 50 - 60 ton pada tahun 1615 dan kemudian meningkat sampai kira-kira 150 ton pada tahun 1636. Orang Inggris menggunakan sebagian dari pesanan timah mereka untuk membuat peluru.[98] Timah yang dicetak menjadi mata uang kemudian dikirim untuk memasok wilayah Banjarmasin, Palembang dan juga Banten. Belanda lebih berhati-hati dalam menjual timah-timah mereka, dikarenakan takut timah-timah tersebut dijadikan pasokan keperluan militer oleh musuhnya.[98]
Pada tahun 1633, Belanda mulai mengetahui bahwa timah dapat diperoleh dari orang-orang Cina yang ada di Batavia, dari situ Belanda mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan Picis Cina di pulau Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara.[98] Belanda berusaha mengambil keuntungan dari industri pembuatan Picis Cina tersebut dengan memonopoli dan memberikan timah kepada para orang Cina terkemuka yang berada di wilayah kekuasaan Belanda di nusantara.[98]
Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 M berdasarkan Candrasangkala yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa),[63] menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi.[99]
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu.[100]
Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama perang Pagarage adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan kesultanan Cirebon ke wilayah kesultanan Banten.
Pada tahun 1588 ketika kesultanan Mataram muncul setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, Danang Sutawijaya kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah Kadipaten dari kerajaan Pajang kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian, kesultanan Banten pada masa itu belum mengakui eksistensi kesultanan Mataram, Sultan Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertakhta saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (ia naik takhta pada 1585[101] pada usia 9 tahun).[102]
Kesultanan Banten pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukkan dengan klaim takhta oleh Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf, ayah dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadiri seorang Adipati Jepara)). Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada kesultanan Banten agar dirinya dijadikan penguasa kesultanan Banten sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang pemerintahan, tetapi usul tersebut ditolak oleh para pejabat kesultanan Banten yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar Banten, para pejabat dengan dukungan Qadi kesultanan Banten pada masa itu mengangkat Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Banten cukup untuk memegang pemerintahan, maka Qadi dibantu dengan empat pejabat lainnya menjadi wakil Sultan Banten dalam memerintah kesultanan Banten,[103] mereka adalah Patih (bahasa Indonesia: Perdana Menteri) Jayanegara,[102] Senapati (bahasa Indonesia: Panglima) Pontang, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala.
Penolakan Qadi dan para pejabat kesultanan Banten membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang kesultanan Banten. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan Demang Laksamana (bahasa Indonesia: Laksamana) Jepara pergi menuju kesultanan Banten melalui jalur laut, dalam peperangan tersebut Demang Laksamana Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.[103]
Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta Raja di Cirebon, Husein Djajadiningrat dalam penelitiannya berkaitan dengan Banten menemukan bahwa pada tahun yang sama yakni 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000 pasukannya untuk menyerang kesultanan Banten dari laut namun gagal.[104] Sultan Maulana Muhammad pada masa itu disibukkan dengan kegiatan dakwah Islam dan baru pada tahun 1596 (tahun yang sama dengan penyerangan Mataram ke kesultanan Banten) atas masukan dari Pangeran Mas (putra Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun wafat dan meninggalkan putra mahkota kesultanan Banten yang baru berusia 5 bulan[102] yang kemudian dikenal dengan nama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan Patih Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. Patih Jayanegara dikenal sebagai pejabat kesultanan Banten yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali kesultanan Banten, kesultanan berada dalam kondisi yang tenteram.[102]
Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck ditemani oleh laksamana madya Wybrand van Warwijck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu sekaligus seorang laksamana yaitu Jacob van Heemskerck, van Heemskerck pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi Perang Delapan Puluh Tahun antara Belanda dengan Spanyol. Belanda yang selama ini mengambil rempah dari Lisbon (Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, tetapi usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena statusnya pada masa itu berada di bawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika Itinerario sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal, Jacob van Heemskerck yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut. Dari laporan Jacob van Heemskerck, Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan, Afrika Selatan, misi itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman, tetapi Jacob van Heemskerk tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah ia ikut serta ke dalamnya, mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari seorang astronom dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flandria (sekarang bagian dari Belgia) yang bernama Petrus Plancius. Jacob van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang navigasi guna mendalaminya.[105] Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni Cornelis de Houtman yang tercatat sempat berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal-kapal pembawa rempah dari Sumatra dan Kalimantan yang datang ke Banten,[105] walaupun sebenarnya sikap Cornelis de Houtman dilatarbelakangi kejadian buruk yang menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan Cornelis de Houtman bahkan rombongan inipun tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya rombongan Cornelis de Houtman pergi ke Sumatra untuk mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan dibayar,[105] kejadian itu membuat Cornelis de Houtman kesal hingga melakukan penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.
Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan Abdul Mufakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.
Pada tahun 1602, Patih Jayanegara meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, tetapi dia dipecat pada 17 November 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawan keraton yang bernama Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan Abdul Mufakhir,[104] setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan, dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini ditambah banyak keributan di wilayah kesultanan Banten yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.
Keberadaan Patih sudah tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa kekuasaan Patih yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah kapal Jung dari Johor oleh Pangeran Mandalika (anak dari Pangeran Maulana Yusuf), seruan Patih untuk melepaskan Jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota, masalah ini kemudian dapat diselesaikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara khitanan Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan antara kesultanan Banten dengan kubu Pangeran Mandalika, dikatakan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah kesultanan Banten selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga.[104]
Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama Pailir (bahasa Indonesia: bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton di bawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ponggawa (pejabat), sebenarnya peristiwa Pailir disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah Pangeran Ranamanggala dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh Patih yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan kesultanan Banten setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa kesultanan Banten tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di kesultanan Banten terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608.[106] Kacaunya kondisi kesultanan Banten kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan Patih dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan Banten hingga lainnya di mana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh Patih sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh Patih diserahkan kepada Depati Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi kesultanan Banten.
Pada tanggal 23 Oktober 1608, Depati Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga Patih keluar tanpa membawa Sultan Abdul Mufakir, dikatakan bahwa, walaupun Patih yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada kesultanan Banten dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun ia sebagai ayah sambung dari Sultan Abdul Mufakir menjalankan tugasnya dengan sangat baik, ia mendidik Sultan Abdul Mufakir dengan penuh tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan Abdul Mufakir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan menyukainya. Setelah Patih dan juru tulisnya keluar dari keraton, Depati Yudanegara kemudian membunuhya.
Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (Patih) sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 di mana kebakaran berhasil menghanguskan kediaman Patih namun pada peristiwa ini Patih berhasil selamat.[106]
Pasca terbunuhnya Pangeran Camara Patih kesultanan Banten, keadaan Sultan Abdul Mufakir menjadi rentan, ia yang masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena ditinggal ayah sambungnya, dilatarbelakangi hal tersebut Pangeran Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten, tetapi Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa pembahasan kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten inilah yang kemudian membuat Depati Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir ini membuat Depati Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal dari terjadinya peristiwa Pailir.
Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada Ki Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.[106]
Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama Ki Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu mengubah keadaan. Perang yang oleh Sultan Abdul Mufakir (masa itu Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617,[107] para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun mereka tidak diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir, Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan Abdul Mufakir yang masa itu berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala Tanpa Guna Tataning Prang (1530 saka / 1608 M) jika dihitung dari penyebab atau latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8 Maret 1608 hingga 26 Maret 1609[104] sementara inti peperangan dalam peristiwa Pailir berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.
Selepas peristiwa Pailir Pangeran Ranamanggala menjabat sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah sambung sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala melakukan penertiban dan peninjauan ulang terhadap peraturan yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya berkenaan dengan para pedagang Eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama yang berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan hal tersebut dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang Eropa di wilayah kesultanan Banten tidak hanya berniat berdagang saja namun juga berniat mencampuri urusan internal kesultanan Banten.[102]
Setelah peristiwa Pailir yang menyebabkan migrasi besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta pada tahun 1609, setahun kemudian pada tahun 1610, untuk pertama kalinya Vereenigde Oostindische Compagnie mengangkat Gubernur Jenderal untuk pulau Jawa yaitu Pieter Both, Gubernur Jenderal Pieter Both bertugas untuk mencari sebuah tempat guna mendirikan kantor dagang Vereenigde Oostindische Compagnie sekaligus dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia.[108] Gubernur Jenderal Pieter Both kemudian memilih wilayah kesultanan Banten sebagai calon tempat pendirian kantor dagangnya dikarenakan selama ini (sejak misi dagang Jacob Corneliszoon van Neck) Belanda sering membeli dan menumpuk barang dagangannya di Banten, tetapi karena khawatir bahwa suatu saat akan ada gangguan dari penguasa setempat dan juga dikarenakan aturan-aturan baru yang diberlakukan oleh wali sultan yang baru yaitu Pangeran Ranamanggala maka Gubernur Jenderal Pieter Both pada tahun yang sama memalingkan orientasinya dari wilayah inti kesultanan Banten ke wilayah Jayakarta.[102] Gubernur Jenderal Pieter Both melakukan perundingan dengan Pangeran Wijayakrama (penguasa wilayah otonom Jayakarta atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta) untuk membahas seputar perumusan naskah perjanjian pembayaran bea, proses-proses hukum serta pembelian sebidang tanah di sisi timur sungai Ciliwung guna mendirikan rumah dari batu dan kayu yang berfungsi sebagai tempat tinggal, kantor dan gudang, perjanjian yang dibagi menjadi dua bagian tersebut (satu bagian berkenaan dengan bea dan masalah hukum, satu lagi berkenaan dengan penjualan tanah) kemudian ditandatangani pada tahun 1611, uang sebesar 1200 real kemudian diberikan kepada Pangeran Jayakarta sebagai pembayaran atas pembelian tanah di sisi timur sungai Ciliwung seluas 50x50 vadem (depa),[108] akan tetapi rumusan kedua naskah awal surat perjanjian tersebut sengaja dibuat berbeda oleh Vereenigde Oostindische Compagnie di bawah Gubernur Jenderal Pieter Both, hal tersebut dilakukan sebagai alasan menyerang pihak kesultanan Banten karena tidak menepati perjanjian di kemudian hari. Adanya perbedaan antara rumusan naskah awal dengan surat perjanjian tersebut menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran Jayakarta dengan Gubernur Jenderal Pieter Both, dalam ketentuan perihal penjualan tanah misalnya, dalam ketentuan hukum kesultanan Banten tentang pertanahan (yang juga berlaku di wilayah Jayakarta) dinyatakan bahwa tanah adalah milik sultan Banten yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu, tetapi dengan perbedaan yang dibuat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka pembelian tanah tersebut diartikan sebagai perpindahan kepemilikan dari sultan Banten kepada Vereenigde Oostindische Compagnie,[108] walaupun terjadi ketegangan akibat rumusan naskah yang berbeda dengan naskah pada perundingan awal, tetapi tanah untuk Vereenigde Oostindische Compagnie akhirnya ditentukan.
Tanah untuk Vereenigde Oostindische Compagnie disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan Pecinan (kampung Tiognhoa) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nakhoda) di sekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan Patih Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta), pada tahun yang sama (1611), Gubernur Jenderal Pieter Both segera menunjuk Abraham Theunemans untuk mendirikan gudang yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m terbuat dari gedek (tembok kayu) dan batu. Gudang tersebut kemudian dapat diselesaikan pembangunannya oleh Abraham Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di sebelah timur terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang berada di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh Ki Aria, patih Pangeran Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama Nassau. Pada 7 November 1614 Gerard Reijnst seorang pedagang dan salah satu pemilik dari Nieuwe Compagnie (Brabantsche) serta anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan Pieter Both yang habis masa jabatannya pada 6 November 1614. Pada tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal sebelumnya yaitu Pieter Both yang tengah kembali ke Belanda bersama empat kapalnya setelah menyelesaikan jabatannya mendapatkan kecelakaan di laut sekitar Mauritius tepatnya di sekitar Flic-en-Flac, dua dari empat kapal dalam rombongan Pieter Both tenggelam dan Pieter Both berada di dalamnya. Berkenaan dengan kepemimpinan Gerard Reynst dikatakan bahwa Gubernur Jenderal Gerard Reijnst bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah cenderung lebih buruk.[108] Gubernur Jenderal Gerard Reijnst tidak bisa berbuat banyak pada masa jabatannya karena dia terserang disentri dan akhirnya meninggal 7 Desember 1615, setelah meninggalnya Gerard Reynst, Belanda menunjuk Laurens Reael sebagai penggantinya, dia menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda pada 16 Juni 1616, pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael tepatnya pada tahun 1617 dibangunlah Mauritius sebuah rumah yang berada di sisi kali Ciliwung.[108] Gubernur Jenderal Laurens Reael sebenarnya adalah orang yang adil, dia menentang cara yang diambil oleh para petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie dalam memperlakukan orang-orang pribumi dan para pesaing dagangnya (dalam kasus kehadiran para pedagang Inggris di Maluku), bagi Gubernur Jenderal Laurens Reael dan juga Laksamana Laut Steven van der Hagen tujuan dan kesuksesan dari Vereenigde Oostindische Compagnie hanya bisa dicapai melalui jalur perdagangan dan diplomatik saja, tanpa melakukan serbuan dan penaklukan kepada pribumi, baginya penyerangan-penyerangan kepada negara lain hanya bisa dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, dikarenakan perbedaan prinsip ini Gubernur Jenderal Laurens Reael memutuskan mengundurkan diri pada 31 Oktober 1617, tetapi dia baru bisa meninggalkan posisinya setelah kedatangan Jan Pieterszoon Coen. Laurens Reael kemudian mengulangi kembali pemikirannya melalui laporan yang ia tulis untuk Dewan Perwakilan Rakyat Belanda dan para pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie agar dapat diterima dengan jelas pesan dan posisinya.
Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal selanjutnya karena dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan pandahulunya Laurens Reael, bangunan tidak permanen yang terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya lantas diperkuat dengan pembangunan catte yang berfungsi sebagai tempat meriam yang pada masa itu posisinya sengaja diarahkan ke wilayah Pangeran Jayakarta, selain memperkuat bangunan sebelumnya Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen juga membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas pergudangan dan perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar Jayakarta.
Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada rumah Mauritius sebenarnya sudah menyalahi kesepakatan awal antara Pieter Both dan Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta), dikarenakan walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli tanahnya namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak permanen tidak mengalami perubahan, khawatir bahwa permasalahan di Jayakarta ini terdengar hingga ke Banten maka Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta berusaha menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerja sama dengan Inggris yang kantor dagangnya berada tepat di seberang bangunan Belanda, mendengar adanya persekutuan antara pihak Inggris dengan Pangeran Jayakarta maka Belanda segera menyerang markas Inggris yang berada di seberangnya yang langsung di serang balik oleh Inggris, hasilnya Belanda menderita kekalahan dengan korban tewas berjumlah 15 orang dan korban luka-luka sebanyak 10 orang, melihat kondisi tersebut Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera melarikan diri ke Maluku sementara kekuasaan terhadap aset Belanda di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broecke. Pangeran Jayakarta kemudian berhasil menahan Pieter van den Broecke, ketika berita penahanan Pieter van den Broecke sampai ke Banten, wali sultan pada masa itu Pangeran Ranamanggala tidak menyetujui tindakan yang diambil oleh Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta.[108] Pangeran Ranamanggala selaku wali Sultan Banten segera menarik Pangeran Wijayakrama kembali ke Banten dan kekuasaan terhadap wilayah Kepangeranan Jayakarta diambil alih olehnya sementara waktu.[108][109]
Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke Banten oleh wali Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara Banten tepatnya di kampung Tanara, keputusan Pangeran Ranamanggala sebagai wali sultan Banten pada masa itu dianggap bias, di satu sisi setelah peristiwa Pailir ia menerapkan peraturan ketat dan menaikkan pajak terhadap para pedagang Eropa, tetapi di sisi lain tindakan penegakan hukum yang dilakukan Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta dalam kasus rumah Mauritius dianggap salah oleh Pangeran Ranamanggala bahkan berimbas pada penarikannya ke Banten, kuat dugaan bahwa Pangeran Ranamanggala dan beberapa pihak di kesultanan Banten tidak begitu menyukai Pangeran Wijayakrama sejak ia menjadi mediator konflik-konflik di Banten, sebagian pihak kesultanan Banten berpendapat bahwa Pangeran Wijayakrama terlalu berpihak kepada para golongan yang menyusahkan Banten, sebut saja dalam kasus terbunuhnya Sultan Maulana Muhammad di Palembang, tindakan Pangeran Mas yang dianggap membuat Sultan Maulana Muhammad terbunuh dalam penyerangan ke Palembang membuat banyak orang di Banten tidak menyukainya, ia lantas pergi ke Jayakarta untuk meminta bantuan agar diperbolehkan menetap di sana, walau kemudian dia dibunuh oleh anaknya sendiri,[110] serta kasus-kasus lainnya di mana kehadiran Pangeran Wijayakrama sebagai mediator dianggap oleh sebagian pihak di kesultanan Banten tidak memihak kepada kesultanan sehingga menyebabkan perang dingin di antara Pangeran Wijayakrama dengan sebagian pihak kesultanan Banten berlangsung cukup lama.[109] Rentetan kejadian inilah yang oleh sebagian peneliti Banten dianggap sebagai hal yang melatarbelakangi alasan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke Banten secara komplek ketimbang hanya berpikir bahwa Pangeran Wijayakrama ditarik karena kasus rumah Mauritius.
Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya tentang pembantaian masal 1740, ia menjelaskan bahwa sebelum jatuhnya kekuasaan Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta yang ditandai dengan penarikan dirinya ke Banten, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie telah sekali lagi mengubah isi perjanjian yang disepakati antara Pangeran Wijayakrama dengan Pieter Both, perubahan dalam rumusan perjanjian oleh Vereenigde Oostindische Compagnie adalah bahwa pihak Vereenigde Oostindische Compagnie diberikan izin untuk membongkar rumah-rumah orang Tionghoa di Pecinan yang dianggap terlalu dekat dengan gudang Vereenigde Oostindische Compagnie, alasan penambahan klausul tersebut dikarenakan menurut Vereenigde Oostindische Compagnie tidak adanya kepastian mengenai bea cukai, menurut pihak Vereenigde Oostindische Compagnie, Wat Ting yang merupakan pemimpin Pecinan pada masa itu bertugas sebagai saksi sekaligus penerjemah antara pihak Vereenigde Oostindische Compagnie dan Pangeran Wijayakrama. Pada saat Pangeran Wijayakrama ditarik ke Banten dan kekuasaan kepangeranan Jayakarta dikendalikan langsung dari Banten, Pangeran Ranamanggala pada saat itu membunuh Wat Ting.[108]
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen kembali dari Maluku ke Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa bantuan armada dari markas Vereenigde Oostindische Compagnie di Maluku, longgarnya pemerintahan di Jayakarta dengan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke Banten segera dimanfaatkan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang juga bertekad untuk merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen akhirnya berhasil. Pangeran Wijayakrama yang kemudian dapat kembali ke Jayakarta menemukan bahwa kondisi Jayakarta sudah berubah, ia lantas berjuang untuk mendapatkan kembali Jayakarta hingga akhirnya meninggal di wilayah yang sekarang disebut Jatinegara.[109]
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera membangun tembok benteng kota yang disebutnya sebagai Niuew Hoorn (sebagai pengganti nama Jayakarta) setelah kemenangannya terhadap kubu Pangeran Wijayakrama, nama Niuew Hoorn dipilih karena Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berasal dari daerah Hoorn, tetapi dikemudian hari para petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie lebih memilih nama Batavia[108] yang berarti tanahnya orang-orang Batav (mengacu pada zaman Romawi), profesor Hembing Wijayakusuma berpendapat bahwa nama Batavia berarti tempat tinggal Bata / Bato (pahlawan Suku). Pemilihan nama Batavia sebagai nama sebuah wilayah tidak hanya disematkan kepada Jayakarta saja, tetapi juga disematkan kepada wilayah wilayah yang di bangun Belanda di Amerika dan Suriname.
Pasca menguasai Jayakarta, Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie berusaha menguasai perdagangan di Banten terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di Banten turun.
Setelah Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.[butuh rujukan]
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram di lain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang Peristiwa Girilaya. Pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik takhta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, sekitar tahun 1650-an Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua putra tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk berkunjung ke keraton Mataram di kota Gede sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, ia bersama kedua putranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram hingga kematiannya.[111] Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Pakungwati II menurut Mason Hoadley meninggal pada tahun 1666,[6] tetapi menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 M,[7] 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Kebijakan menawan tersebut merupakan kebijakan politik Amangkurat I terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan Arosbaya (Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya, wali raja pada saat itu pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah sekaligus paman bagi pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil melarikan diri ke Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat,[112] tetapi selama menjadi adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip seperti kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama pangeran Girilaya.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[butuh rujukan]
Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.[113] Keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.
Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjanjian antara keduanya untuk saling membantu pun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper[95] (menurut sejarahwan Sartono Kartodiharjo nama residen tersebut ialah Jacob Couper[114]) pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan putranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya).[93]
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.[93]
Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram, orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri,[115] awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke kesultanan Banten.[93]
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.
Pangeran Kusumadinata IV bupati Sumedang atau Rangga Gempol III bercita-cita untuk menguasai kembali wilayah kerajaan Sumedang Larang seperti klaim yang pernah dilakukan oleh leluhurnya yakni Pangeran Angkawijaya bin Raden Sholeh (Kusumadinata II atau Prabu Geusan Ulun)[116]. Pangeran Kusumahdinata IV beranggapan bahwa perjanjian antara Amangkurat I dan Vereenigde Oostindische Compagnie dengan perantara James Cooper[95] (menurut sejarahwan Sartono Kartodiharjo nama residen tersebut ialah Jacob Couper[114]) pada Maret 1677 menandakan bahwa Mataram sudah mulai menurun kekuatannya.[95], untuk mewujudkan cita-citanya, Pangeran Kusumahdinata IV memulai serangannya ke wilayah Karawang, wilayah pertama yang diserang adalah wilayah Pamanukan kemudian Pangeran Kusumahdinata IV menyerang Ciasem lalu ke Ciparage.[116]
Pada wilayah Ciparage Pangeran Kusumahdinata IV menempatkan pasukannya guna persiapan menyerang Karawang.[116]
Sebenarnya sebelum melakukan penyerangan ke wilayah Karawang, Pangeran Kusumahdinata IV pernah mendekati Banten untuk meminta bantuan agar membantu Sumedang mendapatkan wilayah Karawang. Kesultanan Banten yang sebelumnya pernah membantu Pangeran Suriadiwangsa II bin Raja Sumedang Suriadiwangsa I menyerang Sumedang dalam rangka klaim tahta oleh Pangeran Suriadiwangsa II menerima dengan baik permintaan Pangeran Kusumahdinata IV namun dengan syarat bahwa Pangeran Kusumahdinata IV harus membantu Kesultanan Banten dalam memerangi Vereenigde Oostindische Compagnie dan Mataram, namun syarat tersebut ditolak oleh Pangeran Kusumahdinata IV mengingat keadaan pada masa itu tidak memungkinkan bagi kekuatannya untuk menyerang Vereenigde Oostindische Compagnie dan Mataram. Penolakan tersebut membuat Pangeran Kusumahdinata IV terpaksa bersiap menerima serangan Kesultanan Banten[116] sewaktu-waktu.
Pangeran Kusumahdinata IV merupakan keturunan dari Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) dari istrinya yang bernama Nyai Cukang Gede sementara Pangeran Suriadiwangsa II merupakan anak dari Suriadiwangsa I bin Sultan Cirebon Zainul Arifin dari istrinya yang bernama Ratu Harisbaya (sebelum Ratu Harisbaya menikah dengan Pangeran Angkawijaya dia sedang mengandung dua bulan dengan Sultan Cirebon Zainul Arifin (suami pertamanya) [63]) Suriadiwangsa I kemudian dianggap anak sendiri oleh Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) suami keduanya.[63]
Pangeran Kusumahdinata IV setelah memperhitungkan situasi, memanfaatkan keadaan dari ketidaktahuan Vereenigde Oostindische Compagnie tentang kewilayahan dengan mengirimkan surat pada tanggal 25 Oktober 1677 kepada Vereenigde Oostindische Compagnie yang isinya memohon kepada Vereenigde Oostindische Compagnie untuk menutup (menjaga) muara Cipamanukan dengan imbalan akan diberikan tanah diantara Batavia hingga Indramayu[116] Muara Cipamanukan yang dimaksud sebenarnya adalah muara dari sungai Cipunegara yang memang telah menjadi milik Vereenigde Oostindische Compagnie, sehingga dalam hal ini Pangeran Kusumahdinata IV sebenarnya tidak menyerahkan wilayah manapun dalam kepemilikaannya kepada Vereenigde Oostindische Compagnie.[116]
Setelah menguasai Karawang, Vereenigde Oostindische Compagnie mengirimkan ekspedisi pada bulan November hingga Desember 1677 untuk mempertahankan wilayah Karawang dari ancaman Banten, Makassar, Cirebon dan Sumedang.[117]
Pada bulan Januari hingga Maret 1678 Vereenigde Oostindische Compagnie mengirimkan Evert Jansz sebagai utusan ke Sumedang.[117] Pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak pasukan Banten bergerak menuju Sumedang melalui Muaraberes (sekitar 10 km ke utara Bogor) dan Tangerang.[95]
Pada bulan Mei 1678 Vereenigde Oostindische Compagnie mengirimkan utusannya ke Karawang yaitu Willem Hartsinck dan juga mengirimkan Muller sebagai utusan Vereenigde Oostindische Compagnie ke Sumedang.[117] Pasukan Banten telah sampai di Sumedang sejak awal Mei 1678 dan mengepung kota Sumedang selama satu bulan lamanya, pasukan Kesultanan Banten dalam peristiwa ini dibantu oleh pasukan dari bupati Bandung yaitu Wira Angun-angun dan juga pasukan dari Sukapura dan Parakan Muncang.[95]
Pada bulan Juni 1678 Pasukan Banten yang sedang mengepung kota Sumedang dipanggil pulang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten, alasannya ialah guna menghadapi kemungkinan perlawanan terhadap Pangeran Haji.[95] Pasukan kesultanan Banten yang sedang pulang tersebut kemudian dikejar oleh pasukan Sumedang dan terjadilah peristiwa perang Tegal luar di mana pimpinan pasukan kesultanan Banten tewas[95]
Pada bulan Juli hingga September 1678 Vereenigde Oostindische Compagnie mengirimkan Jochem Michielsz (atau Joachim Michiefs) ke Sumedang.[117] Semua utusan yang dikirimkan tersebut adalah dalam upaya membendung pengaruh kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon pada wilayah Karawang yang baru saja dikuasai oleh Vereenigde Oostindische Compagnie[117]
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.
Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[118]
Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[118]
Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[119]
1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,
6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung
Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima.[119] Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[118] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[120]
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[119]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[113]
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa
yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap
Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[119]
Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[119]
Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir,[122] penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.
Pada masa perang antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie mengirim pasukan dari Batavia untuk menyerang wilayah kesultanan Cirebon.[123] Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[119] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[119]
Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[124]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[125] Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[125]
Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijcklof van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijcklof van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[125]
Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680.[125]
Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon[40] yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda.[126]
Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[119],[127]
Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[123]
Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[119][127]
Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon.[128][129] Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs,[130] perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula,[130] lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[123]
Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[126]
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektare, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu wali kota dan bupati.
Kesultanan Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam tercermin dari banyaknya karya seni dan sastra yang bernuansa Islami yang tumbuh seiring dengan perkembangan kesultanan Cirebon, naskah-naskah kuno Cirebon yang memuat tentang sastra biasanya ditulis dengan menggunakan aksara Pegon ataupun Jawi. Berdasarkan isinya, naskah Cirebon bisa dikategorikan ke dalam tiga belas kategori yaitu, sejarah, silsilah, wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita islam, primbon, pengobatan, mantra, hukum, dongeng, legenda dan lainnya termasuk jimat, adat istiadat dan pelajaran asmara. Naskah kuno di Cirebon juga ada yang memuat tentang tasawuf yang ditulis oleh ahli agama dari kalangan keraton yaitu pangeran Muhammad Nasiruddin (wangsakerta) dan pangeran Kaharuddin (arya Cirebon), selain di keraton, naskah kuno, mushaf al Qur'an dan kitab-kitab fiqih juga dapat ditemukan di pesantren-pesantren yang ada di wilayah kesultanan Cirebon, seperti di pesantren Buntet yang didirikan oleh Ki Muqoyyim yang merupakan seorang Qadi dari kesultanan Kanoman, oleh karena banyaknya naskah-naskah yang memuat tentang segala hal yang berkenaan dengan sendi kehidupan manusia dari mulai pelajaran agama, hukum hingga masalah asmara maka wilayah kesultanan Cirebon disebut sebagai pusatnya kebudayaan.[63]
Panembahan Ratu II wafat pada 1677, terjadilah kekosongan kekuasaan selama 16 tahun. Pada masa ini Cirebon dalam pengaruh Mataram dan Banten. Pada 1678 Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Karena terjadi perebutan kekuasaan atara kakak beradik, sebab itulah kerajaan baru tersebut disebut Kasepuhan (sepuh/tua) dan Kanoman (anom/muda).
Setelah pembagian Kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin oleh anak pertama Panembahan Ratu II yang bernama Pangeran Syamsudin Martawijaya yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Sepuh I sedangkan Kanoman dipimpin adiknya yang bernama Pangeran Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian dinobatkan sebagai Sultan Anom I.[131]
|
|
|