Publik | |
Kode emiten | KRX: 047810 |
Industri | |
Didirikan | 1999 |
Kantor pusat | , |
Tokoh kunci |
|
Produk |
|
Pendapatan | US$2,51 milyar (2015) |
US$248 juta (2015) | |
US$157 juta (2015) | |
Total aset | US$2,35 milyar (2015) |
Total ekuitas | US$1,01 milyar (2015) |
Pemilik |
|
Karyawan | 3.530 (2015) |
Situs web | koreaaero.com |
Catatan kaki / referensi [1][2][3] |
Korea Aerospace Industries (Korea: 한국항공우주산업, Hanja: 韓國航空宇宙産業) (KAI) adalah sebuah perusahaan dirgantara dan pertahanan asal Korea Selatan. Perusahaan ini awalnya didirikan sebagai sebuah joint venture antara Samsung Aerospace, Hyundai Space and Aircraft Company (HYSA), dan divisi dirgantara dari Daewoo Heavy Industries. Pada tahun 1999, KAI menjadi makin independen, dengan mengakuisisi ketiga induknya sesuai permintaan dari Pemerintah Korea Selatan, pasca kesulitan keuangan membelit ketiga perusahaan tersebut akibat krisis keuangan Asia 1997.[butuh rujukan]
KAI telah mengembangkan sejumlah produk dirgantara, termasuk Korea Space Launch Vehicle(KSLV)-II dan berbagai satelit. KAI juga pernah terlibat dalam proses produksi sejumlah pesawat terbang yang dirancang di luar Korea Selatan (melalui perjanjian lisensi), seperti MBB/Kawasaki BK 117, MBB Bo-105 KLH, dan KF-16. KAI juga mengembangkan dan memproduksi rancangan pesawat terbangnya sendiri, seperti pesawat terbang latih KT-1 Woongbi dan T-50 Golden Eagle, pesawat terbang umum KC-100 Naraon, dan helikopter utilitas KUH-1 Surion. Kantor pusat dan sejumlah fasilitas produksi milik perusahaan ini terletak di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.
KAI terlibat dalam produksi pesawat terbang pertama yang dirancang sendiri oleh Korea Selatan, yakni KT-1 Woongbi. Pesawat terbang tersebut dikembangkan di bawah program KTX, yang diluncurkan pada tahun 1988 atas nama Angkatan Udara Republik Korea untuk mengembangkan pesawat terbang latih sendiri. Program tersebut dikerjakan bersama-sama oleh KAI dan Agency for Defence Development (ADD), di mana KAI bertugas melakukan perancangan rinci dan produksi, sementara ADD bertugas mengawasi program tersebut.[4] Pada tahun 2002, KAI mengungkapkan bahwa mereka sedang memproduksi versi bersenjata dari KT-1, yang diberi nama KO-1. Pesawat terbang tersebut ditujukan untuk digunakan sebagai kendali udara depan dan penumpasan pemberontakan. Pengembangan pesawat terbang tersebut dilakukan bersama ADD, untuk memenuhi permintaan dari Angkatan Udara Republik Korea sebanyak 20-40 unit.[5]
Pada bulan Juni 2006, KAI dan Eurocopter memenangkan kontrak riset dan pengembangan senilai 1,3 triliun won untuk Korea Helicopter Project - Korea Utility Helicopter (KHP-KUH) dari Defense Acquisition Program Administration (DAPA). Pengembangan helikopter yang kemudian diberi nama KUH-1 Surion tersebut sebanyak 84% didanai oleh Pemerintah Korea Selatan, sementara sisanya didanai oleh KAI dan Eurocopter.[6][7] Pada saat itu, kontrak tersebut merupakan kontrak pertahanan terbesar yang berhasil dimenangkan oleh perusahaan pertahanan non-Amerika Serikat.[8] Pada bulan Januari 2011, Eurocopter dan KAI mendirikan sebuah joint venture yang diberi nama KAI-EC, untuk memasarkan Surion dan menangani penjualan ke luar Korea Selatan. Pada saat itu, diharapkan 250-300 unit Surion akan terjual di seluruh dunia hingga tahun 2021.[9] Pada bulan Desember 2012, produksi Surion pertama berhasil diselesaikan.[10] Pada bulan Februari 2013, uji suhu rendah di Alaska, Amerika Serikat, berhasil diselesaikan, sehingga pengembangan KUH-1 Surion resmi dianggap selesai sebulan kemudian.[10] Surion kemudian menjadi dasar bagi turunannya untuk angkatan laut, yakni Korean Naval Helicopter (KNH). Pada tahun 2011, KNH telah masuk tahap pengembangan, dan dikerjakan melalui kemitraan antara KAI, Eurocopter, dan Elbit Systems.[9] Pada bulan Januari 2016, setelah pengembangan varian amfibi dari Surion dinyatakan selesai, diumumkan bahwa varian tersebut akan segera diproduksi di tahun yang sama.[11][12]
Untuk dapat masuk ke pasar sipil dan mengurangi ketergantungan pada proyek pemerintah, KAI kemudian meluncurkan pengembangan pesawat terbang umum KC-100 Naraon pada tahun 2008.[13] Walaupun konfigurasi dasarnya cukup konvensional, penggunaan bahan komposit dan adopsi teknologi terbaru memungkinkan konsumsi bahan bakar Naraon 10% lebih efisiensi daripada kompetitornya.[14][15][16] Program uji terbang kemudian berhasil diselesaikan pada tanggal 22 Maret 2013, dan sertifikat tipe pesawat terbang tersebut pun terbit. Pada dekade 2010-an, KAI mengumumkan pengembangan varian pesawat terbang latih militer yang diberi nama KT-100 untuk Angkatan Udara Korea Selatan. Pesawat terbang tersebut kemudian pertama kali terbang pada tahun 2015.[17] KT-100 diproyeksikan menggantikan 20 unit Ilyushin Il-103 yang saat ini digunakan di Akademi Angkatan Udara Korea Selatan untuk melatih calon pilot.[18]
Pada tahun 2008, KAI mengkaji jet regional KRJ yang dapat mengangkut 60-100 penumpang, mirip seperti Bombardier CRJ.[19] Dua tahun kemudian, KAI diberitakan masih mempertimbangkan untuk meluncurkan pesawat turboprop berkapasitas 90 orang, dan diperkirakan akan resmi diumumkan paling cepat tahun 2011.[20] Pada bulan Oktober 2012, Bombardier Aerospace menjalin kerja sama dengan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh Pemerintah Korea Selatan untuk mengembangkan sebuah pesawat terbang regional turboprop berkapasitas 90 orang. Pesawat terbang tersebut diharapkan dapat diluncurkan pada tahun 2019. Konsorsium tersebut meliputi KAI dan Korean Air Lines.[21] Walaupun begitu, KAI tetap mengkaji peluang peluncuran pesawat terbang regional berkapasitas 90 orang selama beberapa tahun kemudian.[19]
Pada tahun 2019, diumumkan bahwa KAI akan menggantikan Triumph Group dalam memproduksi sayap dari Gulfstream G280 atas nama IAI asal Israel. Perusahaan ini pun mendapat kontrak untuk memproduksi 300 sayap hingga tahun 2030 dengan harga $529 juta, di sebuah pabrik baru di Gosung, 30 kilometer (20 mil) dari pabrik utama di Sacheon.[19] Dalam jangka panjang, KAI diberitakan berambisi memproduksi pesawat terbang sipil di bawah lisensi mulai tahun 2023. KAI juga bertekad mengembangkan sebuah pesawat penumpang regional berkapasitas 50-70 orang, yang ditenagai mesin turboprop atau turbofan. Pengembangan mesin turbofan diharapkan selesai pada tahun 2022, sehingga pesawat terbang tersebut dapat diluncurkan pada tahun 2030.[19]