Leuit merupakan sejenis bangunan penyimpan padi yang terdapat di daerah pedesaan Sunda dan Baduy yang termasuk Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Secara tradisional, leuit dibangun dari balok-balok kayu dan dilapisi oleh anyaman bambu, dengan kapasitas penyimpanan hingga tiga ton padi. Meskipun peran ekonomis leuit sudah berkurang karena modernisasi pertanian padi, leuit masih digunakan secara rutin oleh komunitas Baduy dan sejumlah wilayah sebagai mekanisme ketahanan pangan. Di luar itu, leuit juga menjadi objek wisata di kampung-kampung adat di bagian barat daya kepulauan Sunda Besar.
Leuit sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak sebelum sawah basah diperkenalkan di pulau Jawa.[1][2] Leuit juga digunakan oleh komunitas suku Baduy, terutama komunitas Baduy Luar. Komunitas Baduy Dalam menamakan leuit dengan istilah lenggang. Rata-rata rumah tangga Baduy memiliki lebih dari 1 leuit atau lenggang – 1.6 lenggang tiap rumah tangga Baduy Dalam dan 1.2 leuit tiap rumah tangga Baduy Luar.[3] Secara umum, leuit digunakan untuk menyimpan padi perseorangan/keluarga, meskipun sejumlah bangunan penyimpanan bersama juga disebut leuit.[2] Leuit dibangun di bawah pepohonan yang rindang untuk melindungi isinya dari air hujan, namun di lokasi yang masih mendapat sinar matahari.[4] Biasanya, leuit-leuit dibangun berdekatan satu sama lain di suatu titik yang berjarak sekitar 20 meter dari pemukiman warga.[5] Sebagai contoh, di Kampung Cibeo, bagian dari komunitas Baduy Dalam, terdapat sekitar 200 leuit.[6]
Denah lantai leuit berbentuk bujur sangkar dan pada umumnya terbangun lebih tinggi dari orang dewasa, sehingga tangga dibutuhkan untuk masuk atau keluar dari leuit. Tembok leuit melebar, sehingga bangunan tersebut semakin besar ketika semakin ke atas. Bentuk ini melambangkan kemakmuran keluarga pemilik leuit.[7] Batu fondasi dari leuit disebut "umpak", dan umumnya dibangun dengan batu atau bata. Selain sebagai fondasi, "umpak" juga berfungsi untuk mencegah air tanah langsung merembes ke tiang-tiang kayu.[8] Kerangka dan tiang-tiang leuit dibangun menggunakan balok-balok kayu, dan dinding ("bilik") yang terbuat dari anyaman bambu ditempelkan ke kerangka tersebut untuk menutupi ruangan leuit. Bilik itu sendiri dijepit dengan papan-papan "iga" yang bertujuan untuk menahan tekanan apabila leuit berisi penuh. "Iga" dipasang longgar, sehingga akan rapat saat leuit penuh, dan melengkung kedalam apabila leuit kosong atau berisi sedikit.[9] Atap leuit, dikenal sebagai "hateup", dibuat dari genteng ataupun bahan lainnya, seperti serat pohon.[10][1] Untuk mencegah masuknya hama tikus, di sejumlah wilayah leuit dipasangi papan kayu bundar "gelebek" di atas tiang penyangga, sehingga hama tidak dapat memanjat tiang.[11] Pembangunan leuit, jika dijalankan oleh satu keluarga, umumnya membutuhkan waktu sekitar satu bulan.[5]
Leuit terutama digunakan untuk menyimpan padi selama jangka panjang. Padi yang dimasukkan ke dalam leuit ditumpuk sesuai urutan tertentu dan diambil sesuai urutan tertentu pula untuk memaksimalkan jangka padi bisa disimpan. Pola penyimpanan tradisional ini dikabarkan bisa menyimpan padi awet selama 20 tahun.[12][13] Berdasarkan kepercayaan dan tradisi setempat, leuit yang baru diisi padi akan dibiarkan terbuka selama 3-7 hari terlebih dahulu, dan ada hari-hari tertentu dalam satu minggu yang dianggap baik untuk mengambil atau menyimpan padi.[14] Setiap leuit pada umumnya dapat menampung 1.000 ikat padi, atau 2.5-3 ton.[11] Di luar dari penyimpanan pribadi, terdapat juga leuit-leuit bersama dimana penduduk diharuskan menghibahkan sebagian hasil panen ke leuit tersebut, untuk digunakan dalam upacara adat atau untuk warga yang berkekurangan. Di Sukabumi, leuit-leuit seperti ini dikenal sebagai leuit si jimat.[11]
Sejak berjalannya Revolusi Hijau, peran ekonomis leuit berkurang jauh dikarenakan modernisasi pertanian di Jawa Barat. Meskipun begitu, peran leuit tetap bertahan di masyarakat Baduy.[15] Masyarakat Baduy bercocok tanam padi huma (ladang), dan padi ini pantang diperjualbelikan menurut tradisi Baduy, sehingga padi tetap disimpan di dalam leuit.[4] Di desa-desa Baduy Luar, biaya untuk membangun satu leuit berukuran kecil melebihi Rp 5 juta.[16]
Leuit berperan penting dalam budaya Sunda dan Baduy. Di Banten Selatan, upacara Seren Taun melibatkan seremoni menyimpan padi ke dalam leuit,[17] khususnya ritus nginebkeun dan ngareremokeun dimana bibit padi disimpan.[18][19] Leuit juga merupakan suatu lambang kemakmuran di komunitas Baduy,[3] dan di kampung-kampung adat Jawa Barat, misalkan di Sukabumi.[8] Semakin banyak leuit yang dibangun atau dimiliki suatu keluarga, semakin tinggi posisi sosial mereka.[7] Leuit, khususnya leuit si jimat, juga digunakan sebagai motif batik dari Lebak dan Sukabumi.[20][21]
Pada tahun 2017, leuit didaftarkan di dalam katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia.[13] Sejumlah pemerintah kabupaten di Jawa Barat, misalkan Purwakarta dan Karawang, mulai membangun kembali leuit sebagai konservasi budaya maupun untuk menjaga ketahanan pangan.[22][23] Sejumlah kampung adat atau sanggraloka juga menjadikan leuit sebagai objek wisata.[18][24]