Nama sistematis (IUPAC) | |
---|---|
(2S)-N-[(2S,4S,5S)-5-[2-(2,6-dimetilfenoksi)asetamido]-4-hidroksi-1,6-difenilheksan-2-il]-3-metil-2-(2-okso-1,3-diazinan-1-il)butanamida | |
Data klinis | |
AHFS/Drugs.com | International Drug Names |
MedlinePlus | a602015 |
Data lisensi | EMA:pranala, US Daily Med:pranala |
Kat. kehamilan | ? |
Status hukum | POM (UK) ℞-only (US) |
Rute | Oral |
Data farmakokinetik | |
Bioavailabilitas | Tidak diketahui |
Ikatan protein | 98-99% |
Metabolisme | Hati |
Waktu paruh | 5–6 jam |
Ekskresi | Kebanyakan berupa tinja |
Pengenal | |
Nomor CAS | 192725-17-0 |
Kode ATC | J05AR10 (with ritonavir) |
PubChem | CID 92727 |
DrugBank | DB01601 |
ChemSpider | 83706 |
UNII | 2494G1JF75 |
KEGG | D01425 |
ChEMBL | CHEMBL729 |
Sinonim | ABT-378 |
Data kimia | |
Rumus | C37H48N4O5 |
|
Lopinavir merupakan obat antiretroviral golongan penghambat protease. Obat ini digunakan untuk melawan infeksi HIV/AIDS sebagai kombinasi dosis tetap dengan penghambat protease inhibitor lain, yakni ritonavir (dalam obat kombinasi lopinavir/ritonavir).[1]
Obat ini dipatenkan pada tahun 1995 dan disetujui untuk penggunaan medis pada tahun 2000.[2] Saat ini, obat ini dianggap sebagai terapi lini kedua di negara-negara Barat, namun masih diresepkan di negara-negara berkembang, khususnya pada anak-anak yang hidup dengan HIV. Lopinavir dan ritonavir dapat dipakai dalam bentuk tablet atau larutan oral, pilihan yang lebih disukai pada anak-anak. Pada tahap awal pandemi COVID-19, lopinavir digunakan kembali untuk melawan virus SARS-CoV-2 dengan harapan dapat mengganggu aktivitas protease virus tersebut.[3]
Efek samping, interaksi, dan kontraindikasi hanya dievaluasi pada kombinasi obat lopinavir/ritonavir. Gejalanya termasuk mual, muntah, dan sakit perut.[butuh rujukan]
Lopinavir sangat terikat pada protein plasma (98-99%).[4]
Ada laporan yang bertentangan mengenai penetrasi lopinavir ke dalam cairan serebrospinal (CSF). Laporan berdasarkan pengalaman menyatakan bahwa lopinavir tidak dapat dideteksi di CSF; namun, penelitian terhadap sampel plasma CSF berpasangan dari 26 pasien yang menerima lopinavir/ritonavir menemukan tingkat CSF lopinavir di atas IC50 pada 77% sampel.[5]
Sebuah penelitian pada tahun 2014 menunjukkan bahwa lopinavir efektif melawan infeksi papilomavirus manusia (HPV). Penelitian ini menggunakan setara dengan satu tablet dua kali sehari yang dioleskan pada serviks wanita dengan kondisi prakanker tingkat tinggi dan tingkat rendah. Setelah tiga bulan pengobatan, 82,6% wanita yang menderita penyakit tingkat tinggi memiliki kondisi serviks yang normal, yang dikonfirmasi melalui apusan dan biopsi.[6] Lopinavir telah terbukti mengganggu sintesis protein melalui aktivasi protein kinase teraktivasi AMP (AMPK) dan aktivasi eEF2 kinase (eEF2K), sebuah mekanisme yang mirip dengan efek antivirus dari penghambat protein fosfatase 1.[7][8]
Lopinavir ditemukan menghambat replikasi MERS-CoV pada kisaran mikromolar rendah dalam kultur sel.[9] Pada tahun 2020, lopinavir/ritonavir ditemukan tidak bekerja pada COVID-19 yang parah. Dalam uji coba ini, pengobatan biasanya dimulai sekitar 13 hari setelah timbulnya gejala.[10]
Formulasi lopinavir suntik jangka panjang sedang dalam uji klinis dengan tujuan pemberian dosis bulanan (NCT05850728).
|pmid=
(bantuan).
|pmc=
(bantuan). PMID 34335531 Periksa nilai |pmid=
(bantuan).